Begini kiranya penampilan tokoh kita yang akan dibahas dalam tulisan ini. Rambut gondrong menyembul keluar dari songkok yang terpakai rapi. Dengan sebatang rokok yang ia hisap, ia menantang kawan dan gurunya di Stovia, ia mendeklarasikan dirinya:
“Aku adalah anak dari rakyat, anak si Kromo!” kata Cipto Mangunkusuo, tokoh kita itu, untuk menanggapi kewajiban berpakaian adat di sekolahnya.
Dalam terminologi Jawa, kata “kromo” banyak ditafsirkan sebagai wujud budi yang halus, atau dikenali dengan pemakaian bahasa Jawa Kromo. Jawa Kromo ini dijadikan sebagai alat legitimasi atau alat pembeda bagi orang yang hidup di lingkungan keraton atau priayi, dengan rakyat biasa.
Rakyat Jawa yang hidup di luar pergaulan keraton biasanya memakai bahasa jawa yang disebut bahasa Jawa ngoko. Namun di era pergerakan, makna kromo mengalami pergeseran. Dari yang semula dianggap elitis, kemudian diubah menjadi bahasa yang populer, sehingga kesan elit itu hilang. Pengertian kaum kromo secara perlahan diubah sebagai kaum yang mengedepankan moral, kehalusan budi, ramah, dan menolong siapa saja yang membutuhkan.
Setelah ia lulus dan ditugaskan di Demak, ia dianggap sebagai dokter yang nyleneh. Cipto dengan berani mengendarai bendi melewati jalanan di sana sambil berpakaian ala kaum kromo. Biar pun kelihatan sederhana, apa yang dilakukan Cipto ini adalah sebuah perbuatan yang berani.
Mengingat pada waktu itu kaum bumiputera jarang yang terlihat mengendarai bendi dengan model busana seperti itu. Orang-orang bumiputera menganggap Cipto sebagai dokter yang baik, dan eksentrik. Namun orang Eropa menganggap Cipto sebagai orang Jawa yang tak tahu diri.
M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern memaparkan, bahwa Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priayi Jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan kesatuan administratif kedua pulau itu dan mencakup masyarakat Sunda dan Madura yang kebudayaannya mempunyai kaitan erat dengan Jawa. Bukan bahasa Jawa melainkan bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa resmi Budi Utomo.
Namun demikian, lanjut Ricklefs, kalangan priayi Jawa dan (sampai tingkat yang jauh lebih kecil), Sunda, adalah yang menjadi inti dukungan Budi Utomo. Rasa keunggulan budaya orang Jawa cukup sering muncul ke permukaan; bahkan di Bandung ada cabang-cabang tersendiri untuk anggota-anggota orang Jawa dan Sunda. Budi Utomo tidak pernah memperoleh landasan rakyat yang nyata di antara kelas-kelas bawah dan mencapai jumlah keanggotaan tertinggi, yaitu hanya 10.000 orang pada 1909.
Sesuatu yang berbeda coba dikemukakan oleh Cipto. Cipto berpendapat bahwa sifat eksklusif Budi Utomo harus dihilangkan, sehingga terbuka bagi siapa saja tanpa memandang suku. Usulan Cipto disampaikan pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, pada Oktober 1908.
Hanya satu orang waktu itu yang menyetujui usul Cipto, yakni jaksa umum dari Jawa Timur, Suryodiputro. Sementara anggota Budi Utomo yang lain menolak usulan Cipto.
Meski demikian, Cipto tetap dipilih menjadi anggota pengurus yang terdiri dari sembilan orang. Cipto begitu vokal menyuarakan kritik terhadap budaya Jawa yang begitu mengakar dalam tubuh Budi Utomo. Dwijosewoyo sampai berucap bahwa Cipto tidak dapat diperbaiki lagi, seperti yang dijelaskan Takashi Shiraishi.
