Bila ingin mengetahui apa isi hati seseorang, salah satu caranya adalah dengan melihat apa yang sering mereka katakan. Dapat pula dengan melihat hasil karyanya. Apa yang sering diungkapkan para kiai pun tercermin dalam perilakunya sehari-hari.
Para kiai sangat gandrung mengisi waktunya, jangan sampai kosong tidak terisi dengan hal yang tidak bermanfaat. Kiai Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambakberas Jombang, organisatoris, pendiri, penggerak dan motor kaderisasi NU ini, dalam piagam pendirian Nahdlatut Tujjar mengutip dua bait syi’ir ber-bahar thowil yang berbunyi :
Idzaa lam yakun naf’un lidzil ilmu wal hijaa # famaa huwa baynan naasi illaa kajaahili
Kadzaaka idzaa lam yanfa’il mar’u ghoirohu # yu’addu kasyaukin bayna zahril chamaayili
Jika orang berilmu tidak bisa memberi manfaat bagi orang lain,
maka keberadaannya sama halnya dengan orang bodoh
Begitu pula bila seseorang tidak bermanfaat bagi orang lain,
maka ia bagaikan duri di antara bunga mawar.
Syair ini menunjukkan betapa inginnya Mbah Wahab menjadi orang yang bermanfaat. Dan terbukti. Dari situlah, kita tahu, segenap usia mbah Wahab digunakan demi perjuangan Islam. Mulai perjuangan pesantren, perjuangan jam’iyyah NU hingga perjuangan membela NKRI. Hingga orang-orang menilai mbah Wahab yang tidak memiliki waktu udzur dalam berjuang. Kewafatannya empat hari setelah muktamar NU tahun 1971 di Surabaya.
Kiai Abdul Wahid Hasyim, putera Hadratussyaikh, diketahui pernah menganggit sebait syi’iran. Syi’ir karya beliau sendiri. Hampir senada dengan syi’ir kutipan Mbah Wahab di atas. Sama-sama ber-bahar thowil dan sama-sama mendamba mengisi waktu dengan hal yang bermanfaat tanpa kesia-siaan. Syi’ir itu berbunyi :
Idzaa faatanii yaumun walam ashthoni’ yadan # wa lam aktasib ilman famaa dzaaka min umrii
Ketika hari-hari kulewati, sementara aku tak melakukan apapun
Dan pula tak bertambah ilmu, maka apa guna umurku ini.
Sosok Kiai Ahmad Djazuli Utsman pendiri Pesantren Al-Falah Ploso Kediri, adalah sosok yang sangat mendamba agar keturunannya hidup guyub dan rukun. Sering ia mewasiatkan kepada putra-putrinya agar selalu rukun, seraya mengutip syi’iran berbahasa arab yang belakangan penulis ketahui juga dikutip dalam kitab al-Akhlaq Lin Banaat. Syi’ir ber-bahar thowil itu berbunyi :
Akhooka akhooka inna man laa akhon lahu #kasaa’in ilal hayjaa bighoiri silaahi
Jagalah hubungan persaudaraan di antaramu.
Sesungguhnya orang yang tak memiliki saudara itu
bagaikan pergi ke medan perang tanpa membawa senjata.
Kiai Baqir, Pesantren Tarbiyatuth Tholabah Kranji Paciran Lamongan, sering melantunkan sebait syi’ir berbahasa Arab tentang pentingnya istiqomah. Syi’ir ber-bahar kamil itu berbunyi :
Haitsumaa tastaqim yuqoddir lakal Laa # hu najaahan fii ghobiril azmaani
Sekira engkau mau beristiqomah, Allah akan takdirkanmu mendapatkan keberhasilan di masa depan.
Kiai Baqir yang pernah menempuh pendidikan di Pesantren Tambakberas dan Pesantren Denanyar Jombang ini memang dikenal sebagai pribadi ang istiqomah dan ulet. Baik dalam dunia pendidikan maupun dunia usaha yang digelutinya.
