Setiap seniman punya cara masing-masing untuk menapaki jalan spiritual. Lewat karya cipta, para seniman mencoba untuk melihat realitas dari sisi-sisi terdalam, mendokumentasikan peristiwa, dan pengalaman hidup secara estetik, dan pada akhirnya –melalui karya tersebut– berdialog dengan publik sebagai jalan spiritual (suluk) demi menemukan makna hidup yang sejati.
Ini yang saya tangkap dari Ngaji Dewa Ruci edisi “Bedah Karya Seni Rupa Lir-ilir”, Selasa (10/9/19). Pada kesempatan tersebut, dua seniman mempresentasikan karya-karya yang dipamerkan di Galeri Kaliopak, Nugroho dengan pahatan batunya berjudul Ya Allah. Sementara Bambang –perupa generasi 90-an– dengan lukisan Seribu Garis-nya.
Karya Ya Allah yang murni berbahan batu karya Nugroho memang sangat menarik, tidak semata karena kerja keras si perupa untuk mengolah bongkahan batu utuh demi mencapai bentuk yang artistik saja, namun pengalaman dan proses kreatif yang mengawali setiap laku penciptaan karyanya juga mensyaratkan spiritualitas yang dalam.
Nugroho, yang karya-karya pahatan batunya terinspirasi dari lafal Asma Allah, menceritakan bahwa dalam setiap proses penciptaan karyanya yang muncul hanyalah kesan ketidaktahuan dan kekosongan. Bahkan, suatu kali si seniman pernah berada di titik tak mampu berkata apa-apa ketika diminta menjelaskan karyanya.
Sejauh yang saya tangkap, dari karya dan pribadi Nugroho terlihat kesan ketundukan, kepasrahan total untuk menampung segenap limpahan keindahan yang diberikan Tuhan. Pun di sepanjang acara, Mas dia tidak banyak bicara untuk menjelaskan karyanya. Ia lebih banyak merenung seolah tengah berada dalam situasi refleksi terus menerus demi memaknai proses kreatif yang dilakukannya selama ini. Selanjutnya, ia sepenuhnya menyerahkan hasil karyanya untuk dinikmati dan diapresiasi oleh khalayak.
Sementara itu Bambang Widarso dengan karya lukisnya berjudul Seribu Garis menempuh jalan pengkaryaan yang berbeda. Pelukis yang identik dengan rambut gimbalnya ini menceritakan bahwa proses kreatifnya selalu diawali dengan kekagumannya atas garis. Baginya, garis adalah segalanya. Berawal dari garis, ia melakukan lompatan-lompatan imajinasi yang menerbangkan jiwa dan rasa sampai ke ruang ekstase keindahan yang ia harapkan.
Garis yang bermula dari titik kemudian membentuk bidang dan mewujud sebagai pola lukisan, diibaratkan sebagai saf (barisan) dalam salat berjamaah. Saf yang dimaksud adalah garis yang membentang, membujur, melintang sehingga memunculkan pemaknaan yang –menurut Bambang Widarso– bersifat ambigu. Ketika garis-garis ditumpuk hingga tersusun sebuah pola, di situ ambiguitas muncul. Meskipun demikian, justru ambiguitas inilah yang dicari oleh si perupa. Bagi Bambang, ambiguitas dalam garis adalah ruang imajinasi yang mewujudkan kemerdekaan dan kebebasan diri.
Melihat dua perupa di atas, saya merasakan bahwa proses pengkaryaan dalam kerja-kerja kesenian tidak semata sebuah upaya memunculkan bentuk karya seni rupa dengan standar-standar lukisan yang layak terpampang di sebuah galeri. Namun lebih dalam dari itu, seorang perupa dengan karya-karya yang dilahirkannya adalah serangkaian jalan spiritual suluk untuk mendaki tangga-tangga kesejatian.
M. Jadul Maula, pengasuh Pesantren Kaliopak, menutup sesi bedah karya dalam Ngaji Dewa Ruci malam itu dengan menjelaskan bahwa kedua perupa tersebut memiliki kesesuaian dengan semangat pameran Lir-ilir yang sedang berlangsung. Lir-ilir, yang secara terminologis bermakna lir (seperti) dan ilir (kipas), menurut beliau merupakan simbol udara, yang dalam syair ciptaan Kanjeng Sunan Kalijaga dikonotasikan sebagai tiupan rohani yang dihembuskan pada jiwa manusia-manusia Jawa.
Dengan isyarat dan makna demikian, proses kreatif dari kedua perupa tersebut menurut Kiai Jadul berangkat dari jalan yang berbeda meskipun pada akhirnya menuju capaian dan tujuan yang sama. Nugroho, dengan ketidaktahuannya, menerima dengan sadar apa saja yang diberikan Tuhan yang Maha Mengetahui sehingga melahirkan karya-karya pahatan batu yang tereja sebagai nama-nama Tuhan yang ia kenal.
Sementara itu, Bambang Widarso dengan semangat cintanya terhadap garis, menggali dan merefleksikan goresan-goresan garis demi mencapai ekstase dalam ruang ilahiah Ar-Robb Sang Maha Cinta. Melalui berbagai jalur suluk itu, Lir-ilir sebagai sumber inspirasi menemukan fungsi estetisnya untuk menghembuskan udara cinta ke setiap jiwa manusia.