Sedang Membaca
Humor Pesantren: Buku “Ulama Bercanda” Mengajak Kita Berkelana
Asep Salahudin
Penulis Kolom

Kolumnis, tinggal di Bandung

Humor Pesantren: Buku “Ulama Bercanda” Mengajak Kita Berkelana

Ulama Bercanda Santri Tertawa

Saya jarang sekali membaca buku sampai tuntas walaupun dalam suasana banyak tinggal di rumah. Kecuali ketika berhadapan dengan kitab, “Ulama Bercanda, Santri Tertawa”.  Buku ini bikin saya tidak bisa beranjak dari kursi sampai kemudian tidak terasa dipaksa berhenti di halaman 112.

Dalam suasana masih dikepung wabah covid-19 dan bayang-bayang ancaman “darurat humor”, membaca buku ini menjadi kontekstual. Kita dibawa pada kekayaan etnografi canda ulama yang dihimpun secara tekun Hamzah Sahal.

Di kalangan masyarakat pesantren, canda bukan hanya telah menjadi bagian dari percakapan keseharian, namun juga ikhtiar berkelit dari serangan lawan  atau  ekspresi politis  untuk  “menyoal” dunia sekelilingnya yang  dianggap menyimpang. Mungkin semacam counter culture.

Tentu saja yang paling piawai menghadirkan humor menyegarkan adalah  Gus Dur, mantan Ketum PBNU yang kebetulan menjadi Presiden Republik Indonesia keempat. Atau dalam seloroh puteri bungsunya, Inayah Wahid, “Gus Dur itu sesungguhnya adalah komedian yang punya profesi sampingan sebagai presiden, kiai, budayawan, dan penggerak sosial.”

Karena humor itu serius, maka membutuhkan kecerdasan. Humor seperti ini yang  tempo hari dikaji Plato, Socrates, Freud dan Huzinga. Maqam humor sejatinya setara dengan filsafat. Perbedaannya hanya sedikit, filsafat  mengarahkan logika supaya berjalan lurus dan koheren sementara humor membiarkan logika itu menyimpang pada belokan yang tidak terduga dan sengaja diciptakan banyak kontradiksi agar orang menerka kesimpulannya dengan melakukan asosiasi pada peristiwa yang mungkin dialami dirinya atau orang lain sehingga lewat kontradiksi dan atau konfrontasi  itu terjadi “pelepasan” yang secara fisik nampak dalam tawa yang keluar dari mulutunya.

Baca juga:  Humor Pesantren: Humor Mistikus Sunda Sirna di Rasa

Filsafat berkecamuk dalam pikiran, humor bergolak pada suasana. Filsafat bertaut dengan abstraksi, humor berkelindan dengan ambiguitas aksi. Filsafat konon memburu kebijaksanaan, maka humor sudah tiba pada kebijaksanaan yang membutuhkan pensikapan lapang.

Yakinlah, humor semakin dilarang kian subur. Semakin banyak bohongnya penguasa sebuah negara, canda akan semakin tumbuh gegap gempita. Humor gizi itu menyehatkan. Kata Arwah Setiawan, ada enam faidah humor. Pertama, mengendurkan ketegangan; kedua, pendorong intelegensi; ketiga, perangsang kreativitas; keempat, sarana  informasi yang enak diterima; kelima, kritik sosial; keenam, pendewasaan jiwa manusia dan lebih luas lagi pendewasaan ketahanan nasional.

Patut curiga

Humor menjadi alat ampuh dalam menanamkan kecurigaan:  bahwa setiap kekuasaan selalu potensial disalahgunakan.  Setiap gestur  yang ditampilkan penguasa baik menghadirkan paras bahagia, mimik  bersedih atau marah-marah sehabis memimpin sebuah sidang, selalu berpeluang menjadi atraksi manipulasi.

Kalau Anda tidak berani langsung mengkritiknya, maka  lelucon dapat menjadi paralonnya. Segenap inkonsistensi dan kemunafikan itu ditertawakan  saja agar pada gilirannya setiap kita sadar dan pada akhirnya menginsyafi  kekeliruan yang diperbuat tanpa harus menyalahkan orang lain.

Humor dalam sejarah terbukti punya daya merobohkan kekuasaan.  Walaupun tentu saja humor bukan faktor tunggal, namun peran humor juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Humor menginjeksikan sikap kritis pada masyarakat. Lewat humor desakralisasi kekuasaan berlangsung “aman” namun dampaknya amat mengguncang.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Kenapa Kiai Wahid Hasyim Tidak Poligami

Marcos dan Imelda  ketika berada di sebuah pesawat  pribadinya bertanya kepada pembantu di sampingnya, “Rakyat saya akan senang kalau saya tebar uang dari udara.” Dengan spontan dijawab, “Lebih senang lagi kalau uang itu ditemani Bapak dan Ibu dari udara!”

Di zaman Orde Baru saya kira kita tidak bisa melepaskan sosok Gus Dur yang tak pernah henti mengkritisi penguasa lewat senarai humor-humornya yang jernih. Katanya, pernah seorang  pejabat berpidato saat kampanye Golkar, “Saudara-saudara siapa yang membangun jalan dan jembatan?” “Golkaaar,” jawab massa. “Siapa yang membangun sekolah dan pasar?” tanya pejabat lagi. “Golkaar,” jawab massa. “Begitu kok dibilang korupsi. Siapa yang korupsi?” Lagi lagi massa serempak menjawab, “Golkaaar”.

Saya pernah mengatakan  bahwa deradikalisasi itu tidak harus melulu dengan cara-cara “serius” tapi justru lebih efektif  lewat humor. Coba sekali kali ajak bicara kaum puritan itu dengan bahasa yang bisi bikin suasana menjadi penuh tawa tidak tegang dan saling menyalahkan. Toh agama juga yang mengabarkan bahwa Al-Quran itu isinya tidak melulu “ancaman” (nadzira), tapi juga “kegembiraan” (basyira). Kita diseru lima kali sehari bukan hanya ajakan salat (hayya alash shalah), namun juga undangan agar hidup bisa dirayakan dengan riang (hayya alal falah).  Bahkankah  potret Kanjeng Nabi Muhammad saw  seringkali ditampilkan sebagai sosok yang murah senyum.

Baca juga:  Kiai Sahal dan Gus Dur

Dalam buku “Ulama Bercanda” tertulis ketika seorang Habib Rizieq giliran berpidato, ia tak lupa menyapa Gus Dur, “Yang saya hormati, Ibu Rachmawati Soekarno Putri…Yang saya hormati Gus Dur, yang menyebut saya sebagai teroris lokal…” Semua orang dalam forum tersebut tertawa. Setelah tawa berhenti dan Habib Rizieq bersiap melanjutkan pidatonya, Gus Dur berterak, “Alhamdulllah, ente masih ingat.”

Pada akhirnya manusia  bukan hanya homo religious yang hidup habis untuk bekerja (homo faber) dan serius berpikir (homo sapiens), namun juga satu hal yang tak boleh dilucuti sebagai khitah manusia adalah dimensi kejenakaan yang melekat dalam dirinya (homo ludens).

Dan saya kira, di tengah pandemi Covid-19, buku humor “Ulama Bercanda” mengajak (akal dan pikiran) kita berkelana sambil tertawa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top