“Hai manusia yang berani
Tangkaplah Tuhan sendiri dengan tali lasomu”
-Muhammad Iqbal
Iqbal tidak melihat Tuhan sebagai yang asing, yang terpisah. Iqbal justru memandang Tuhan sebagai sesuatu yang bisa disentuh, yang bisa digapai walau tak selalu sampai. Iqbal percaya bahwa setiap manusia dikaruniai daya kreatif dan kebebasan untuk menggapai Tuhan. Melalui akal pikiran itulah, Tuhan tidak dipandang sebagai sesuatu yang mustahil. Sebagaimana amatan yang ditulis M.M. Syarif dalam bukunya Tentang Tuhan dan Keindahan (1995) : Tuhan tidak bisa diperoleh dengan meminta-minta/ dan memohon semata/ karena hal seperti itu/ menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Mendekati Tuhan haruslah konsisten dengan ketinggian martabat pribadi. Dengan menyerap Tuhan ke dalam diri, tumbuhlah ego. Ketika ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ke tingkatan wakil Tuhan.
Konsepsi Iqbal tentang Tuhan ini sesuai dengan yang ditulis F.Schuon dalam bukunya Memahami Islam (1994). F. Schuon menuliskan konsep iman terdiri dari dua bagian pokok. Penerimaan total dan peniadaan. Penerimaan total adalah penerimaan segala yang diberikan maupun yang diatur oleh Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan. Sementara peniadaan adalah penolakan kepada yang selain-Nya, serta tidak menjalankan apa yang dilarang oleh-Nya. Dengan begitu, seorang yang beriman adalah orang yang menaati ketetapan dan ketentuan Tuhan, serta mengikhlaskan diri untuk tidak terjatuh atau terjerembab dengan ketentuan yang bukan dari Tuhan. Dengan menyerap nilai-nilai Tuhan, manusia memungkinkan menempati kedudukan yang tinggi yang dijanjikan Tuhan.
Dalam ceramahnya yang berjudul Islam Sebagai Cita Moral dan Politik ia menulis:
“Tuhan telah menganugerahkan kepada dan kemampuan untuk memahami dan mengendalikan alam. Pengakuan Qur’an dan terhadap realitas dosa dan penyesalan mengisyaratkan islam tidak memandang alam secara optimis dan tidak pula secara pesimis.”
Inilah mengapa tanggungjawab bumi pada akhirnya diserahkan kepada manusia sepenuhnya. Kelestarian, kerusakan, atau kemakmuran dan kelangsungannya tergantung pada manusia. Dalam hubungannya dengan konsep ketuhanan, sebenarnya, manusia mendapati perintah yang sama untuk menjaga dan melestarikan alam atau sejenisnya.
Sebab itulah manusia dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Manusia yang menyerap nilai-nilai Tuhan disebut sebagai insan kamil atau manusia sempurna. Manusia yang mampu mengjewantahkan sifat-sifat Allah di bumi. Konsepsi ini berbeda dengan pandangan Nietzsche yang memandang Tuhan telah mati. Orang-orang beragam digambarkan telah membunuh Tuhan. Nietzsche menganggap agama adalah candu.
Iqbal justru meletakkan sifat-sifat Tuhan, konsep ketuhanan ada pada manusia. Kesadaran akan hadirnya Tuhan sebenarnya tergantung pada manusia itu sendiri. “Tuhan adalah Ego Yang Maha Hakiki dan individu yang unik. Individualitas Ego Yang Maha Hakiki tersebut ditekankan dalam Al-qur’an dengan nama Allah. Dan konsepsi mengenai Tuhan, mengandung banyak unsur penting seperti “Kekreatifan, Pengetahuan, KemahaKuasaan, dan Keabadian.”(Aziz Ahmed, Muhamad, 1983 :5). Iqbal menyadari bahwa kebebasan Tuhan tidak pernah terpengaruh sedikitpun dengan kekuasaan manusia. Justru manusialah yang mesti belajar dan menyerap sifat-sifat Tuhan agar ia mampu memimpin dan menjaga bumi ini.
