Praktik keagamaan di Madura cukup variatif, mulai dari praktik ibadah maupun sosial. Sebagian besar praktik keagamaan tersebut lahir bersandingan dengan tradisi sebagai media untuk melangsungkan ritual, ibadah, dan sosial. Tradisi itu sendiri berarti “diteruskan” atau “kebiasaan”. Dengan pengertian yang sederhana tradisi merupakan suatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat.
Keberadaan tradisi merupakan suatu hal yang selalu melekat pada diri manusia dan masyarakat, sekaligus tidak dapat terlepas dari nilai-nilai keagamaan. Khaziq dalam bukunya berjudul Islam dan Budaya Lokal, mengatakan bahwa praktik Agama akan selalu bersamaan dan berinteraksi dengan sebuah tradisi. Salah satunya adalah tradisi arebbe di kalangan masyarakat Madura. Arebbe merupakan istilah bahasa madura yang berarti memberi, yakni memberi sesuatu kepada orang lain dengan tujuan mendapatkan ridha dari Allah swt. dengan kata lain bahwa istilah arebbe merupakan penjabaran dari shadaqah yaitu suatu amal yang diyakini akan mengalirkan pahala dari Allah, mendatangkan keberkahan hidup, serta dijauhi dari bala dan musibah. Sebagian masyarakat Madura juga meyakini bahwa arebbe merupakan media untuk menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal, sebagaimana shadaqah dipahami juga bisa diniatkan pahalanya untuk orang-orang yang telah meninggal.
Arebbe Ditinjau dari Segi Waktu
Secara umum tradisi arebbe tidak terikat dengan waktu, tetapi secara khusus masyarakat Madura melakukan rebbe setiap malam jumat. Dengan kata lain bahwa melakukan rebbe setiap haripun tidak menjadi masalah. Maka tidak heran jika seseorang melaksanakan rebbe sesuai hari kelahiran orang yang meninggal. “rebbeih bengatoanah e malam katerbi’ennah” laksanakanlah rebbe untuk sesepuh di malam kelahirannya, begitulah anjuran para ulama Madura yang selalu tergiang-giang dalam benak seorang generasi pelestari tradisi arebbe, guna melaksanakan rebbe yang pahalanya dihadiahkan pada sesepuh dan keluarga yang telah meninggal.
Selain rebbe juga lumrah diletarikan dalam keseharian masyarakat, juga terdapat bulan khusus dimana masyarakat Madura melaksanakannya secara serentak selama sebulan penuh dan mereka menyebutnya dengan sebutan bulan rebbe. Madura sendiri memiliki istilah dalam penyebutan terhadap Bulan-bulan hijriyah, seperti: sorah, sappar, molod, rasol, mandilawwal, mandilakhir, rejjeb, rebbe, pasah, sabhel, ellak/takepek, rerajhe. Salah satu dari dua belas bulan tersebut terdapat bulan rebbe tepatnya yaitu bulan sya’ban.
Bulan rebbe atau sya’ban merupakan bulan pintu menuju bulan suci ramadhan, pada bulan inilah banyak kalangan orang-orang Madura malaksanakan tradisi arebbe. Dengan itu orang Madura memberi istilah bulan sya’ban dengan sebutan bulan rebbe karena pada bulan ini banyak orang Madura melaksanakan rebbe mulai sejak awal bulan hingga menjelang ramadhan. Terutama pada tanggal 15 sya’ban yang disebut dengan nisfus sya’ban dan tanggal terakhir dari bulan sya’ban. Pada tanggal-tanggal tersebut secara serentak semua masyarakat melaksanakan tradisi arebbe.
Arebbe sebagai Media Transfer Pahala
“arebbe ghinikah ama’na shadaqa le’, karnah hakekat shadaqa engghi areng pareng dhe’ ghetatanggeh dengan maksod sadhekanah se sobung omor” (arebbe itu bermakna shadaqah dek, karena hakekat dari shadaqah ialah memberi kepada tetangnga-tetangga dengan maksud tujuan shadaqahnya orang yang sudah meninggal.) ujar salah satu tokoh muda ketua Fatayat NU di Pamekasan. Shadaqah berbeda dengan bentuk amal ibadah lainnya yang mempunyai seperangkat aturan dan syarat-syarat bagi orang yang melakukannya, masyarakat bebas melakukan shadaqah sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, tetapi pahala yang diberikan tidak kalah besar dengan ibadah lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga (perkara) : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa baginya.” Dilaksanakannya Arebbe oleh masyarakat Madura, menurut beberapa informan yang ditemui bahwasanya tradisi Arebbe ini sebagai bentuk untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal. Ditambahkan oleh informan lain yaitu Kyai Syukron Bahrian Syakh, ketua Yayasan Darussalam Asy-Syafie, bahwasannya tradisi Arebbe ini sebagai bentuk doa serta shadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal.
Arebbe sebagai Ajang Silaturrahmi
Tradisi muncul karena pikiran dan perbuatan manusia yang terus menerus, arebbe yang erat hubungannya dengan masyarakat memiliki makna sebagai ajang silaturrahmi, dapat dilihat pada bulan rebbe (syawal) masyarakat Madura beramai-ramai silaturrahmi dan saling mengantarkan makanan antar keluarga dan tetangga. Silaturrahmi secara definisi adalah hubungan kekerabatan, berupa hubungan kasih sayang, tolong-menolong, dan berbuat baik. Sebagaimana Iman An-nawawi mengartikan silaturahmi dengan berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang yang menyambung dan disambung, bisa dengan harta, dengan bantuan, dengan berkunjung, mengucapkan salam, dan sebagainya.
Dalam tradisi arebbe terdapat serah terima makanan antar warga, sehingga tak salah jika kesannya seperti tukar-menukar makanan antar warga suatu kampung atau desa, dengan maksud saling menyapa, saling berbagi, dan saling meminta maaf. Ketika nisfus sya’ban masyarakat berbondong-bondong menghadiri masjid terdekat dengan membawa makanan-makanan, disanalah melakukan doa bersama serta ngaji yasin bersama dan dilanjut dengan makan bareng dari apa yang telah dibawanya. Disitulah tradisi arebbe bermakna sebagai ajang silaturrahmi antar sesama dengan tujuan mempererat tali persaudaraan.
Arebbe sebagai Bentuk Birrul Walidain
Dalam tradisi arebbe terdapat makna tidak tampak dari tindakan yang dilakukan sehingga masyarakat tidak menyadarinya bahwa yang diekspresikan merupakan suatu hal terpenting yaitu birrul walidain. Bentuk penghormatan pada sesepuh yang sudah wafat ialah dengan cara mendoakannya, dan orang madura merealisasikannya dengan tradisi arebbe. “dhu’a’ aghi reng sepponah tor rebbeih” maksud ungkapan orang Madura ini merupakan anjuran bagi anak agar selalu mendoakan orang tua dan sesepuh serta melakukan rebbe guna menghadiahkan pahalanya bagi yang telah wafat. Salah satu penerapan birrul walidain adalah taat kepada orang tua, senantiasa mendoakan kedua orang tua baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Tradisi arebbe merupakan bentuk mendoakan orang tua yang telah wafat, maka arebbe juga dapat dimaknai sebagai bentuk birrul walidain.