Di lembaga-lembaga keagamaan, para peserta didik diajarkan berbagai hafalan doa, mengenal riwayat hidup orang-orang suci, dan bertekun dalam praktik ibadah. Belajar agama untuk mempertebal dan memperkuat iman, agar dapat menjalankan sembahyang dengan baik dan benar, serta memiliki perilaku yang mulia. Jika pendidikan seperti ini efektif, seharusnya tidak ada orang yang malas-malasan pergi ke rumah ibadah, apalagi praktik korupsi.
Isu moral selalu menjadi tema wajib buat bahan khotbah para pemuka agama. Orang-orang beriman dibuatnya gusar lewat sindiran mengenai perjudian dan seks bebas, di samping kriminalitas yang selalu eksis bahkan mungkin berada persis di luar batas suci rumah ibadah. Sepertinya kurikulum pelajaran agama di sekolah sudah kehilangan arah. Kini pelajaran agama rentan menyuburkan perilaku plagiarisme, jual-beli modul, guru yang mangkir dari tugasnya, dan para peserta didik yang terbelah; ada yang ogah-ogahan dan ada yang antusias dengan fanatismenya.
Apabila pendidikan agama yang diterapkan sekedar untuk memenuhi syarat penilaian raport saja karena tergolong sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib, maka proses belajarnya pasti seadanya, yang penting lulus. Kalaupun diajarkan secara serius di dalam kelas, hasilnya malah mempertebal cangkang agama saja yang mencetak peserta didik ekslusif dan sektarian. Aduh kasihan sekali bukan? Orang-orang yang kelak akan mengalami kesulitan bergaul dengan teman-temanya yang berbeda. Dia akan selalu merasa risi saat berjumpa dengan situasi yang tidak biasa.
Pada hari ini dia dituntut untuk berjejaring dengan banyak orang yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Selepas menuntaskan sekolahnya, dia dilemparkan ke dalam dunia yang tanpa mengenal batas identitas. Bisa saja menjadi pramuniaga di swalayan akan mempertemukannya dengan ragam pelanggan, merantau di kota besar akan mempertemukannya dengan puan/ tuan dan tetangga kos yang berbeda agamanya. Sekalipun dia hanya berfokus pada sekolah lanjutan atau berprofesi dalam dunia keagaaman tertentu seperti menjadi mahasiwa teologi atau seorang guru rohani, dia mesti diminta berbicara tentang agama orang lain.
Mungkin pula dia akan bekerja bersama bos yang beretnis Tionghoa, satu tim dengan seorang Sikh, bersebelahan dengan toa masjid, atau bahkan bekerja di perusahaan Yahudi. Maka sebaiknya pendidikan agama harus membekali para peserta didik dengan kesiapan untuk menghadapi realitas yang plural. Bahkan sejujurnya realitas plural itu telah diterimanya sejak dia terlahir menjadi warga dunia. Dia sedang berhadap-hadapan dengan keniscayaan tersebut, barangkali tetangganya berbeda mazhab atau dia lagi jatuh cinta pada seseorang yang berbeda imannya. Akrab dengan perbedaan itu bukan hanya prasyarat untuk pergaulan yang akan datang, tapi sikap yang harus dibiasakan sejak dini.
Sekolah bukan hanya bisa menutup gerbangnya jika tanggal merah tiba, sekolah juga harus mengajarkan para peserta didik untuk menghormati wali kelasnya yang sedang merayakan Imlek. Bidang kesiswaan juga tidak melulu menyokong ekstrakurikuler rohis, tapi juga memfasilitasi kelompok siswa Katolik untuk berkumpul dan bergumul.
Pendidikan agama tidak hanya menuntut seseorang untuk mampu melantangkan azan, tapi mesti bisa memberi pengertian soal penggunaan pelantang suara yang bijak. Pendidikan agama yang hanya bisa mereka-reka bentuk formalisme beragama, tidak akan bisa membawa pemahaman peserta didik untuk berhadapan dengan masalah kepemimpinan yang adil di dalam OSIS, reboisasi di lingkungan sekolah, menyayangi adik kelasnya, dan menjaga kebersihan di kantin.
Agama punya peran penting dalam mendorong terciptanya kesejahteraan umat manusia. Etika religius seharusnya bisa menjadi etos pembangunan. Mantram gayatri atau Parjnaparamitam jika hanya sekedar dilafalkan di mulut tak akan pernah bisa mengubah dunia. Iman semestinya terus diperbaharui dalam benteng-benteng keagamaan. Pesantren, biara, seminari, dan pasraman adalah akar dari cinta kasih. Di sanalah semestinya nilai-nilai perdamaian diamalkan secara sempurna, bukan sebaliknya menjadi basis-basis yang menumbuhkan akar kebencian dan fanatisme.
Sekolah asrama berbasis keagamaan tak kalah hebatnya dengan sekolah-sekolah umum, terlebih di sanalah agama ditekuni dan dihayati secara mendalam. Selama 24 jam non-setop nilai-nilai keagamaan diajarkan dan mendarahdaging dalam rutinitas pendisiplinan. Ilmu-ilmu agama tambah nilai-nilai perdamaian terus diestafetkan dan disemai dalam tubuh asrama. Hingga orang-orang yang paling toleran di jagat ini akan bangun dari susunan ranjang-ranjang di asrama. Di masa mendatang mereka tidak hanya diproyeksikan untuk menjadi pemuka agama saja, mereka juga bisa menyinari dan mengajarkan semua orang dengan welas asihnya.
Jika agama hendak meninggikan manusia dengan akal budinya dan menjaga kewarasan setiap orang dari segala hal yang merusak nalar, semestinya agama tidak hanya melarang keras para pemeluknya untuk menjauhi narkoba tapi juga turut serta mengharamkan perbuatan menelan ajaran agama dengan penuh kebencian dan permusuhan. Pendidikan agama tidak lagi membuat orang jadi mabuk kepayang, yang mengizinkan atas nama Tuhan segalanya boleh dilakukan.
Mungkin kita mesti banyak melakukan terobosan baru, menyelenggarakan pendidikan agama dan mendirikan sekolah asrama keagamaan untuk segala bentuk penghayatan iman. Sekolah agama interreligius yang seperti ini kiranya lebih menyerupai keseharian kita, menjadi miniatur kehidupan yang sesungguhnya. Tentunya ada kelas-kelas khusus yang membina iman para peserta didiknya berdasar kepercayaan masing-masing.