“Barangsiapa merusak satu orang manusia, seolah-olah dia menghancurkan seluruh dunia. Barangsiapa menyelamatkan kehidupan satu orang, seolah-olah dia pun telah menyelamatkan kehidupan semua manusia di seluruh dunia”.
(Kitab Mishna Sanhedrin 4:5, baca juga Talmud Tractate Sanhedrin Yerusalem 4:1 (22a)
Potongan ayat di atas sempat diubah pada abad pertengahan lalu, kemudian terbaca, “Barangsiapa merusak/menyelamatkan kehidupan satu orang Yahudi …..”. Menurut, Rabbi Arik Ascherman (Rabbis for Human Rights) dalam artikelnya yang berjudul “Does Judaism Teach Universal Human Rights?” (Rabbi Arik Ascherman: 2012), tampaknya ada beberapa kalangan yang merasa terganggu dengan makna universal dari teks tersebut sehingga harus dibuat sedemikian partikular.
Hingga, pada satu titik—kepedulian universal berangkat dari wawasan-wawasan spiritual. Rabbi Leonard Kravitz, guru dari Rabbi Arik Ascherman menunjukkan bahwa ajaran Yahudi di tengah masyarakat ramah, dan teks-teks yang paling khusus ditulis ketika bangsa Yahudi mengalami penindasan paling berat. Bangsa Yahudi mengalami banyak ‘benturan di kepala’, begitu banyak ”alasan baik” untuk membenci, merasa takut dan tidak percaya.
Bagi masyarakat Yahudi, pengalaman penindasan, persekusi, pengusiran hingga holocaust (שּׁוֹאָה/shoah)—begitu juga dengan sentimen antisemitisme yang berlangsung lama membangun kesadaran atau memori kolektif orang-orang Yahudi tentang penderitaan serta kombinasi dengan fakta bahwa mereka benar-benar memiliki musuh yang nyata saat ini, dan membuat mereka mencurigai setiap orang non-Yahudi.
Karena telah mengalami ‘benturan di kepala’, umat Yahudi harus menentukan sikap dalam dunia yang terus mempertontonkan kebencian di seluruh tataran dunia nyata hingga dunia maya—hingga tontonan kekerasan begitu eksklusif di hadapan mata seluruh umat manusia. Umat Yahudi yang selamat dari peristiwa berdarah holocaust kemudian belakangan hari membuat rancangan hak-hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter.
Lebih lanjut, Rabbi Arik bersimpati kepada sesamanya umat Yahudi dan kemudian mendorong kalangan umat Yahudi lainnya agar memandang dan bersikap atas dasar citra Tuhan dalam diri ‘orang lain’. Kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan Rabbi Arik di Israel dimulai dari mencegah dan menghentikan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia di Israel, tanpa pandang bulu, entah hak siapa yang dilanggar: baik itu orang Yahudi Israel, orang-orang Arab warga negara Israel, orang-orang Palestina di wilayah pendudukan, pekerja asing maupun bagi para pengungsi dari Afrika.
Prinsip menghormat martabat manusia adalah prinsip utama dan bersifat universal. Kaidah universalitas ini sejatinya berangkat dari beberapa tradisi Yudaisme, Rabbi Arik mendorong wawasan spiritual ini mampu menjadi alat untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlaku kepada seluruh umat manusia. Beberapa diantaranya; Pertama, Gerim Hayitem B’eretz Mitzrayim, “berpihak kepada yang tertindas”. Senada dengan Kitab Keluaran 22:21 yang berbunyi “Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir”. Ayat ini memberi isyarat sekaligus seruan untuk tidak melakukan penindasan atau menekan orang asing, sebab kamu (umat Yahudi) pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir. Lebih lanjut, bagian ini berisi perintah untuk mengasihi orang asing karena umat Yahudi sendiri pernah menjadi orang asing. Perintah yang paling populer dan paling sering diulang dalam Taurat adalah perintah untuk mengasihi ger (orang asing) dan tidak boleh menindas mereka.
Kedua, Ba’arsher Hu Sham, “tidak setiap non-Yahudi adalah musuh kami”. Meskipun umat Yahudi seringkali dihadapkan oleh konflik yang melibatkan teroris dari Palestina, namun tidak semua orang Palestina adalah teroris. Semua manusia memiliki citra Tuhan di dalam dirinya. Dalam Talmud Sotah 4a, umat Yahudi diperintahkan untuk meniru Tuhan sedapat mungkin sesuai kemampuan manusia. Oleh karena itu, penghormatan atas citra Tuhan yang yang berada di dalam diri ‘orang lain’.
Ketiga, HaKherev Ba L’olam, “ketidakadilan lebih jauh hanya akan membahayakan kita”. Di satu sisi, orang-orang Israel bisa dipahami terobsesi dengan keamanan. Namun, di satu sisi, ironi yang terjadi ialah ketika orang-orang Israel sering sampai membahayakan dirinya sendiri, terlebih ketika membenarkan tindakan yang tidak adil dengan mengatasnamakan keamanan. Sehingga, selama manusia membenarkan atau memaafkan kekerasan, pandangan tradisi Yahudi akan menemukan momentumnya; pedang berdatangan ke dunia karena keadilan ditangguhkan dan ditolak (Pieke Avot 5:11).
Keempat, Eizehu Gibur M’hagiburim, “siapakah yang sungguh-sungguh perkasa? Ada yang mengatakan, ‘orang yang mengubah musuh menjadi teman’”. Demikian ucapan yang begitu populer dari seorang Rabi Natan. Sebagaimana ketidakadilan mendatangkan pedang bagi dunia, demikian juga tindakan-tindakan yang adil dan solidaritas dapat menghasilkan keadaan yang sebaliknya.
Selanjutnya, perlu upaya kerendah hatian dan pikiran yang terbuka untuk melihat kebijaksanaan dari tradisi-tradisi spiritual lainnya untuk memandu seluruh manusia kepada kehidupan selanjutnya yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Perlu upaya untuk menemukan kembali citra Tuhan dalam setiap ciptaan di semesta keragaman ini. Karena menghina ciptaan-Nya, sama artinya menghinakan-Nya. Naudzubillah min dzalik!