Sedang Membaca
Kita Memanggilnya Buya
Abdur Rouf Hanif
Penulis Kolom

Ketua Lakpesdam NU Tanggamus, Lampung

Kita Memanggilnya Buya

  • Bagi saya Buya selaksa Gus Dur-nya Muhammadiyah, dan Gus Dur adalah Buya-nya NU. Bangsa ini beruntung memiliki mereka.

Jika ada pertanyaan siapa guru bangsa yang tersisa hari ini?. Tentu pikiran kita mengarah pada salah satu sosok piantun sepuh yang cakrawala keilmuannya ia abdikan untuk kepentingan bangsa dan umat Islam. Kita semua memanggilnya Buya.

Kata Buya, diambil dari bahasa Arab yang berarti bapak-ku. Bukan tanpa sebab panggilan itu disematkan pada pria kelahiran di Sumatra Barat 31 Mei 1935 silam. Dedikasinya dalam dunia pengetahuan tidak diragukan lagi, bahkan almarhum Gus Dur menyebutnya sebagai salah satu pendekar Chicago yang memiliki sumbangsih terhadap wacana keislaman di Indonesia.

Buya Syafii selain dikenal sebagai akademisi juga seorang pengayom umat. Khidmahnya pada Muhammadiyah tidak diragukan lagi, beliau menahkodai organisasi bentukan Kiai Ahmad Dahlan tersebut sejak era reformasi 1998 hingga 2005.

Kecintaan Buya pada Muhammadiyah jauh dari kata citra dan kepentingan pribadi. Bahkan ketika Amien Rais ingin menyeret suara Muhammadiyah pada pemilu 2019, Buya rela pasang badan mengingatkan Muhammadiyah pada khittahnya.

Buya memiliki segi kesamaan dengan sahabatnya Gus Dur. Selain kesederhanaannya yang masyhur, Buya adalah pemikir hebat yang memiliki kesamaan visi dengan Gus Dur dalam ihwal toleransi dan keberagaman di Indonesia.

Saat ramai kasus al-Maidah Ahok. Buya kerap kali tampil di publik dengan argumentasinya yang dinilai kontroversial hingga mendapat banyak cibiran dan hujatan yang datangnya dari beragam pihak.

Baca juga:  Jejak Panjang Ahmad Bagdja di NU

Buya hanya membalasnya dengan senyum seraya berpesan “Kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh amarah,” Buya memaafkan para pembencinya tanpa ada sakit hati dan dendam. Hal tersebut mengingatkan saya pada laku hidup perjuangan Gus Dur semasa hidupnya yang sering dihujat karena pandanganya melawan arus.

Seperti pembelaanya pada Inul Daratista, Kedekatanya dengan agamawan fatikan, Israil dan banyak kasus lainya. Sepeninggal Gus Dur estafet perjuangan toleransi dan hubungan lintas iman diemban oleh Buya Syafi’i Ma’arif.

Pengaruh sosok Buya Syafii bukan hanya terbatas pada generasi Muhammadiyah semata. Lebih dari itu sosok seperti Gus Dur, Buya Syafi’i adalah uswah bagi generasi muslim lintas batas. Baik kalangan Nahdliyin maupun Muhammadiyah, bahkan lintas iman sekalipun.

Bagi saya Buya selaksa Gus Dur-nya Muhammadiyah, dan Gus Dur adalah Buya-nya NU. Bangsa ini beruntung memiliki mereka.

Kini di hari ulang tahun beliau yang ke-84. Tidak berlebihan kiranya jika tulisan ini saya persembahkan untuk beliau sebagai wujud terima kasih pada piantun sepuh yang pemikirannya banyak mengubah cara pandang saya terhadap realitas keagamaan dan kebangsaan.

Selamat ulang tahun buya Syafi’i Ma’arif, dari santrimu, Abdur Rouf Hanif.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top