Sedang Membaca
Haji Orang-orang Nusantara
Avatar
Penulis Kolom

Alumni Ponpes al-Ikhsan, Beji, Purwokerto. Penikmat sejarah Islam Nusantara. Bisa bertegur sapa di akun twitter: @ariefroesdi311

Haji Orang-orang Nusantara

Haji Orang-orang Nusantara

Haji menjadi pemberitaan menarik setiap tahunnya, karena haji merupakan hari besar umat Islam. Terlebih, Indonesia menjadi negara dengan populasi Islam terbesar di Dunia sekaligus penyumbang terbesar jemaah haji.

Selain membahas ritual haji yang diselenggarakan setiap tahun, haji menyimpan sejumlah riwayat perjalanan orang-orang Nusantara yang menunaikan haji pada masa silam dan haji yang mempunyai peran terhadap bidang lain, seperti keilmuan, perdagangan dan sumber persatuan dan perlawanan terhadap kolonial.

Haramain adalah tempat tujuan haji, dimana sebagian rangkaian ritual haji dilaksanakan di disini. Disamping itu, Makkah juga menjadi kiblat Muslim seluruh Dunia, yaitu ke arah mana para penganut Islam mengharapkan wajah shalat. Banyak keutamaan diletakkan kepada Makkah dan Madinah.

Semenjak abad ke-16 koneksi Nusantara-Haramain mengalami momentum, yaitu meningkatnya orang-orang Nusantara yang mengadakan perjalanan haji. Hal ini ditandai dengan perbaikan kondisi sosial-politik, yaitu dengan bangkitnya Jeddah sebagai pelabuhan dengan reputasi Internasional yang menarik para pedagang, juga para penuntut ilmu dari dunia luar. Selain itu, banyak didirikan ribath dan madrasah di Haramain.

Perjalanan Haji

Semenjak abad ke-16 sampai sekarang, perjalanan haji menggunakan transportasi mengalami perkembangan. Hal ini ditopang oleh berkembangnya ilmu dan teknologi. Martin Van Bruinessen (2002) membagi 3 masa perjalanan haji orang-orang Nusantara ke Haramain.

  1. Kapal Layar

Sebelum masa kapal api, perjalanan  haji dicapai melalui kapal layar. Transportasi ini bergantung kepada musim karena penggerak laju kapal ini menggunakan tenaga angin. Para Haji biasanya menumpang kapal dagang dan sering pindah kapal. Jalur yang dilalui pertama melalui pintu keluar Nusantara, yaitu berlabuh di Aceh, kemudian mencari kapal menuju India, lepas itu berlanjut ke Yaman dan berlabuh di pelabuhan terakhir di Jeddah. Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui jalur darat dari Jeddah ke Makkah.

Baca juga:  Sejarah Rezim Berebut Hadis Shahih untuk Kepentingan Politiknya

Perjalanan haji masa ini membutuhkan waktu setengah tahun, bahkan lebih. Banyak rintangan dan bahaya perjalanan haji pada masa ini. Tak jarang kapal yang ditumpangi karam di lautan, terdapat bajak laut yang merampok para haji dan tidak terjamin keamanan perjalanan darat di tanah Arab karena suku-suku Badui sering merampok harta rombongan yang menuju ke Makkah.

Berdasarkan asumsi, ulama masyhur Nusantara yang turut dalam perjalanan ini adalah Syekh Abdurrauf al-Sinkeli (1615-1693), Syekh Nurrudin ar-Raniri (w. 1658) dan Syekh Yusuf al-Maqassari (1627- 1699). Kapal api diperkirakan muncul abad 19, jadi ketiga ulama tersebut kemungkinan belum menjumpai kapal api.

  1. Kapal Api

Dalam catatan Martin, masa ini berkisar antara 1853-1935. Penyedia jasa transportasi saat itu adalah kolonial Belanda. Kapal api pada mulanya digunakan Belanda sebagai kapal kargo untuk mengangkut bahan makanan gandum dan terigu dari Eropa, kemudian kembali ke Eropa membawa hasil bumi Nusantara, rempah-rempah dan kopra. Setelah melihat kebutuhan haji meningkat, pejabat Belanda mengubah kapal kargo menjadi kapal penumpang. Tere Liye (2014: 20)

  1. Pesawat Terbang

Semakin berkembangnya teknologi modern untuk menunaikan rukun Islam ke-5 menjadi semakin mudah bagi siapa yang mampu membayar biaya transportasi dan akomodasi. Di masa ini perjalanan transportasi berganti dari jalur laut menjadi jalur udara menggunakan pesawat terbang. Masa ini berawal dari awal abad ke-20 sampai sekarang.

