Lebaran adalah momen yang ditunggu-tunggu, selepas sebulan penuh menjalani hari-hari dengan berpuasa. Perayaan yang mendakan bahwa segenap muslim sungguh telah berbuka puasa. Menurut syariat, tidak diperbolehkan seorang pun berpuasa lagi pada hari itu, haram. Bahkan bernilai sunah untuk makan terlebih dahulu sebelum menunaikan salat id, sebuah isyarat tentang makna lebaran sebagai buka puasa yang agung.
Allahuakbar, Allahuakbar, kumandangnya terdengar menggelegar. Bukan hanya takbir yang mengabarkan kemenangan, kepenuhan akan suka cita pada saat lebaran juga tercermin pada momen silaturahmi. Lebaran menjadi ajang berkumpul dan bermaaf-maafan, sanak saudara berkumpul ria.
Menjadi bagian dari tradisi, hari raya yang bernama idulfitri ini identik dengan tumpah ruahnya berbagai hidangan seperti ketupat, opor, rendang, anekarupa kue, dan lainnya. Riang gembira juga terurai dalam warna-warni baju baru, malah sampai sendal, peci, dan selendang. Anak-anak berduyun sembari loncat-loncat kegirangan, mendapatkan amplop-amplop tunjangan hari raya.
Namun demikian, ada potret lain tentang umat yang berlebaran yang belum menjadi sorotan banyak orang. Padahal ini penting dalam merenungi ulang tetang lebaran yang katanya kembali ke fitrah? Benarkah?
Tidak sedikit bagi sebagian orang, lebaran punya arti lain untuk tidak kembali pulang. Nyatanya gaji yang terkumpul belum bisa membeli tiket kereta. Bukan hanya soal ongkos saja, tinggal di perantauan kadang menjadi pilihan yang lebih bijak, ketimbang memaksakan diri untuk mengambil jalan pulang yang entah ke mana arahnya. Apalagi meratapi ibu dan ayah yang justru sungguh telah kembali pulang kepada haribaan Allah Taala.
“Tim yg pulang cma buat kemakan orangtua trs balik ke kosan lgi tidur smpe sore :)”, komentar akun @rreush pada salah satu konten di TikTok.
Kalaupun harus kembali pada fitrah, para pekerja kembali pada nasibnya. Ada yang mendapatkan giliran shift, hingga kerja melayani banyak orang bidang medis, transportasi, dan media. Tentu jika menyoal mau enggaknya berkumpul bersama keluarga, terlalu sedikit kesempatan untuk sekadar sungkem, mencicipi kue-kue di rumah saudara, dan obrolan ngalor-ngidul bareng sepupu. Lebaran bukan urusan gengsi-gengsian, tapi soal perut dan bertahan hidup, yang kembali pada motornya menjadi supir ojol atau gembok untuk membuka warung kecilnya.
Orang-orang yang masih berkeluarga pun punya cerita yang berbeda. Bepulang pada keluarga yang penuh dengan percakapan tentang pencapaian, persaingan, dan perselisihan. Kerap lebaran tidak ada artinya, selain lebih baik mengurung diri di dalam kamar. Bertemu dengan paman dan bibi sama dengan berhadapan dengan pertanyaan basa-basi yang nihil empati; kapan lulus? kapan nikah? kapan punya anak?
Mungkin keadaan di atas terlalu berat untuk sebagian orang. Namun sebenarnya makna lain tentang lebaran ini pun terjadi pada rutinitas yang tampak sederhana. Bahkan amat mungkin terjadi bagi banyak orang, pada setiap tahunnya. Seperti kurir paket yang tidak kunjung tiba, karenanya tidak jadi memakai mukena dan sarung baru. Begitu pun khidmat lebaran kadang sesaat, tidak dengan ketergesaan saat saling menunggu giliran mandi menjelang salah id atau berantem karena enggan mengantar mama membeli bakso di siang lebaran. Betul, beberapa kuburan malah makin mengering tanpa taburan bunga dan siraman air kendi, apalagi doa dan kebaikan untuk alam kelanggengan.
Mengumpulkan cerita umat sampai pada titik ini saja sungguh melelahkan, lebih-lebih bagi yang mengalaminya. Ternyata sejauh ini lebaran hanya menjadi cerita milik orang kaya nan bahagia. Terlepas dari kebiasanya yang identik dengan perayaan, lebaran juga punya makna yang tidak biasa, menyangkut dengan relung-relung yang murung. Nyatanya momen suci ini bisa menjadi sumber kesedihan, bukan karena agamanya tapi budaya beragama kita. Ada – ya’uudu dan aftharo – yufthiru yang lalu membentuk kata idulfitri, betul artinya kembali ke fitrah. Tentang fitrahnya kehidupan kita yang kadang biasa-biasa saja, sebiasa itu.
Puasa kita masih meninggalkan orang fakir. Zakat fitrahnya masih menyisakan orang duafa. Berlarut-larut berburu malam yang lebih baik dari seribu bulan, 1001 keluarga masih mencari isi ketupat, mengais-ais nasi sisa bukber, dan berharap semoga mendapatkan bulir-bulir beras di sisa kresek zakat. Mendaraskan dan mengkhatamkan Alquran itu ternyata belum mampu menjadi sarana untuk membaca lingkungan sekitar kita. Apalagi tarawih, belasan-puluhan rakaatnya kian menjadi pembenaran bagi diri yang merasa paling saleh sejagat raya.
Allahuakbar, Allahuakbar, gemanya ternyata masih kurang mendidik jiwa yang takabur ini. Di hari raya, masih ada umat Muhammad yang harus berpuasa. Dahulu, di hari raya ini Malaikat Ridwan mengambil rupa seorang penjahit yang memberi hadiah baju baru pada dua cucu terkasih Sang Nabi. Andaikan kita mampu mengambil ibrah-nya, pada lebaran kali ini cahaya penjaga surga itu terpantul di bumi melalui kita yang menjadi sumber kebahagiaan setiap insan. Selamat berlebaran, menikmati maknanya setiap dan sepanjang tahun.