Iqbal adalah penyair sekaligus pemikir Islam dunia. Pemikirannya jauh melampaui zamannya. Iqbal dianggap sebagai pemikir yang telah membangkitkan kelesuan pintu ijtihad dalam Islam. Bahkan Iqbal mengatakan:
“Penutupan pintu ijtihad benar-benar suatu mimpi”. Seiring dengan seruan Imam Al-Ghazali yang melarang filsafat, umat Islam kemudian lama sekali pulas dengan tidur panjangnya. Hegel pun menulis yang dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif tentang keadaan Islam di kala itu : “Islam has long vanished from the stage of history at large, and has retread into Oriental ease and repose” (Hegel, 1956 :360). Maarif menjelaskan “ease and repose” (bersantai-santai dan mengaso).
Iqbal menganggap adanya sufisme membuat umat Islam menjadi lemah. Menurutnya, umat Islam harus meniru apa yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Nabi dulu yang pernah berjumpa dengan Tuhan dan menikmati puncak spiritualisme, ia memilih kembali ke bumi. “Mistik tidak mau kembali dari istirahatnya dari “pengalaman bersatu” : sekalipun dia benar-benar kembali seperti apa yang seharusnya, akan tetapi kembalinya ini tidak banyak ditujukan demi umat manusia secara umum. Sedangkan kembalinya nabi sifatnya kreatif. Beliau mengembalikan kekuatan-kekuatan sejarah yang karenanya menciptakan dunia cita-cita yang segar”.
Profesor Gibb dalam bukunya Modern Trends In Islam menulis: “Islam adalah agama yang hidup dan vital, yang menggugah nurani, diri dan kesadaran berpuluh-puluh dan bahkan beratus-ratus juta manusia, dengan menciptakan tolok ukur bagi mereka agar hidup jujur, bijak dan takwa. Yang kaku bukanlah islamnya, tapi rumusan-rumusan ortodoknya, teologi sistematisnya, dan apologetik sosialnya”.
Islam diartikan tidak hanya aturan dan ketentuan yang hanya berlaku pada individual, namun holistik. Pandangan Iqbal sejalan dengan pandangan Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (1987), Fazlur menulis ; “Al-qur’an ialah moral, yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral tidak dapat diubah; ia merupakan “perintah” Tuhan; manusia tidak bisa membuat hukum moral: ia sendiri harus tunduk kepadanya, ketundukan itu disebut “Islam” dan perwujudannya dalam kehidupan disebut “ibadah” atau pengabdian kepada Allah”.
Iqbal memandang dalam teori politik Islam, ia begitu normatif :
“Teori tersebut membahas suatu cita-cita etis yang khas. Suatu teori tentang peningkatan martabat manusia ke kehidupan yang layak yang tertinggi, baik secara moral maupun material, dengan menggunakan alat persemakmuran ekstensif yang dibangun berlandaskan keimanan pada satu Tuhan, yang memiliki keutamaan kedaulatan.”
Kesadaran agama sendiri menurut Iqbal sudah mengandung pemikiran politik. Seperti yang dia tulis di buku Reconstruction of Religious Thought In Islam : “Islam bukanlah penggalan-penggalan peristiwa, bukan pula sekadar pemikiran, hanya perasaan atau suatu tindakan semata; Islam adalah ceminan dari manusia secara utuh.”
Dr. Muhammad Aziz Ahmed (1983) dalam bukunya Pemikiran Politik Iqbal memberikan pandangan Iqbal tentang konsep khalifah. Khalifah adalah pengatur yang sesungguhnya bagi makhluk manusia; kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di dunia. Di luar kekayaan fitrah-nya dia menghamburkan kekayaan hidup bagi orang lain, dan menarik mereka semakin dekat dengan dirinya.” “ Untuk masa kini, dia hanya cita-cita belaka; akan tetapi evolusi umat manusia cenderung mengarah kepada dihasilkannya suatu ras ideal yang terdiri dari individu-individu yang hampir unik, dan yang akan dipimpin oleh individu yang paling unik yang mungkin ada di dunia.”
Pemikiran politik Iqbal didasarkan pada konsep Tuhan yang dipandang sebagai ego yang paling berdaulat. Dengan kekuasaannya Tuhan mampu mengatur semua lini kehidupan, setiap aspek kehidupan. Melalui Islam itulah, kehidupan manusia diatur dan dituntun. Walau demikian, Iqbal sendiri sampai saat ini, kekhalifahan masih merupakan cita-cita. Kesulitan itu dikarenakan setiap individu memiliki keistimewaan untuk menafsirkan bentuk pemerintahan masing-masing negara. Disamping itu, saya memandang kekhalifahan bukanlah sesuatu yang mudah setelah nabi wafat.
Kekhasan kekhalifahan sebagai institusi dalam Islam sudah lama menjadi pengamatan Ibnu Khaldun. Sebab kekhalifahan mengikat kehendak pemimpin dengan syariat, hukum ilahi, sehingga hasrat-hasratnya sendiri tidak sah. (Mernissi, Fatima, 1993:21). Di dalam konsep kepemimpinan Jawa, kita mengenali Titah Raja titahing Gusti (Apa yang dikatakan Raja adalah perantara Tuhan), karena itulah seorang khalifah lekat dengan sikap sempurna, karena mewakili Tuhan di bumi.
Dalam kehidupan politik di negaranya, ia bukan sekadar pemikir, melainkan aktor pula. Ia terpilih menjadi anggota Majelis legislatif Punjab tahun 1927, dan pada tahun 1930 terpilih menjadi Presiden tahunan Liga Muslimin. Ia mendukung berdirinya negara Islam di timur laut India. Sejak itu pendukung Pakistan menganggapnya sebagai pemimpin mereka. Tahun 1932 ia ikut menjadi delegasi KMB yang dilangsungkan di London untuk membentuk pemerintahan yang konstitusional di India. Di tahun yang sama, ia mengetuai Konferensi Islam.
Pemikiran politik Islam, menurut Iqbal tidak bisa dilepaskan dari konteks India tempat dimana dia memperjuangkan berdirinya negara Islam. Akan tetapi dalam gagasan politik Islam yang dia gaungkan, memiliki pokok-pokok pikiran sebagai berikut : Pertama, Sistem politik Islam memberi wadah kepada Undang-Undang dan juga hukum Tuhan sebagai pijakan, bukan hasrat pribadi pemimpinnya. Kedua, Setiap individu muslim memiliki keterikatan pada ketentuan hukum moral dan tata hidup yang diturunkan Tuhan melalui Al-qur’an. Ketiga, supremasi hukum Illahi merupakan salah satu tujuan tertinggi tata pemerintahan Islam dan baik Amir maupun anggotanya harus taat pada Shariat dengan mengakuinya sebagai kehendak dan perintah Allah (Aziz Ahmed, Muhammad, 1983: 49).
Iqbal telah meletakkan dasar “politik Islam” yang memberi gambaran pokok yang bisa diterapkan pada komunitas muslim di belahan dunia manapun, tidak terkecuali bagi muslim minoritas yang tinggal di negara non muslim. Sebab pada dasarnya “politik Islam” adalah sebuah cita-cita dari individu-individu muslim yang sepenuhnya percaya pada tata aturan kehidupan Islam melalui syariat, meyakini dan menjalankannya sebagai konsekuensi seorang hamba pada Tuhan.