Sedang Membaca
Mencintai, Menjadi Ada di Hadapan-Nya

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Mencintai, Menjadi Ada di Hadapan-Nya

Rabiah

Tidak ada ilmu yang begitu dirindui pencinta sejati selain ilmu menjumpai kekasihnya, mencintainya, dan merasakan dekat dengannya. Bisa memandangnya, bergumul dengannya, serta merasakan memadu kasih dengannya. Begitu pun dalam kehidupan kita di dunia ini.

Tidak pernah akan sempurna jika kita menuntut ilmu tinggi-tinggi, tapi bila tidak menemukan ilmu “mencinta”, sia-sialah hidup kita. Tentu akan terasa kosong jika kita menikmati kekayaan, ketenaran, jabatan, pangkat, ahli ekonomi, presiden atau kedudukan apapun, tapi tidak memiliki “ilmu mencintai”. 

Ilmu mencintai inilah yang dirindu, dicari oleh para pejalan tasawuf. Keyakinan hidup sesudah mati, keyakinan bahwa kita akan dihidupkan kembali ruh kita adalah keyakinan yang menuntun kita untuk tidak membawa dunia ke dalam hati kita. Para pejalan tasawuf tahu bahwa mereka merindu kematian sebelum mati yang sesungguhnya.

Artinya, mereka sudah menutup rapat-rapat, mentalak dunia sebagaimana yang dilakukan oleh Ali Bin Abi Thalib. Bukan berarti anti dunia, tetapi tidak menganggap dunia sebagai yang pokok, yang final.  

Dalam novelnya berjudul Mati Bertahun Yang Lalu (2010) yang ditulis oleh Soe Tjen Marching, ada kalimat yang bernada eksistensialis. “Bukankah manusia juga begitu? Kita adalah miliaran makhluk yang seringkali tak tahu mengapa kita ada, darimana kita datang, dan kemana kita pergi.” 

Keberadaan manusia memang keberadaan paling misterius. Adanya dia, kemunculan dan ketiadaannya seringkali tidak disadarinya. Kesadaran manusia dalam pandangan Descrates adalah saat manusia itu bisa berfikir atau sadar. Agama, selalu membedakan antara orang yang sadar dan tak sadar. Manusia yang sadar akan dikenakan kewajiban dan tuntutan agama. Sementara orang yang tidak sadar, gila, ia akan terbebas dari kewajiban atau hukum agama.

Baca juga:  Hikmah atawa Nasehat Imam Syafi'i

Ada pertanyaan yang begitu penting berkaitan dengan kesadaran kita sebagai manusia. “Sampai dimanakah pengetahuan kita bahwa kita sadar atau tidak dalam menjalankan agama? Siapakah yang menentukan bahwa anda sadar atau tidak sadar dalam menjalankan agama?”

Dalam bahasa sederhananya, kita sendiri tidak tahu, apakah selama ini kita sadar dalam menjalankan agama. Bagaimana bila yang terjadi justru selama ini kita “tidak sadar” bahwa kita telah memeluk agama, mencintai-Nya dengan sepenuh cinta.  

Jauh bertahun-tahun yang lampau, dalam kegamangan serupa, dalam ketidakpastian, dalam kerinduan akan petunjuk, seorang mantan budak terus-menerus mendaras doa. Bermunajat siang dan malam, meneteskan air mata, memohon kepada Ar-Rahman agar mengasihinya, memeluknya erat-erat. Mulai dari detik itu pula, Rabiah Al Adawiyah menempuh jalan sunyi, jalan yang dirindu oleh banyak orang. Jalan cinta, jalan kesejatian, jalan kehidupan yang kekal. Jalan kematian sebelum kematian datang. 

Rabiah bukan siapa-siapa, ia manusia biasa yang lepas dari segala keahlian dan ilmu. Hidupnya menepi, menjumpa sunyi. Tinggal di rumah yang sangat sederhana. Ia hidup dengan jalan cinta. Hidupnya adalah ibadah dan berkhalwat kepada Tuhan-Nya. Pencarian dan kerinduannya begitu intim, hingga mengetuk pintu langit. 

Rabiah adalah contoh dari sebuah eksistensi. Ia adalah teladan dari eksistensi dan de-eksistensi. Rabiah telah menjadi manusia yang paling diakui, dihormati para sufi, dan menjadi guru spiritual para pencari jalan tasawuf. Ia begitu eksistensial dalam dunia barat dan timur. 

Baca juga:  Syekh Hasan Al-Bashri Mengagumi Petuah dari Empat Orang yang Diremehkan

Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang hidup pula dengan eksistensi dan de-eksistensi yang sempurna. Kedudukannya sebagai hamba telah membuatnya meniadakan dirinya di mata siapapun (manusia). Dalam sejarah manusia, di langit dan di bumi, tidak ada yang dicinta, dirindu, disebut oleh umat manusia sampai tiadanya dunia ini selain Muhammad saw.

Muhammad yang diakui sebagai manusia paling agung akhlaknya, paling benar dan lurus hidupnya, kepemimpinannya, dan ketauladanannya. Pada saat yang bersamaan, kita tidak menjumpai warisannya yang berupa material yang berbeda dari manusia sesudahnya. Mereka bisa meninggalkan harta karun, harta warisan, mobil dan rumah mewah yang bisa kita jumpai. Muhammad hanya meninggalkan Al-Qur’an dan Hadist. 

Alangkah indahnya saat kita dianggap oleh kekasih kita, diberi pujian oleh kekasih kita.  Alangkah senangnya kita, bila kita dapat membahagiakan kekasih kita, Allah.  

Orang sering lupa bahwa kebahagiaan, ketenangan dan ketenteraman kita hanyalah ada pada Allah. Dan ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Dan sering kita tidak sadar bahwa di setiap nafas, di setiap gerak-gerik, ada Tuhan yang senantiasa hadir dan sayang kepada kita. 

Dengan melakukan de-eksistensi itulah, kita sebenarnya telah menjadi eksis. Eksis yang utama tentu saja di mata kekasih kita, Tuhan itu sendiri. Beribadah wajib, sunnah, serta tidak henti menyebut asma-Nya adalah langkah kita untuk eksis di mata Allah. Dengan begitu, kita sebenarnya telah melakukan de-eksistensi kepada manusia. Melakukan de-eksistensi bukan berarti lari dari tanggungjawab kemanusiaan kita, justru sebaliknya kita melakukan tanggungjawab kemanusiaan kita dengan hakiki. 

Baca juga:  Zaid Bin Haritsah: Laki-laki Kecintaan Nabi

Bekerja dengan baik, berbuat baik, menjaga alam, menjaga hubungan kemasyarakatan, menjalani tugas keluarga secara baik, dan tentu saja beribadah secara tertib. Menjadi guru, menjadi presiden, menjadi karyawan, menjadi ustaz, dan menjadi apapun itu sejatinya sudah diluar kuasa kita. Kesadaran eksistensial kita sebagai manusia adalah kesadaran kita untuk melakukan deeksistensi diri. Kita ini tiada, ketiadaan, dan bergantung seratus persen kepada kehendak dan keputusan Tuhan. 

Pada saat kita melakukan deeksistensi kita kepada manusia, sebenarnya kita telah melakukan upaya menuju eksistensi kita sebagai hamba yang sejati. Sebagai kekasih, sebagai pencinta-Nya.  Sebab pada hakikatnya kehadiran kita dari yang tiada menjadi ada. Dari ada menjadi tiada kembali adalah karena sepenuhnya kekuasaan-Nya. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0

Karamah Rabiah al-Adawiyah

Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top