Tuhan meski memiliki sifat-sifat Ilahiah, ia memberi kebebasan pula kepada manusia untuk memanfaatkan daya pikir dan kreatifitas yang telah dianugerahkan kepadanya melalui akal. Itu pula yang ditangkap dalam puisi Iqbal yang berjudul Tuhan dan Manusia dalam buku puisinya Pesan dari Timur (1985) :
“Kau mencipta malam, aku mencipa lampu yang meneranginya
Kau buat lempung, kubikin darinya cawan minuman
Kau bikin hutan liar, gunung dan padang rumputanapa
Kucipta kebun, taman, jalan-jalan, dan padang gembala
Kurubah racun berbisa jadi minuman segar
Akulah yang mencipta cermin cerlang dari pasir”
Daya cipta manusia, kreatifitas dan juga kekuasaan manusia dalam puisi ini nampak sekali disejajarkan dengan kekuasaan, kreatifitas dan kebebasan Tuhan. Iqbal memandang bahwa insan kamil sebagaimana para sufi memiliki sifat-sifat yang menjelmakan kekuasaan Tuhan. Tangan, kaki, serta apa yang dikehendaki orang yang dekat dengan Tuhan adalah kehendak Tuhan.
Iqbal berguru kepada Rumi. Rumi menganggap Tuhan adalah yang bisa didekati walau tak selalu bisa digapai. Tapi ia yakin, ia akan sampai. Rumi menempuh jalan menemukan Tuhan sebagai jalan para sufi. Dengan menari, dengan membuka mata batin, menutup mata ragawi, mendidik ruhani untuk sampai kepada-Nya. Sebab ruhaniah kembali kepada Tuhan.
Meskipun Iqbal berguru kepada Rumi, Iqbal memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan. Iqbal memandang keimanan dinilai bukan dari iman yang pasif. Namun iman yang aktif. Sebagaimana tergambar dalam puisinya berikut: Dia yang tidak punya kekuatan untuk mencipta/ Tak bergunalah bagi kita/ itulah dia yang tidak percaya. Artinya Iqbal memberi kritik pada orang yang beriman tetapi tidak berani berpikir kreatif, berbuat inovatif, dan memiliki daya cipta. Orang yang seperti ini dianggap sebagai orang yang pasif dalam keimanannya.
Pandangan Iqbal tentang Tuhan memiliki kaitan erat saat ia memandang perkara takdir. Dimana pandangan Iqbal ini sesuai dengan pemikiran Ibnu Arabi. “Segala yang telah ditentukan untuk kita, itu sesuai dengan hakekat kita; bahkan kita sendirilah yang mengatur itu sesuai dengan hakekat kita sendiri.” M. M. Syarif dalam bukunya Iqbal; Tentang Tuhan dan Keindahan (1995) membandingkan Iqbal dengan Nietzsche. “Filsafat Nietzsche adalah filsafat yang tak bertuhan. Obsesinya dengan gagasan manusia super (adi manusia) membuat gagasan-gagasannya tentang masyarakat dan hakikat menjadi tidak berarti.”
Dengan begitu, Tuhan dalam pandangan Iqbal adalah Tuhan yang memberikan kebebasan kepada manusia dan daya kreatifnya, serta memberikan tanggungjawab pula terhadap manusia akan apa yang ia lakukan terhadap alam semesta. Sehingga kebebasannya tetaplah memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus diterima. Jadi tidak sekadar memberikan cap kafir kepada liyan, tantangan kepada umat ber-Tuhan sebenarnya adalah pada bagaimana umat islam menjawab masalah-masalah keumatan, itulah kiranya yang menurut Iqbal lebih utama ketimbang mengurusi iman personal seseorang. Inilah relevansi pemikiran Iqbal tentang ketuhanan.