Dalam ensiklopedia yang diterbitkan PT Gunung Agung tahun 1976, Profesor Soegada Poerbakawatja mengartikan pesantren sebagai tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Memang di pesantren itulah pada mulanya orang belajar dan hendak mempelajari lebih dalam agama Islam.
Sistem di pesantren memang dikenal dengan sistem pendidikan paguron. Artinya, seorang santri atau seorang yang menuntut ilmu itulah yang mendatangi gurunya. Di pesantren, para pelajar tinggal di “pondok”. Pondok adalah seperti rumah berbentuk khas Jawa dengan tiang yang mengelilinginya dengan halaman yang cukup luas sehingga santri bisa mengelilingi Kiainya atau bersaf-saf seperti orang salat di depan Kiainya untuk mendengarkan wejangan atau ceramah dari Sang Kiai.
Pembangunan Pondok kadang-kadang dibangun oleh seorang guru atau penduduk setempat. Dari situlah awal mula pesantren berdiri. Berdirinya pesantren bermula dari kharisma seorang Kiai yang memiliki keikhlasan dalam memperjuangkan agama Islam dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Kemampuannya itulah yang memikat para santri/ pelajar untuk belajar datang kepadanya.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun pernah menulis kekhasan dari pesantren di buku Bunga Rampai Pesantren (1974). “disamping kurikulum pelajaran yang sedemikian lentur (luwes), keunikan pengajaran di pesantren juga dapat ditemui pada cara pemberian pelajarannya, kemudian dalam penggunaan ateri yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri. Pelajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka, di mana kiai membaca, menterjemahkan, dan kemudian menerangkan persoalan-persoalan yang disebutkan dalam teks yang sedang dipelajari. Kemudian Si santri mengulanginya .” Metode lain yang dikenal dalam pendidikan di pesantren adalah dengan metode sorogan, artinya santri menyetorkan bacaan atau kitab yang sudah dipelajari kepada guru atau kiainya. Metode ini dianggap sebagai metode pendidikan yang efektif di pesantren.
Kalau melihat sistem pendidikan pesantren, kita akan menemukan metode pengajaran yang berbeda. Ini disebabkan pesantren memiliki tujuan tersendiri dari pendidikan dan pengajarannya. Tujuan dari pendidikan pesantren ditulis oleh Drs. Soeparlan dan M. Syarif BA pada bukunya Kapita Selekta Pondok Pesantren (1970), menurutnya, “pelajaran di pesantren tidak mengutamakan mendidik para santri untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat, akan tetapi sebagian besar ahli-ahli agama Islam biasanya telah mengikuti pelajaran-pelajaran di pesantren.” Drs. Kafrawi MA (1978) menulis tujuan dari para wali mendirikan pesantren di tanah Jawa pada waktu itu, “sebagai tempat menyiarkan agama Islam dan membentuk guru-guru yang akan meneruskan usaha tersebut di kalangan ummat”. Dengan demikian, tujuan dari pendidikan pesantren yang hampir semua pesantren adalah mencetak ulama yang alim.
Sebagai sebuah sistem pendidikan yang menghasilkan Kiai dan ulama, pesantren memiliki kekhasan dalam mengajarkan makna Islam itu sendiri. Islam di tangan para Kiai di pondok pesantren ikut memberikan warna dan corak yang khas Islam yang teduh, sejuk , luwes dan toleran.
Pendidikan di pondok pesantren memiliki implikasi yang sangat efektif bukan hanya di kalangan individual, tetapi diakui di kalangan masyarakat luas. Pesantren sendiri diakui sebagai lembaga pendidikan Islam yang cukup tua dan memiliki akar yang kuat dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia.
Pada buku Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman (1979) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, memasukkan pesantren ke dalam salah satu dari tiga sistem pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia. Pendidikan di langgar, pendidikan di pesantren dan pendidikan madrasah.
Pendidikan di pesantren selain mendidik bab agama, pesantren terkenal dengan pengajaran kitabnya, ilmu nahwu, hingga ilmu tasawuf. Besarnya pesantren dan perkembangannya bisa dilihat dari pengaruh dari para santri atau muridnya yang membawa ajaran atau nilai-nilai pesantren ke dalam kehidupan mereka sehair-hari. Banyaknya para Kiai atau Da’i yang lahir dari rahim pesantren turut serta membawa nama besar pesantren.
Sistem Pendidikan Holistik
Sistem pendidikan di pondok pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan terbaik. Ki Hadjar Dewantara menganggap sistem pondok ini adalah sistem yang sesuai dengan pendidikan di Indonesia. Sebab pengajaran di pesantren selalu berhubungan terus-menerus. Sistem ini juga memadukan sistem suasana perguruan, kepemudaan dan kekeluargaan sekaligus (Sunyoto, 1974).
Dalam pendidikan di pondok pesantren itu pula tidak terpisah hubungan antara murid dengan guru. Guru yang berumah di dalam pondok pesantren dapat melihat kehidupan santri dalam waktu 24 jam. Begitu pula santri yang bisa melihat kehidupan Kiai secara langsung selama sehari penuh. Dalam pengajaran yang ada di pesantren selama waktu yang tidak terbatas itulah, setiap santri dapat menimba ilmu lebih jauh dengan Kiainya dan memiliki tafsir tersendiri mengenai apa yang diajarkan Kiainya.
Meskipun secara formal tidak diungkapkan oleh Kiai bahwa lingkup kehidupan kesehariannya adalah hal yang bisa dicontoh, para santri menjadikan Kiai sebagai panutan tidak hanya dalam urusan pengajaran agamanya tetapi juga laku kesehariannya.
Selain pengajaran ilmu aqidah, bahasa arab, ilmu fiqih, nahwu sampai ilmu tasawuf, pesantren juga dianggap sebagai lembaga pendidikan yang membawa pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat yang ada pesantren di dalamnya, Kiai menjadi rujukan masyarakat dalam soal agama, maupun dalam kehidupan lainnya.
Kini, pesantren telah berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang modern dan maju. Melalui pesantren dan juga pengelolaan yang profesional, pesntren telah memiliki kontribusi penting dalam perkembangan dan kemajuan pendidikan bangsa ini. Bila dulu lembaga pendidikan di pesantren lebih merdeka, kini lembaga pendidikan pesantren diawasi oleh pemerintah akibat citra pesantren yang sedikit banyak tercoreng karena faktor internal Kiainya maupun ajaran yang diwariskan oleh pesantren tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren tetap membawa nama Islam yang mau tidak mau membawa konsekuensi publik terhadap citra “Islam” itu sendiri. Inilah bagian dari tantangan pendidikan pesantren di era modern seperti sekarang ini.