Kecintaan Kiai Hasan Abdul Wafi, Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, terhadap NU, mendorong beliau menggubah sebuah kasidah tentang NU.
Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad
Sholatan turoghghibu wa tunasysyithu
Wa tuhammisu bihal jihad li ihya’ wa I’laai dinil islam
Wa idlhaari sya’aairih ala thoriqoti jam’iyyati nahdlotil ulama’
Wa ‘ala alihi wasaohbihi wa sallim.
Kasidah gubahan Kiai Hasan ini berisi permohonan pada Allah, dengan bertawassul pada Rasulullah, agar kaum nahdliyyin Allah gerakkan hatinya untuk memiliki semangat jihad menghidupkan dan meninggikan syi’ar agama Allah lewat wadah organisasi NU.
Keahlian kiai pesantren dalam menggubah maupun memotivasi lewat bait syair berbahasa Arab disebabkan kebiasaan mereka me-lalar (menghafal dan mengulang-ulang) pembacaan syair berbahasa Arab, yang menjadi literatur memahami ilmu-ilmu keagamaan. Dalam fan ilmu nahwu, terdapat kitab nazam Imriti dan Alfiyah Ibni Malik.
Dalam kajian ilmu shorof, terdapat kitab nazam Maqshud. Dalam kajian qowaid fiqh, terdapat kitab nazam al-Faroid Al-Bahiyyah.
Dalam ilmu Tajwid, terdapat nazam Syifaul Jinan. Dalam kajian balaghoh, ilmu sastra arab, terdapat kitab nazam Jauharul Maknun. Dalam kajian Tauhid, terdapat nazam Aqidatul Awwaam. Cabang keilmuan yang lain pun, pesti terdapat banyak kitab yang gaya penulisannya berupa kalam nazam.
Terdapat banyak kiai nusantara yang menulis kitab tentang kajian keislaman menggunakan model syiiran. Salah satunya adalah Kiai Ahmad Qusyairi Siddiq, Pasuruan. Putera Kiai Siddiq Jember ini menganggit kitab Tanwirul Hijaa yang merupakan penjabaran dari kitab kajian fiqh dasar berjudul Safinatun Najah. Kiai Abdul Chalim, Leuwimunding Majalengka, menulis biografi kawan akrabnya yang bernama Kiai Abdul Wahab Hasbullah, juga menggunakan kalam nazam.
Mbah Wahab dikenal sebagai orang yang mendawamkan membaca kasidah Burdah karya Syaikh al-Bushiri. Mbah Manab Lirboyo senantiasa membaca kasidah
Yaa robbi hayyi’ lana min amrina rosyada # waj’al mau’uunataka takun lanaa madada
Gus Dur dalam beberapa kesempatan sering memotivasi agar dalam hidup, para jama’ah hendaknya mengisi kehidupan dengan hal yang bermanfaat. Hingga keadaannya ditangisi orang saat kewafatannya, karena selama hidup diisi dengan hal yang bermanfaat. Syi’ir berbahar kamil yang dikutip berbunyi :
Waladatka ummuka yabna aadama baakiya # wan naasu haulaka yadlhakuuna suruuro
Fajhad linafsika an takuuna idzaa bakau # fii yaumi autika dloohikan masruuro
Ibumu melahirkanmu dalam keadaan engkau menangis,
Sementara orang-orang tertawa bahagia atas kelahiranmu.
Maka berjuanglah agar ketika engkau mati dalam keadaan berbahagia
(membawa banyak amal saleh),
Orang-orang menangisi kepergianmu (merasa kehilangan)
Kecintaan para kiai terhadap nazaman atau syiir menunjukkan bahwa mereka sangat menyukai ungkapan perasaan dalam bentuk sastra/gaya bahasa yang indah. Memang orang besar adalah orang yang menyukai sastra dan paham sejarah.