Sedang Membaca
Kritik Pembangunan di Dunia Islam

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Kritik Pembangunan di Dunia Islam

Islam adalah masa depan. Di masa mendatang, Islam diprediksi akan mengalami kejayaan. Ini pernah dicatat oleh Samuel Hutington dalam bukunya The Clash Of Civilization menyimpulkan Islam dan Konfusianisme yang akan menggenggam masa depan pasca berakhirnya kejayaan marxisme dan sosialisme. Apa yang ditulis Hutington adalah kemungkinan-kemungkinan. Sebagai sebuah prediksi, tentu hal ini sah saja. Namun, dunia selalu bergerak dinamis dan tak menentu.

Islam dalam sejarah peradaban dunia memang pernah mengalami masa kejayaan. Saat Islam mengalami kejayaan, Islam ditata tidak hanya oleh sistem pemerintahan yang kuat, tapi juga ditopang oleh intelektual-intelektual serta tradisi masyarakatnya yang melampaui zamannya. Bait Al-Hikmah, rumah pengetahuan di Baghdad bukan hanya moncer dalam sejarah intelektual muslim kala itu. Islam kala itu juga cukup mumpuni dalam bidang sains dan filsafat.

Topik masa depan Islam ini pernah ditulis oleh Ziauddin Sardar di bukunya Masa Depan Islam (1987). Ziauddin Sardar memiliki pandangan tentang masa depan Islam ini berdasarkan pembacaannya tentang Alquran.

Ia menuliskan “Alquran muncul sebagai ‘Kitab Petunjuk’—petunjuk yang mempengaruhi tindakan-tindakan individual dan sosial masa kini untuk membangun masa depan tertentu. Banyak ajaran dan prinsip Islam yang hanya dapat dilaksanakan di masa mendatang: misalnya lepas dari semua karya mengenai ekonomi Islam, ketentuan-ketentuan Alquran mengenai riba hanya dapat dilaksanakan di masa yang akan datang.

Kenyataan bahwa Alquran itu kekal sudah cukup untuk mencati tata cara-cara baru dan inovatif untuk melaksanakan ketentuan-ketentuannya di masa mendatang. Inilah sebabnya mengapa gagasan tentang takdir selalu muncul di berbagai ayat Alquran. Berkali-kali Alquran mengisahkan kepada kita tentang nasib bangsa-bangsa dalam sejarah, dan mengingatkan kira tentang kemungkinan-kemungkinan nasib kita sendiri.

Di Indonesia sendiri, perdebatan Islam sebagai sebuah jalan pemikiran memiliki sejarah yang panjang. Bangsa Indonesia sendiri, meski mayoritas Islam, sudah memilih falsafah Pancasila sebagai jalan dalam berkehidupan berkebangsaan dan bernegara. Akan tetapi, ia memberi ruang yang cukup bebas kepada warganya untuk menjalankan aktivitas, dan tata kehidupannya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Islam.

Baca juga:  Konstruksi Nalar Pesantren dalam Menangkal Radikalisme

Pemikiran ini pernah ditulis oleh Agus Salim yang dikutip Mohammad Hatta di bukunya Memoir (1979), “ Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Tuhan mengembangkan Islam di atas dunia ini sudah 12 abad lebih dahulu dari Marx mengajarkan sosialisme. Perkataan sosialisme baru didapat dalam abad ke-19. Sosialisme Marx anti –Tuhan. Tetapi tujuan yang hendak dicapai masyarakat yang berdasarkan sama rasa sama rata yang bebas dari kemiskinan sudah lebih dahulu dibentangkan di dalam Islam, agama Allah yang disampaikan Nabi Muhammad kepada umat manusia.

Sayangnya, ulama-ulama kita hanya mengutamakan segi ibadahnya bab Fiqh dan melupakan segi kemasyarakatan itu daripada Islam.

Mengerjakan segi kemasyarakatan itu ialah juga perintah Allah dalam Alquran. Dari ulama-ulama kita didikan langgar yang pengetahuannya berat sebelah tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan sanggup menelaah segi kemasyarakatan itu dalam Islam. Inilah kewajiban bagi kaum intelektual muslim yang mempelajari ilmu-ilmu sosial.”

Kritik Agus Salim sampai sekarang masih relevan, saat banyak orang merasa Islam perlu hadir sebagai sebuah alternatif dalam semua aspek kehidupan. Munculnya Khilafah barangkali yang paling menonjol dan tampak terlalu sederhana dalam kerangka wacana islam sebagai alternatif. Padahal dalam banyak aspek, Islam belum sepenuhnya dipraktikkan dalam aspek sehari-hari dalam bidang sosial, ekonomi, maupun sains, dan pembangunan.

Di dalam Langkah-Langkah Pembaharuan Islam (1995) karya Abu A’la al Maududi menulis pandangan menarik tentang Islam, “Manusia muncul di alam dunia ini sebagai hamba milik Allah, dan tidak ada kemungkinan sedikit pun untuk menjadi yang selain itu. Apabila manusia menyadari bahwa dirinya lahir ke dunia ini sebagai hamba milik Allah dan bagian dari kerajaan besar yang berada di dalam kekuasaan-Nya, akan tidak ada hak sedikit pun baginya untuk tidak taat kepada-Nya—persis sama dengan makhluk-makhluk lainnya.