Baca juga:  Makam dan Tunggak Semi

Tipe Imigran di Haramain

Umumnya orang-orang Nusantara yang mengadakan perjalanan haji ke Makkah adalah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Namun, banyak yang mempunyai tujuan lain dalam perjalanan haji, seperti memperoleh ilmu, mengabdikan diri melayani tempat-tempat suci. Azyumardi Azra dalam karyanya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18” membagi 3 tipe imigran yang berasal dari Asia Selatan (termasuk Nusantara)

  1. Little Immigrant

Tipe ini adalah mereka yang datang dan bermukim di Haramain dan diam-diam terserap dalam kehidupan sosial keagamaan setempat. Dengan asumsi para Imigran ini mulanya datang untuk haji, tetapi belakangan apa karena ingin melayani tempat-tempat suci atau karena tak punya biaya pulang pada akhirnya mereka menetap di Haramain

  1. Grand Immigrant

          Grand immigrant adalah ulama par excellence. Kebanyakan para imigran ini telah mempunyai dasar yang baik dalam kehidupan Islam, sebagian mereka sangat alim dan terkenal apakah di negeri sendiri atau di pusat-pusat keilmuan lain. Ketika sampai di Haramain, mereka terkualifikasi untuk ambil bagian dalam diskursus intelektual. Mereka memainkan peran aktif dalam pengajaran, juga turut menyodorkan gagasan-gagasan baru

  1. Ulama dan Murid Pengembara yang Menetap di Haramain dalam Perjalanan Panjang Menuntut Ilmu.

Biasanya mereka memperpanjang masa mukim mereka di Tanah Suci dan pada umumnya belajar dengan guru yang berbeda. Ketika mereka memperoleh ijazah dari guru-gurunya kemudian mereka kembali ke negeri asal yang biasanya terletak di pinggiran belahan dunia muslim, seperti Nusantara. Mereka membawa Ilmu dan gagasan, sebagai orang yang mentransmisikan Ilmu ke wilayah muslim pinggiran.

Baca juga:  Tempat Bersejarah di Tanah Suci dan Arab Saudi (1): Masjid Quba

Tipe imigran ketiga ini juga mempunyai peranan sebagai tokoh pemersatu Nusantara dan sumber perlawanan terhadap kolonial. Di Makkah, orang-orang Nusantara juga turut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda dan pemberontakan Banten 1888.

Haji Masa Sekarang

Berkembangnya teknologi membawa dampak positif dalam perjalanan haji, yaitu dari segi kecepatan, keamanan dan kenyamanan. Para jemaah haji sekarang dilayani menggunakan pesawat terbang dengan segala fasilitas.

Selain itu juga berdampak negatif dari aspek sosial,  yaitu haji kehilangan fungsi sosial. Sebelum menggunakan pesawat,  perjalanan haji ditempuh melalui perjalanan laut yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Memaksa jemaah haji untuk berkomunikasi dengan jemaah haji yang berasal dari negara lain. Haji berperan sebagai pemersatu umat muslim dunia. Setelah transportasi beralih dengan pesawat, fungsi sosial ini hilang.

Martin Van Bruinessen (2020: 16-17) memberi kesan mengenai jemaah haji di era teknologi “ karena kecanggihan teknologi modern itu, dan karena pengelolaan sentral melalui pemerintah, haji telah kehilangan fungsi sosialnya. Jemaah haji diangkut secara massal dengan pesawat udara, dan hanya beberapa minggu saja di Tanah Suci. Tempat tinggal untuk mereka bersama dengan orang Indonesia lainnya sudah disiapkan sebelumnya, sehingga kontak dan komunikasi mereka dengan umat Islam lainnya minim sekali”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top