Dalam satu agenda buka puasa bersama rekan-rekan kelas saya yang notabene adalah teolog Kristen, ada satu momen ketika seorang rekan saya tidak menyeduh kopi ketika saya berada di dekatnya. Dia menimbang kondisi saya yang kebetulan berpuasa dan mencoba menghargai posisiku. Sementara rekan saya lainnnya menyambar gelas kopinya yang tersisa setengah gelas sembari berkata—“mas Ahmad berpuasa harus diuji puasanya dengan cara seperti ini”—sembari melanjutkan menyeruput kopinya. “Tidak ada kemenangan tanpa peperangan mas”, tutupnya. Seketika saya teringat pepatah Latin yang berbunyi “si vis pacem, para bellum”, barangsiapa yang mengingingkan perdamaian, bersiaplah untuk perang”.
Gaya komunikasi atau gaya berdialog tersebut mungkin sulit ditemukan di tengah kondisi orang berpuasa yang gila penghargaan, yang bersiap marah atau minimal protes jika ada orang di sekitarnya yang tidak menghargainya yang sedang menjalankan puasa. Atau mungkin semua orang harus tahu bahwa dirinya sedang berpuasa. Sebagian orang melupakan bahwa puasa adalah urusan dan keputusan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan orang lain. Karena keyakinan tempatnya di hati manusia, di ruang privat.
***
Selain pandemi covid-19 yang tak kunjung usai, krisis ekologi, mudik yang dilarang, pelemahan KPK yang habis-habisan, hal yang istimewa di tahun 2021 ini adalah berjumpanya dua momentum besar dua tradisi agama Ibrahim, yakni Islam dan Kristen, momentum Idul Fitri dan Kenaikan Isa al-Masih yang jatuh pada Kamis 13 Mei. Perjumpaan hari besar kedua agama ini mungkin amat jarang terjadi, oleh sebab sistem penanggalan kedua agama ini memiliki basis yang berbeda sehingga butuh waktu lama untuk menemukan kembali momentum seperti ini lagi.
Meski tetap dalam suasana pandemi covid-19 yang makin mengganas karena kasusnya yang tak kunjung melandai ditambah dengan varian virus baru yang masuk ke Indonesia. Keadaan ini, diperparah dengan kondisi yang semakin tidak menentu ketika jalur-jalur perbatasan di beberapa daerah dikerubungi pemudik yang siap menembus barikade aparat yang berjaga-jaga untuk menyekat arus pemudik. Di kondisi seperti ini, dapat dilihat bahwa bukan Tuhan yang dapat menghentikan laju virus mematikan ini, manusialah yang bertanggungjawab atas penghentian virus ini.
Kembali pada dua momentum besar ini, Idul Fitri dan Kenaikan Yesus menjadi satu permenungan di tengah kekalutan bangsa Indonesia yang semakin hari makin sulit ditebak arahnya. Oleh karena anugerah bangsa Indonesia dikaruniai keragaman, sudah sepatutnya kita merayakan kemenangan dengan begitu semarak, paling minimal menghadirkan kemenangan serta kedamaian di relung hati kita. Menghadirkan surga di dalamnya.
Merayakan Kemenangan Idul Fitri
Bulan Ramadhan datang berulang, menyediakan tempat untuk jeda dari rutinitas. “Jagalah agar lambungmu kosong. Merintihlah bagai sebatang seruling dan sampaikan keperluanmu kepada Rabb”, seru Jalaluddin Rumi. Dalam puasa, sejatinya adalah fase pengosongan diri untuk menghadirkan Sang Ilahi di kedalaman hati, mendengar lebih jelas suara-Nya, melihat lebih jelas apa yang sejatinya menjadi perintahnya. Membentang seruan untuk mengasihi-Nya hingga mengasihi ciptaan-Nya dan segala pancaran kemuliaan-Nya di muka bumi ini.
