Islam kerap disorot saat memosisikan perempuan. Banyak pemikir modern memosisikan perempuan sebagai yang kedua, dan kesimpulan mereka itu terkesan merujuk pada al-Qur’an. Mitos yang amat sering kita dengar adalah tentang Hawa. Ia digambarkan sebagai sosok penuh dosa, perayu, dan penggoda yang menjebak kaum lelaki pada dosa.
Mitos ini kemudian dihubungkan dengan mitos penciptaan perempuan. Banyak orang menganggap Hawa adalah potret atau simbol dari ketidaksempurnaan perempuan. Ini muncul karena anggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, sehingga posisinya dianggap sebagai posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.
Dalam hidup bermasyarakat, sampai saat ini, masih muncul stereotip yang muncul yang menganggap pandangan terhadap perempuan yang minor berasal dari Islam. Pada aspek kepemimpinan misalnya, kita sering mendengar anggapan bahwa kaum wanita tidak patut menjadi pemimpin. Pandangan ini sering dianggap berasal dari Islam.
Para ulama dan pendakwah sering menggunakan dalil Surah An-Nisa ayat 34. Amina Wadud Muhsin menjelaskan mengenai persoalan klasik ini. Perhatian saya yang pertama adalah fadhdhala. Ayat ini menyatakan, kedudukan antara pria dan wanita adalah berdasarkan apa yang telah Allah lebihkan.
Berkaitan dengan kelebihan material, warisan adalah satu-satunya perkara yang telah ditentukan porsinya oleh Allah, bagi wanita dan pria. Al-Quran menyebutkan secara khusus bahwa Allah menentukan porsi warisan yang lebih besar bagi pria dibandingkan wanita. Bagian pria adalah dua kali wanita (Q.S. Ani-Nisa :7) dalam sebuah keluarga. Aspek kepemimpinan pria atas wanita yang dimaksud dalam Annisa ayat 34, menurut Amina Waduud, adalah pada kewajiban pria untuk menafkahi perempuan.
Namun sampai saat ini, persoalan kepemimpinan perempuan masih menjadi tema yang terus diperdebatkan karena perempuan dianggap belum mampu mengembannya. Dalam al-Qur’an disebutkan, Ratu Balqis adalah wanita yang berkuasa, dianugerahi segala sesuatu, dan memiliki singgasana yang besar (Q.S. 27:23). Penyebutan Ratu Balqis di dalam al-Qur’an sendiri adalah bagian dari Islam yang mengakui kepemimpinan perempuan.
Secara eksplisit sekalipun, sebenarnya kepemimpinan perempuan tidak pernah dilarang. Inilah yang kemudian membuat kita bisa menarik kesimpulan bahwa sebenarnya pelarangan kepemimpinan kaum perempuan itu berasal dari budaya atau masyarakat setempat, bukan merujuk al-Quran ataupun Islam.
Setara
Islam sebenarnya mendudukkan posisi laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara. Islam tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki, apalagi mengistimewakan satu di antara yang lain. Jika utusan-utusan Allah kebanyakan lelaki, maka dalam tradisi sufi, Maryam dianggap sebagai ibunya kaum sufi. Maryam dianggap sebagai perempuan suci yang mendapatkan wahyu dari Allah saat sebelum mengandung Isa.
Kesetaraan itu termaktub dalam al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13. Inna akramakum indallohi atqookum (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang palin bertakwa). Dalam tradisi sufi, kedudukan sufi pria dan wanita pun dianggap sama. Karena pada hakikatnya para sufi sama-sama berjuang untuk meraih cinta-Nya. Para sufi adalah kekasih Illahi yang tidak dipandang dari kaum pria atau wanita.
Dalam perkara poligami, Islam pun sering dituduh kurang adil dalam memosisikan kaum wanita. Amina Waduud dalam bukunya Wanita di dalam al-Qur’an (1994) memberi pernyataan soal poligami ini, “Keadilan merupakan fokus perhatian kebanyakan para penafsir modern yang tertarik pada persoalan poligami. Dalam Surat An-Nisa ayat 129 disebutkan, ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian’, itu telah membuat banyak penafsir mengungkapkan bahwa monogami merupakan bentuk perkawinan yang paling disukai al-Qur’an”.
Dalam masyarakat, alasan poligami sering tidak sesuai dengan yang dicontohkan Nabi. Nabi sendiri menikahi janda yang lemah secara ekonomi maupun sosial. Muhammad memiliki motif dakwah dan juga sosial untuk memperistri para janda ini. Di samping itu, tidak sepenuhnya niat poligami itu didasari oleh keinginannya sendiri. Lebih banyak perintah melakukan poligami itu dari wahyu.
Kaum hawa diangkat kedudukannya karena posisi alamiahnya dan tugasnya yang berat karena proses mengandung dan melahirkan. Sedangkan kaum lelaki diberi kedudukan yang tinggi karena posisinya sebagai sosok yang mencari nafkah. Para pria yang mencari nafkah dan kelelahan digambarkan sebagai penggugur dosa.
Perempuan dalam Islam memiliki peranan sama dengan laki-laki. Islam tidak membeda-bedakan peranannya dalam keluarga, maupun masyarakat. Al-Qur’an sendiri sebagai rujukan umat Islam juga tidak pernah membeda-bedakan fungsi biologis maupun kedudukan spiritualnya.
Para mufasir dan para ulama memiliki peranan sentral dalam memberikan penjelasan kepada umatnya mengenai perdebatan klasik posisi perempuan dalam islam. Sehingga tidak lagi muncul dominasi kaum patriarki yang menganggap rendah kaum perempuan dengan Islam sebagai dalihnya.
Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat selama ini masih banyak yang menggunakan Islam sebagai tameng untuk menghalalkannya. Ketidaktahuan dan kesalahpahaman terhadap Islam yang dianggap membolehkan kekerasan terhadap perempuan perlu diluruskan.
Islam tidak pernah memberi anjuran, atau membolehkan kekerasan terhadap perempuan. Justru sebaliknya, perempuan dalam Islam memiliki kedudukan yang setara, dan memiliki peranan yang tidak dipandang sebelah mata. (SI)