Sedang Membaca
Sisi Lain Buya Hamka 
Arivaie Rahman
Penulis Kolom

Arivaie Rahman, M.A. Akademisi dan peneliti tafsir nusantara, lulusan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meminati studi Alquran, tafsir, hermeneutika, pemikiran Islam klasik dan kontemporer.

Sisi Lain Buya Hamka 

Siapa yang tidak mengenal Buya Hamka, seorang “kibar ulama” Indonesia asal Maninjau, Sumatra Barat. Romannya masih terus-menerus meraih pasar pembaca bahkan difilmkan, ajaran falsafah hidupnya masih segar untuk direnungkan, dan tafsirnya masih menjadi telaah beragam karya ilmiah.

Tulisan ini bisa jadi dituding sangat subjektif, karena “dinukil” dari goresan pena anak kandungnya, Irfan Hamka. Irfan di usia sepuh menulis semacam memoar ditilik dari sudut kedekatan biologis dan genealogis untuk mengenang ayahnya, Buya Hamka. Kendati begitu, oretan ini ingin mengetengahkan sisi berbeda seorang Buya Hamka yang belum dijamah oleh publik. 

Perlu ditekankan, tulisan berikut bukan untuk menciderai ketokohan beliau, tetapi untuk menambah pengetahuan tentang keseharian Buya Hamka yang tidak diketahui dan tidak ditulis oleh banyak orang. Selain oleh anaknya sendiri dalam buku berjudul: Ayah…(Jakarta: Republika Penerbit, 2013).

Buya Hamka Pernah Marah

Setidaknya Irfan Hamka mencatat dua kali ayahnya, Buya Hamka pernah marah. Pertama, kepada Haji Sidiq, dan kedua kepada seorang petugas pelaksana haji. Kemarahan sang Buya bukan tanpa sebab, tak mungkin ada asap tanpa ada api yang memantiknya. 

Kemarahan bukan berarti kejahatan, tetapi ketegasan. Begitu cara pandang subjektifnya. Buya Hamka marah bila kepentingan umum terusik, dan kepentingan manusia dinomor-satukan ketimbang kepentingan kepada sang Pencipta. Irfan mencatat dua rona amarah Buya Hamka:

Pertama, Irfan menyaksikan Buya Hamka marah ketika Haji Sidiq menyetel lantunan shalawat di malam buta. Al-kisah, masjid Agung Kebayoran Baru menerima bantuan sound system lengkap dengan piringan hitam berisi rekaman tilawah al-Qur’an dan shalawat. Jamaah tetap masjid, bernama Haji Sidiq berumur 60 tahun-an memonopoli penggunaan alat baru ini, orang lain tidak boleh mencampurinya.

Seharian Haji Sidiq menyelesaikan pemasangan dan penyetelan sound system baru itu, hingga ia kelelahan dan tertidur hingga maghrib tiba. Setelah didesak jamaah, marbot masjid bernama Soleh diminta untuk menggunakan pengeras suara karena waktu maghrib telah tiba. Spontan Haji Sidiq terbangun dan memaki Soleh karena mencampuri wewenangnya.

Maghrib dan Isya berlalu, ternyata Haji Sidiq kembali terlelap di kamar sound system. Malam telah larut, tiba-tiba terdengar suara shalawat yang sangat nyaring terdengar dari pengeras suara masjid. Warga sekitar terperanjat, termasuk Buya Hamka yang merupakan imam dan jiran masjid.

Baca juga:  Ilmu Pengetahuan dan Agama dalam Pandangan BJ Habibie 

Buya Hamka dengan mengenakan kaos oblong, berkain sarung tanpa alas kaki bergegas ke masjid. Digedor-gedornya pintu kamar tempat sound system itu berada. Haji Sidiq terkejut dengan kehadiran Buya Hamka, lantas ia bertanya: “Buya? Ada apa?”. “Terlalu! Pukul berapa sekarang? Cepat matikan alat itu!” bentak Buya Hamka. Haji Sidiq coba membela diri: “Tapi Buya?”. “Cepat matikan!” Hamka kembali membentak.

Haji Sidiq yang sedang bingung segera mematikan alat itu. Buya Hamka melanjutkan omelannya: “Saya, kan, sudah katakan, Pak Haji sudah tua. Apa tidak melihat pukul berapa sekarang? Pukul 12 malam. Tunggu saja nanti pukul 4 pagi!”. Setelah itu Hamka meninggalkan Haji Sidiq yang mati kutu. 

Akhirnya terungkap bahwa Haji Sidiq meyakini dibangunkan oleh Buya Hamka dan diperintah untuk menghidupkan sound system pertanda azan subuh segera tiba. Sosok tersebut sebanarnya bukan Hamka, melainkan Inyaik Batungkek, makhluk astral penunggu rumah Buya Hamka yang memberi pelajaran, tersebab tindakan Haji Sidiq yang telah bersikap kasar kepada Soleh.

Kali kedua, Buya Hamka menampakkan kemarahannya ketika sedang dalam perjalanan ibadah haji menggunakan kapal laut Mae Abeto, tahun 1967. Kapal itu sebelum berangkat, singgah dan merapat terlebih dahulu di pelabuhan Teluk Bayur untuk menjemput jamaah asal Sumatera Barat dan sekitarnya.

Waktu isya telah masuk, dikumandangkanlah azan di masjid kapal. Baru sejurus shalat isya selesai ditunaikan, terdengar pekikan menggunakan megafon memarahi orang-orang yang melaksanakan shalat: “Siapa yang kurang ajar menyuruh melaksanakan sembahyang tanpa pemberitahuan dari saya?

