Haji Hasan Mustapa (HHM), di tatar Sunda, tentu sudah sangat dikenal. Seorang mistikus pengamal tarekat Satariyah yang sering disebut “Begawan Sirna di Rasa”. Kawan akrab Pangersa Abah Sepuh (KH Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad) mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, pendiri Pesantren Suryalaya, orang tuanya Pangersa Abah Anom (KH Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin).
Karya-karya HHM melimpah dan kebanyakan temanya mistik Islam yang ditarik dalam satu helaan nafas dengan kebatinan Sunda. Dikemas dalam bentuk sajak Sunda kuna, Dangding dan Guguritan. Walau pun berguru pada orang Arab semisal Mustafa al-Afifi, Syekh Abdullah az-Zawawi, Hasballah, dan Syekh Bakar as-Satha, namun tubuh dan pikirannya tetap terhunjam pada akar, tanah dan kultur Sunda. Keislaman dan Kesundaan menjadi tampak semisal garam dan asinnya; Arabisme “dipinjam” sementara untuk menyalurkan religiositas dan kebudayaan leluhurnya.
HHM Lahir di Cikajang Garut pada 1852 dan wafat di Bandung pada tahun 1930. Pernah menjadi penghulu besar di Aceh dan Bandung. Berteman dengan Snouck Hurgronje.
Di luar itu, tidak kalah penting, HHM juga seorang ajengan yang pintar menghidupkan suasana dengan humor- humornya yang cerdas. Humor menjadi alat untuk mengkritisi penguasa sekaligus mendekatkan agama dengan alam pikiran massa. Di samping itu, humor menjadi instrumen untuk mematahkan hujah lawan dan cara berkelit dari serangan argumentasi musuh dalam berdebat.
Suatu hari Kanjeng Dalem Bupati mengadakan syukuran. HHM ditugaskan sebagai pembaca doa. Tentu HHM menunaikan tugasnya dengan cukup meyakinkan: serangkaian doa panjang berbahasa Arab dan semua yang hadir mengaminkannya termasuk Kanjeng Dalem Bupati.
Pas pulang ada seorang kiai yang paham bahasa Arab kemudian berkata pada yang lain, “Keterlaluan Juragan Haji Hasan Mustapa, ia mencaci maki habis habisan Kanjeng Dalem sepanjang doa yang disampaikannya!”
Pada lain waktu. Sehabis Magrib seorang upas suruhan Dalem Bupati mendatangi HHM menanyakan ihwal jumlah setan. “Ada dua,” jawab HHM.
Opas kemudian pergi, namun tak lama berselang ia datang lagi membawa pertanyaan baru. “Yang dua itu, siapa saja?” HHM spontan menjawab, “Pertama, setan Kanjeng Dalem. Kedua, kamu, setan upas.”
HHM pernah ditanya tentang Tuhan:
Penanya: “Dupi Allah teh siga saha?”
HMM: “Ari silaing geus nenjo kangjeng?”
Penanya: “Parantos.”
HHM: “Geus nenjo Kangjeng Tuan Besar?”
Penanya: “Parantos”
HHM: “Tah sed saeutik ti eta.”
Tentang zina, seseorang bertanya pada HHM, ” Naon margina jinah teh diharamkeun?”
”Bisi reuneuh, karunya ku anakna, ditanya saha bapa, ngajawab henteu puguh, ” jawab HHM. Penanya, ”Kumaha pami teu reneuh?”
HHM menjawab: “Karunya ka awewena, ngan nyaho di cageurna bae, lebah galingging panas-tirisna teu pipilueun; dikamanakeun kamanusaana? kapan matak tatanya oge, hayang niat bener meureun.”
Seorang Jaksa membebaskan pencuri karena pencuri itu mengajukan keberatan, ”Tidak pernah saya mengambil harta orang, harta itu semuanya milik Allah, manusia hanya sekadar menerima titipan saja!” Jaksa tidak melanjutkan dakwaannya sebab tidak ada dalam hukum positif orang mengambil harta Allah harus dikenakan hukuman. Sebelum pada akhirnya Hasan Mustapa banding, ”Kami sudah mengadu kepada Tuhan dan jawaban-Nya: Hukum saja si bangsat itu dua bulan karena sudah berani mengambil harta Kami!”
HHM menghadirkan humor tujuan utamanya bukan dalam rangka mentertawakan apalagi melecehkan lian tapi untuk menanamkan kesanggupan mentertawakan diri: Nyurakan alam pribadi.
Surakna ayeuh ayeuhan
nyurakan alam pribadi
saban alam didatangan
ngawih ditungtungan seuri
nyeungseurikan pribadi
nutur ditungtungan imut
era paradah rasa
rasaning urut pribadi
sasambian nyaritakeun popotongan
Mari kita rayakan dunia fana ini dengan riang. Hidup yang tak dimeriahkan dengan canda tidak layak dipertahankan mati-matian. Cag!