Dengan berpuasa sejati, derajat manusia naik ke tangga-tangga spiritual. Memegang kendali nafsu, bukan dikendalikan olehnya. Menang atas segala ego angkara murka yang destruktif. Melawan musuh terbesar, yakni diri sendiri. Puncak kemenangan inilah yang kelak menjadi tujuan tertinggi dari Ramadhan yang tiap tahun datang membawa kesadaran manusia mengembara ke kawah candradimuka pelatihan pengendalian diri.
Merayakan Kemenangan Kenaikan Yesus Kristus
Pada momentum kenaikan Yesus adalah salah satu dari rangkaian kronologi Yesus, dari Natal (kelahiran), wafat (penebusan dosa), Paskah (kebangkitan) dan Kenaikan Yesus ke Surga. Dari mula Yesus yang merupakan firman Allah yang nuzul menjadi manusia hingga kenaikan-Nya dan bersatu dengan ke Allah Bapa (Rabb). Momentum kenaikan ini pula menjadi penanda bahwa karya Isa sebagai manusia sudah selesai dan berikutnya menjanjikan penolong, yakni Roh Kudus kepada para murid-murid.
Kenaikan Yesus ke surga menunjukkan kualitas kemanusiaan yang mengIlahi, menggenapi puncak pengorbanan-Nya di kayu salib. Yesus memberi teladan bahwa cinta Ilahiyat memerlukan pengorbanan paripurna. Tanpa pengorbanan, niscaya kemenangan dan damai sejahtera tak akan digapai. Dari momen ini juga, Yesus mengajak kepada semua umat manusia untuk memenangkan rasa khawatir dan takut karena akan datang penghiburan setelah kedukaan, akan ada pelangi setelah badai, senada dengan pesan al-Qur’an yang berbunyi “laa khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun” (mereka tidak takut dan tidak pula mereka bersedih).
Merayakan Kemenangan Bersama: Mungkinkah?
Dalam momentum berpuasa di bulan Ramadhan ini, umat Islam juga bisa melalui momentum kenaikan dalam kehidupannya. Imam Al-Ghazali memberi analogi bahwa ketika manusia terjerumus dalam hawa nafsu, maka ia turun ke tingkat hewan. Dan sewaktu ia mencegah diri dari hawa nafsu, maka ia terangkat ke tingkat malaikat. Malaikat itu dekat dengan Allah, yang perilakunya dekat dengan malaikat, berdekatlah ia dengan Allah, sebagaimana dekatnya para malaikat itu.
Pada saat yang sama, menengok peristiwa Yesus naik ke surga juga menjadi penanda bahwa karya Yesus sebagai manusia telah usai dan kembali atau pulang ke sisi Allah. Pada momen kepulangan Yesus ke sisi Allah ini dapat memberi isyarat juga kepada umat Islam bahwa fitrah atau muasal manusia adalah sisi Allah.
Yesus kembali ke Allah adalah satu momen krusial di kenaikan-Nya. Kembali ke fitrah kini tidak saja kembali suci dalam hal ini, namun juga refleksi mendalam bahwa kehidupan di dunia fana ini adalah peziarahan menuju kepada-Nya, pulang ke rumah-Nya.
Momentum Idul Fitri dan Kenaikan Yesus Kristus adalah dua momentum yang sama-sama membawa kemenangan kepada masing-masing hati yang merindukan persaudaraan umat beriman, yang merindukan Khaliknya. Momentum ini membawa kedua umat lebih rekat lagi untuk meraih kemenangan bersama-sama tanpa perlu saling mengalahkan satu dengan yang lainnya. Tanpa perlu menyalahkan yang lainnya untuk meneguhkan kebenaran sendiri.
Kemenangan rohani telah dicapai meski tetap membutuhkan perjuangan setelahnya. Kemenangan ini telah digapai pada momentum langka kali ini. Selanjutnya, kapan kemenangan atas kemiskinan, bencana ekologi, korupsi, kejahatan HAM dan bentuk kelaliman lainnya akan dicapai bersama-sama? Wallahu a’lam.