Sedang Membaca
Balada FPI: Dibenci dan Dicintai
Abdur Rouf Hanif
Penulis Kolom

Ketua Lakpesdam NU Tanggamus, Lampung

Balada FPI: Dibenci dan Dicintai

Front Pembela Islam atau FPI. Organisasi masyarakat yang dipimpin Habib Riziq Syihab tersebut sedang hangat diperbincangkan. Pasalnya, izin ormas tersebut telah melampaui batas berlaku dan belum jua mendapatkan pembaharuan izin dari pemerintah.

Sepanjang tahun 2018 hingga 2019. FPI kerap terlibat dalam kontestasi perpolitikan. Mulai dari pilgub DKI hingga pilpres.  Sejarah mencatat gerakan FPI dekade terakhir cukup massif. Mulai dari keberpihakan serta campur tangan FPI dalam demo 212 yang berjilid-jilid. Hingga huru-hara demonstrasi pilpres 2019.

Sudah menjadi konsekuensi publik bahwa FPI harus dicintai oleh pengikutnya sekaligus dibenci oleh khalayak yang berseberangan denganya. Namun mari obyektif dalam mendudukan FPI menimbang maslahat (manfaatnya) dan mafsadatnya (kerusakanya) organisasi ini.

Amar ma’ruf nahi munkar seolah sudah menjadi tagline bagi FPI. Komitmen FPI dalam memerangi kemaksiatan memang perlu diapresiasi tetapi sangat disayangkan pendekatan yang digunakan FPI cenderung keras. Jauh dibandingkan pendekatan dakwah Gus Miftah di berbagai klub malam. Faktor tersebut termasuk mencoreng wajah islam yang ramah dan tidak menghendaki kekerasan.

Pekik kalimat takbir juga selalu berkumandang setiap agenda FPI. Sayangnya takbir yang sakral acap kali diobral untuk kepentingan duniawi. Seperti demo dan alat justifikasi melakukan kekerasan kala sweeping. Hal ini yang membuat para ulama’ resah. Gus Mus pernah berpesan bahwa jangan libatkan Tuhan dalam kampanye politik. Melihat menguatnya politisasi islam dekade terakhir.

Baca juga:  Rasa Kesatuan dalam Identitas Hibrid

Selain itu, keterlibatan FPI dalam kancah politik praktis banyak merugikan khalayak umum. Pengorganisasian massa yang berujung pada demonstrasi berjilid-jilid untuk kepentingan politik yang didukungnya. Terlebih FPI kerap kali mengatas namakan umat islam dalam aksinya. Mendapuk imam besar-nya. Dan memunafikan muslim yang berseberangan pandangan denganya. Hal ini tentu membuat risih kalangan muslim moderat seperti NU dan Muhammadiyah yang enggan dicatut keterlibatanya dalam aksi mereka.

Sekalipun banyak hal yang menurut penulis berseberangan dengan cara pandan muslim moderat. Tidak mengurangi rasa cinta para pendukung setia FPI. Kebanyakan para jamaahnya didominasi para pecinta habib Riziq Syihab. Laskar FPI juga kerapkali turun dalam aksi kemanusiaan, membantu pemerintah dalam evakuasi bencana alam dan aksi kemanusiaan lainya.

FPI yang dalam sejarahnya pernah didukung para jenderal orde baru seperti Wiranto.  Wiranto bukan satu-satunya pejabat negara di masa transisi era reformasi yang pernah mendukung dan membela Front Pembela Islam. Salah dua yang lain adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1998-1999 Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman. Keduanya disebut Robert W. Hefner, dalam artikel “Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia”, sebagai orang yang mendirikan FPI. Data ini dilansir dari Tirto.id. Tidak heran jika setiap gerakanya FPI susah dipisahkan dari politik praktis.

Baca juga:  Jilbab: Fesyen atau Fikih?

Setiap gerakan tentu memiliki konsekuensi. Pada akhirnya apa yang ditanam FPI selama ini harus mengunduh buahnya. Penulis yakin pemerintah akan obyektif menimbang kemanfaatan dan kerusakan yang ditimbulkan dari FPI. Tentu tanpa mencederai demokrasi, patut kita tunggu langkah pemerintah selanjutnya. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top