Ia tidak memiliki hak untuk menentukan sendiri cara hidup dan kewajiban-kewajibannya, melainkan semata-mata harus mengikuti petunjuk yang diberikan kepadanya berupa wahyu yang diturunkan kepada sekelompok manusai pilihan yang disebut sebagai nabi dan rasul.”

Sebagai sebuah pandangan hidup, agama memang tak hanya mengatur aspek-aspek sederhana dan praktis. Ia mengatur pula secara lebih detail tentang konsep-konsep filosofis dalam bernegara dan bermasyarakat. Untuk itulah, sebagai pemeluk agama, setiap individu diikat oleh satu pandangan holistik untuk tak hanya mempercayai, tapi juga terikat dalam kesatuan hukum dan aturan dalam hidup bermasyarakat.

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (3): Tanah Garapan (Mukhabarah, Muzara'ah, dan Musaqah)

Mengapa negara-negara Islam sampai saat ini belum memiliki kekuatan dalam tata ekonomi dunia? Kalau kita tilik lebih detail dalam sejarah pergerakan negara-negara Islam, sebenarnya negara Islam sudah memiliki organisasi dunia seperti OKI. Akan tetapi, dalam organisasi ini, kita belum melihat ikatan saling menguatkan antara negara Islam satu dengan yang lain. Ada problem substantif di negara-negara Islam yang masih perlu diselesaikan agar negara Islam menjadi maju dan menggenggam di masa depan.

Selama ini, negara-negara Islam masih berkutat pada paradigma konsumtif, ketimbang produktif. Kebanyakan dari negara-negara Islam masih banyak mengekspor bahan mentah. Di sisi lain, masalah yang menjerat negara Islam adalah masalah paradigma pembangunan yang dipengaruhi kolonialisme dan jerat utang. Sebagai negara bekas jajahan, mereka tak memiliki wacana tanding dalam membangun ekonomi, sosial dan tata kemasyarakatan. Hal ini diperparah oleh ketergantungan negara islam terhadap utang.

Ziauddin Sardar menguatkan dengan menulis problem negara berkembang di bukunya Sains, Teknologi, dan Pembangunan Di Dunia Islam (1989). Problem itu di antaranya adalah Pertama, menumpuknya utang. Kedua, utang-utang senantiasa harus dibayar dengan mata uang internasional yang “kuat” atau dengan emas. Akibatnya devisa yang diperoleh dipakai untuk membayar hutang, bukan untuk investasi domestik. Ketiga, bantuan asing yang melemahkan.

Problem lain yang masih ada di dunia islam adalah urusan teknologi. Teknologi di negara-negara Islam selama ini masih bergantung pada impor teknologi barat.  Perencana-perencana yang berpaham Barat mengabaikan teknologi-teknologi tradisional yang mereka anggap “primitif” dan bahkan “biadab”.

Pengabaian ini menyebabkan tersia-sianya keterampilan dan pengetahuan yang telah berabad-abad usianya. Karena memproduksi secara besar-besaran dan menghemat tenaga kerja maka teknologi-teknologi kota menghancurkan usaha-usaha ketrampilan tradisional.

Baca juga:  Menyongsong Ramadan dan Kebahagiaan Ganjil yang Menyertainya

Teknologi-teknologi kota ini tak hanya mematikan usaha dari individu-individu tertentu tetapi mematikan pula tradisi keahlian yang telah lama berdiri. Kematian usaha itu dapat juga berarti kematian suatu keahlian.” (Sardar, Ziauddin, 1989:87).

Di Indonesia sendiri, persoalan yang masih mengemuka dan fundamental adalah persoalan aspek mentalitas. Negara ini masih belum sepenuhnya berani bertindak untuk menghentikan utang. Di sisi lain, mentalitas korup membuat negara berpenduduk mayoritas islam seperti Indonesia mengalami kerugian besar.

Tulisan ini akan saya tutup dengan problem yang menjadi isu dunia yakni urusan ledakan penduduk. Ledakan penduduk sering dianggap sebagai masalah besar. Padahal problem yang fundamental adalah kurangnya negara Islam dunia mengelola sumber daya dan kekayaan alamnya.

Untuk mengelola sumber daya dan kekayaan alam itulah, diperlukan pendidikan dan juga keahlian yang secara jangka panjang belum sepenuhnya disiapkan oleh negara-negara Islam dunia.

Sehingga yang perlu dilakukan bukan sekadar program KB yang mengendalikan ledakan penduduk, tapi juga mengurus kesejahteraan kelahiran manusia baru, dan juga mendidik mereka dengan pendidikan terbaik untuk mengelola kekayaan bangsa dan negara yang melimpah yang dimiliki negara Islam di dunia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top