Spontan saja Buya Hamka langsung membentak keras, menggunakan bahasa minang: “Wa’ang yang kurang ajar! Apak Wa’ang yang kurang ajar! Niniek-niniek wa’ang kurang ajar kasadonyo” terjemahnya: kamu yang kurang ajar! Ayah kamu yang kurang ajar! Nenek-nenek kamu yang kurang ajar semuanya! “mana yang kamu dahulukan, menjalankan perintah Allah, apa menanti perintah dari kamu?”.

Baca juga:  Kiai Muhammad Ilyas: Dari Intelek hingga Gerakan Cangkem Elek

Bentakan Hamka tersebut menggunakan bahasa daerah agaknya cukup beralasan, sebab ia sedang berada di Teluk Bayur yang notabene-nya orang-orang Minangkabau, ditambah lagi memang Hamka merupakan anak jati ranah minang. 

Tidak cukup sampai di situ, kepada orang yang mengenakan jubah putih dan bersorban yang menjadi sasaran kemarahan tersebut, Hamka lantas menasehati dengan sedikit agak pelan: “Cobalah bertindak lembut dan membimbing bila diberikan kekuasaan dalam tugas. Jangan jamaah diperlakukan sebagai bawahanmu semua. Dengar baik-baik omongan saya ini, ya! Sudah, sampaikan sana perintahmu!” lalu Hamka pergi meninggalkan orang itu.

Belakangan diketahui, bahwa orang yang dimarahi tersebut merupakan petugas Kanwil Depertemen Agama, ia dikenal dengan panggilan terhormat “Haji Datuk”. Sejak saat itu, Haji Datuk tidak pernah tampak lagi di masjid kapal. Agaknya jera dan malu setelah mengenal orang yang menyemprotnya adalah Buya Hamka.

Hamka Penikmat Rokok

Meski seorang warga Muhammadiyah tulen, ternyata Buya Hamka juga menikmati tembakau. Tidak diketahui pasti kapan kebiasaan ini dimulai. Melalui kisah Irfan Hamka, di tahun 1956 ayahnya menghisap rokok bermerk Lancer dan tidak terlihat lagi menghisap rokok ketika berangkat haji tahun 1967.

Bila disorot lebih lanjut dalam konteks kesejarahan, Buya Hamka merokok sebelum menjabat menjadi ketua MUI, priode pertama (1975-1980) dan priode kedua (1980-1985). Masa itu orang-orang Indonesia tentu telah mengkonsumsi rokok, tetapi belum ada fatwa dari MUI maupun Tarjih Muhammadiyah.

Hamka biasa menaruh rokok Lancer-nya di saku jaz dan dihirup menggunakan sebuah pipa gading gajah. Fakta ini menunjukkan Buya Hamka bukan sekali dan sehari dua menjadi ‘ahli hisap’, tetapi telah menjadi kegemaran tersendiri. Sebab sejak dulu pipa gading gajah bukan barang remeh alias bernilai jual tinggi.

Lazimnya tren di era itu, Hamka tidak menyulut batang rokoknya menggunakan korek api gas, melain korek api kayu. Rokok bermerk Lancer tidak memiliki filter dipangkalnya, mirip seperti rokok kretek Dji Sam Soe yang masih bertahan hingga sekarang. Hamka mahir sekali memilin pangkal rokok untuk diselipkan pada pipa kesayangannya. 

Baca juga:  Ngaji Tuwo ala Mbah Moen

Hamka dan “Dunia Lain”

Sisi lain dari seorang Buya Hamka adalah ketika berdamai dengan bangsa jin penunggu rumahnya. Meski Hamka dikenal sebagai tokoh reformis muslim, sisi mistis yang lumrahnya subur di alam tradisonalis masih saja melekat pada sosok Hamka. 

Ulah penunggu rumah baru ditempati keluarganya di Kabayoran Baru itu membuatnya gerah. Ia bersepakat bersama beberapa anak laki-lakinya mengadakan “ritual” perundingan. Mereka berkumpul di sebuah kamar, menyelenggarakan shalat sunah dan membaca zikir-zikir. 

Tepat tengah malam, suara gemerincik bebatuan disekeliling rumah berdesir, itu tidak lain adalah Inyeik Batungkek (Kakek bertongkat) jin penunggu rumah. Semua anak-anaknya menanti tindakan yang diambil Buya Hamka. 

Hamka memberi salam: “Assalamu’alaikum, ya abdillah, kami sengaja menunggu saudara untuk berkenalan.” Suara yang mengitari rumah tadi berhenti tepat di depan pintu kamar. Hamka melanjutkan komunikasi: “Bisa saudara mendengarnya? Bila bisa, tolong beri tanda tiga kali ketukan!”. Kemudian terdengar suara ketukan seperti suara tongkat tiga kali: “Tok, Tok, Tok”

Komunikasi dengan “Dunia Lain” itu diakhiri dengan kesepakatan yang diajukan Hamka: “Mari kita diami rumah ini bersama-sama, saling menghormati. Saya telah serahkan keamanan rumah dan keluarga saya kepada Allah semata-mata, tolong diamati dan diperhatikan. Setuju?” kemudian terdengar kembali tiga kali ketukan: “Tok, Tok, Tok”. Buya Hamka menutup “ritual” malam itu dengan melantunkan doa yang di-amin-kan anak-anak lelakinya. 

Beberapa kisah di atas bagian dari sisi lain Buya Hamka yang relatif tidak banyak terpublikasi dan dikonsumsi masyarakat ramai. Citra Hamka selalu dipandang sebagai pribadi yang tenang dan pemaaf, namun bukan berarti ia tak pernah marah.

Begitu pula dengan kisah Buya Hamka merokok dan bekomunikasi dengan makhluk ghaib. Tentu sebuah sisi unik untuk mengenal dan meraih kedekatan dengan sosok Hamka, kendati tidak sekarib antara anak dan ayah. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top