Kiranya Wajar jika Dwijosewoyo berpendapat demikian. Di mata orang-orang Budi Utomo, Cipto adalah orang yang amat radikal, dan suatu saat mungkin akan mengganggu arah gerak Budi Utomo sendiri. Cipto memang sudah tak bisa berkompromi lagi terhadap sifat Jawasentris yang sangat mengakar pada Budi Utomo. Karena tidak sepahamnya Cipto dengan mayoritas anggota yang lain, akhirnya Cipto melepas status keanggotaannya.
Takashi Shiraishi menjelaskan bahwa hal yang sangat menyita perhatian Cipto pada dasarnya adalah perbaikan kesejahteraan rakyat. Seperti yang sering diungkapkannya, dengan bahasa khas seorang dokter praktik, “pembangunan yang sehat bagi negeri ini.”
Baginya, Hindia adalah satu-satunya kesatuan politik yang relevan untuk membicarakan kesejahteraan rakyat karena Jawa, meskipun kaya sejarah dan budaya, sudah lama sekali kehilangan kedaulatan. Cipto dalam kondisi ini menggunakan sudut pandang kolonial-nasional sebagai landasannya. Sebagai seorang yang terpelajar, kesadaran semacam ini lekat sekali dalam benaknya.
Cipto sebagai kaum kromo mengeluhkan bagaimana sifat orang Jawa itu. Menurutnya, orang Jawa mempunyai sikap patuh, serta kurangnya semangat melawan yang dianggapnya sebagai sebuah penyakit. Cipto berpikir bahwa seharusnya hubungan kolonial harus diubah. Hindia harus dibimbing menuju sistem parlementer. Sehingga nantinya negara kolonial akan memberikan kemerdekaan bagi Hindia.
Kolonial benar-benar mematikan apa yang sebenarnya diinginkan oleh bumiputera. Demokratisasi sistem politik adalah salah satu hal yang menurut Cipto bisa dijadikan sebagai modal tercapainya keinginan bumiputera. Dengan sistem politik ini diwujudkan dalam konstitusi dan parlementer.
Yang paling menyita perhatian adalah usul Cipto mengenai dipensiunkannya Sunan dan menyerahkan tahtanya dengan f2000 satu bulan. Di Volksraad, Cipto berpidato pada 26 Juni 1919. Isi dari pidato Cipto adalah kritikan-kritikan yang ditujukan untuk pemerintah.
Serangan Cipto kepada sunan merupakan pembeberan paling menghancurkan dari yang pernah dilakukan terhadap mandulnya politik dan kemewahan hidup sultan.
Dengan menyatakan bahwa sunan pasti akan mati “sebagaimana kebanyakan orang” ia benar-benar telah menggiring sunan, sang raja keturunan Adam dan Arjuna ini, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum kromo, papar Takashi Shiraishi.
Serangan Cipto ini menimbulkan reaksi keras dari pihak yang membela sunan. Di antaranya adalah Budi Utomo, surat kabar Djawi Kanda, dan Djawi Hiswara. Bahkan banyak anggota Sarekat Islam yang mengecam keras aksi Cipto ini.
Beberapa edisi surat kabar Djawi Kanda dan Djawi Hiswara menyatakan bahwa apa yang dilakukan Cipto adalah kritik yang salah alamat. Semua yang ada di Kasunanan Surakarta ditentukan oleh pemerintah, sehingga seharusnya pemerintah yang wajib disalahkan atas kondisi saat itu.
Kemudian satu hal menarik untuk dicermati adalah kecerdasan Cipto dalam posisi ini. Kritik yang mereka lontarkan akan memakan mereka sendiri. Kritik mereka menyiratkan bahwa sunan memang benar-benar mandul dalam dunia perpolitikan saat itu. Mereka bahkan meminta kepada pemerintah untuk membungkam Cipto.
Di surat kabar, mereka juga memperingatkan pembaca supaya jangan membalas apa yang dilontarkan oleh Cipto.
Akibat ulahnya itu, maka dibentuklah Comitte Keslametan Rahajat Vorstenlanden, yang lebih dikenal dengan Komite Anti Cipto. Komite ini dibentuk di Lawean yang dihadiri Samanhudi dan Martodharsono.