Pada dasarnya nilai-nilai agama itu berbanding lurus dengan kemanusiaan itu sendiri. karena agama dibuat tidak lain untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia seluruh alam. Maka belakangan, jika ada orang-orang yang sering mengaku, bahwa ia adalah seorang yang paling paham dengan tuntunan agama, namun realita membuktikan bahwa yang ia lakukan hanyalah menabrak, bahkan melanggar agama itu sendiri, berarti itu perlu dipertanyakan pemahaman agamanya.
Ironisnya, orang-orang model seperti ini mampu membentuk sebuah komunitas yang kuat, mudah menyebar ke berbagai elemen masyarakat, bahkan terkesan lebih militan, sehingga nalar kolektif yang dihasilkan dari pemahaman seperti itu berseberangan dengan apa yang diingkan oleh tuhan lewat tuntunan agamanya, dalam hal ini adalah islam.
Dikisahkan, pada awal terutusnya Nabi saw, ada satu pemuda gagah yang bertanya seperti ini “wahai Rasul kenapa Engkau diutus ke dunia? ” jawaban Nabi saw cukup sederhana “saya diutus untuk menyambung tali silaturahmi, melindungi darah manusia, mengamankan jalan ”.- menggunakan istilah Habib Ali (الأمان المجتمعى), (تامين الحياة), (الأمن العام)-.
Sebenarnya setelah Nabi saw menyebut tiga point itu, beliau melanjutkan (تكسير الأوثان و عبادة الله وحده) yaitu menghancurkan berhala dan bertauhid, yang mana kedua poin ini adalah titik sublim dari manusia yang telah menggapai semua tuntunan di atas dengan benar dulu.
Namun pertanyaanya kemudian mengapa Nabi saw harus mengakhirkan dua point penting dari ketiga poin awal di atas? Habib Ali menjawab dengan menjelaskan demikian, bahwa ketiga poin tersebut adalah pemicu seseorang agar dapat merasakan dan menjiwai keimananya dengan jernih, karena jika kita andaikan dalam suatu lapisan masyarakat yang masih saja ada permusuhan, ketidakadilan, kesewenang-wenagan, bahkan yang paling ekstrim pengeboman, maka sudah pasti yang namanya hati -sebagai sebuah tempat paling mendasar- akan kehilangan kestabilanya. Impilaksinya, agama akan dinilai sebagai sebuah malapetaka bagi liyan.
Maka dengan ini, langkah pertama setidaknya bisa perlahan-lahan membumikan potret ajaran Nabi saw, berawal dari ketiga point tadi, sampai akhirnya di titik paling tinggi, yaitu bertauhid (Al-Insaniyah qobla at-Tadayun, Habib Ali al-jufri. Hal 204.).
Sekalipun maksud di sini bukan berarti menghilangkan syahadat untuk masuk islam. Namun demikian, tauhid hakiki hanya didapat setelah benar-benar melakukan hal tadi.
Lantas fakta manusia diciptakan hanya untuk beribadah adalah benar. Dan fakta ketidaktahuan kita terhadap tujuan ibadah itu pun benar, artinya kita itu terkadang abai dengan Ghoyah-nya, kita sendiri lebih sering terkerangken dalam washilah Seperti solat, agar manusia bisa menerapkan amar ma’ruf nahi munkar. Berpuasa, agar manusia terbiasa dengan bertaqwa. Menunaikan zakat, agar bisa mensucikan kepribadan manusia.
Dan pada dasarnya kita diciptakan bukan untuk hidup sendiri bukan?, maksudnya, kita punya tanggung jawab sosial yang harus diemban di pundak setiap insan. Untuk itu dari sekian Hadaf syariat tadi seorang filsuf kenamaan Hamdi zaqzuq telah mengglobalkan inti dari syariat menjadi paling sedikit tiga dasar. Pertama, “الرحمة” ini merupakan pengejawentahan dari kalam allah swt “وما أرسلناك الا رحمة للعلمين”. Yang kedua, “إقامة العدل بين الناس دون استثناء حتى مع الاعداء” dan ini juga bersumber dari firman allah swt :ولايجرمنكم شنئان قوم على الا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى”. Sedangkan yang ketiga “تأكيد المصلحة الحقيقية للناس فى دنياهم وأخراهم”. Maka sudah selayaknya ibadah kita harus selalu diselaraskan dengan tujuan-tujuanya (Al-Fikr ad-Dini wa Qodoya al-A’sr, Dr. Hamdi Zaqzuq. Hal 23,24.).
Bahkan lebih lanjut, beliau menerangan bahwa kata ibadah dalam ayat “وماخلقت الجن والإنس الا ليعبدون” itu lebih luas dari sekedar makna ibadah belaka, namun bermakna setiap perbuatan yang dilandasi ridho Allah swt yang serta merta membuat manfaat terhadap sesama dan menolak menyakiti manusia.
Kesimpulanya, menjadi manusia seutuhnya adalah memahami betul agama itu sendiri, artinya agama kita sudah mengeluarkan ajaran-ajaran yang sangat memanusiakan manusia, bahkan semua mahluk selain manusia. Untuk itu, jika manusia yang beragama -dalam tanda kutip islam- masih saja tidak benar ditataran norma, alasanya cuma satu, dia memahami agama hanya di kulitnya.