Masa-masa muda Gus Dur adalah sangat spesial. Sebagai anak kiai kondang dan sekaligus cucu maha guru di waktu itu, ia mendapati didikan ibunya yang sungguh gemati. Dalam buku biografi yang ditulis Greg Barton mengisahkan kesadaran ibu Gus Dur sebagai istri kiai kondang yang memiliki kesadaran luas dalam pergaulannya membawa ibunya menitipkan Gus Dur kepada kiai-kiai mumpuni dalam otoritas pengetahuan agama.
Saat di Tegalrejo di Pesantren Kiai Chudori, Gus Dur tidak semata dianggap sebagai anak kiai, namun juga dididik sebagaimana santri pada umumnya. Kiai Chudori memahami bahwa yang dididiknya bukanlah santri biasa. Gus Dur sendiri seperti memahami bagaimana Kiai Chudori mendidiknya dengan sentuhan kasih. Kebebasan yang diberikan Kiai Chudori tidak terus membuat Gus Dur besar kepala. Ia justru memahami konsekuensi bahwa ia harus mampu menyerap ilmu-ilmu dari pesantren meskipun ia belajar banyak ilmu dari barat melalui novel maupun buku-bukunya. Sering Gus Dur ketiduran sambil memegang buku yang ia baca.
Kiai Chudori memahami batin Gus Dur yang kehilangan ayah di masa muda. Kiai Chudori pun kadang menempatkan dirinya sebagai kerabat bagi Gus Dur.
Dalam buku Jejak Guru Bangsa (2010) Sobary menulis dengan judul Kiai Chudori dan “sikap” terserah Gus Dur saja. Melalui tulisan itu, Gus Dur pada akhirnya nyantri melalui sikap kebijaksanaan Kiai Chudori, melalui didikan ilmu agama yang diberikannya. Sehingga kelak ini menjadi modal besar Gus Dur saat belajar di Mesir dan negeri Timur Tengah.
Gus Dur juga pernah meguru kepada kiai Muhammadiyah yang ada di Yogyakarta atas rekomendasi ibunya. Ibunya ingin Gus Dur memiliki kemampuan ilmu agama yang mumpuni dan bekal yang kuat agar ia mampu mengarungi samudera hidup yang luas ini.
Sikap Gus Dur yang hormat dan mau nyantri kepada siapa saja gurunya ini membawa Gus Dur sebagai santri lelana. Gus Dur muda hingga tua sering bertandang ke pondok pesantren di seluruh jawa khususnya. Ia menapaki dan meresapi setiap ilmu dan khazanah yang diberikan oleh para kiai tersebut sehingga Gus Dur dikenal sebagai sosok yang mampu bercakap dan berkomunikasi dengan kiai yang telah tiada. Khazanah pengetahuannya tentang kiai dan pondok pesantren inilah yang kelak menempatkan Gus Dur sebagai sosok pemimpin yang memahami islam kultural.
Gus Dur memahami betul budaya sowan dan salim. Bersilaturahim dan juga salim untuk menghaturkan diri berguru dengan ikhlas menerima wejangan dan petuah dari kiai.
Budaya salim dan sowan yang ada di pesantren ini saat ini semakin terkikis nilainya saat ia bersinggungan dengan aspek politis. Kini sowan dan salim justru ramai saat musim pemilu saja. Jauh berbeda dengan Gus Dur, yang silaturahim tanpa berhenti, sampai wafat.
Gus Dur menjadi presiden tapi tidak meninggalkan identitas santrinya. Ia memaknai menjadi santri itu kerja seumur hidup, sebab terus-menerus belajar. Sebab itulah Gus Dur pun memasuki segala lini dan sektor dengan tetap menjadi santri. Ia begitu luwes saat menjadi santri di PKB. Ia juga tidak gelagapan saat menjadi santri di Dewan Kesenian Jakarta. Ia tidak berubah saat ia menjadi santri di Nahdatul Ulama. Begitubpula ia tetap menjadi santri saat memimpin Indonesia.
Gus Dur mau meguru atau berguru kepada siapapun dalam tempat atau intansi apapun. Sehingga ia tidak pernab merasa besar diri, membusungkan dada, dan cuek terhadap nasihat terlebih nasihat kiai. Itulah mengapa saat ia hendak dicalonkan menjadi presiden, ia hanya berangkat jika kiai dan para gurunya yang menyuruhnya.
Etos kesantrian yang dibawa Gus Dur sampai ia wafat menjadikan Gus Dur sebagai kiai yang dikagumi sampai sekarang. Amal jariyahnya mengalir ke mana-mana.
Gus Dur itu santri kelana, lelana, atau kembara. Ia berjalan berkilo-kilo untuk meguru atawa berguru kepada kiai, kepada Tokoh lintas iman, kepada rakyat jelata, kepada hidup ini. Inilah etos santri yang layak kita teladani dari Santri Lelana seperti Gus Dur