Sedang Membaca
Berislam di Komunitas Lintas Iman: Tidak Ada Pendangkalan Akidah
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Berislam di Komunitas Lintas Iman: Tidak Ada Pendangkalan Akidah

Satu di antara banyaknya komunitas yang vokal dalam mengampayekan isu kemanusiaan, ialah komunitas lintas iman. Namun tak sedikit anggapan yang menyatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam komunitas yang mempertemukan orang-orang dari beragam latar belakang agama dan keyakinan ini, adalah mereka yang tersingkir dari komunitas agamanya. Dikata enggak saleh-lah karena mendukung pluralisme, atau dituduh nyeleneh karena berteman dengan orang-orang di luar agamanya. Bahkan tudingan yang paling parah mengira bahwa pegiat toleransi dan perdamaian itu suka mencampuradukkan ajaran agama-agama.

Padahal dunia lintas iman merupakan arena kompetisi bagi semua insan yang terlibat di dalamnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik menurut agama dan keyakinannya masing-masing. Tidak ada peleburan agama-agama, yang ada justru sebaliknya yakni pengontrasan identitas keagamaan dan keyakinan. Ketika seorang muslim memutuskan untuk terlibat aktif dalam dunia lintas iman, maka dirinya dituntut untuk belajar, mengamalkan, dan menghayati ajaran agama Islam secara mendalam dengan jalan yang berbeda. Di dalam arena yang sama, seorang muslim akan menjumpai hari-harinya sebagai waktu ujian keislamannya. Ia mesti melaksanakan salat di antara teman-temannya yang sedang asyik berdiskusi. Begitupun dirinya harus tetap berpuasa di tengah teman-temannya yang sedang makan dan minum di depan mata kepalanya sendiri.

Baca juga:  Solo Tidur Lebih Awal, "Bersama" Korona

Lepas dari itu, dunia lintas iman juga sebuah tantangan bagi seorang muslim untuk terus bertumbuh menjadi agen Islam Rahmatan lil Alamin. Bayangkan saja selama berada di tengah-tengah keragamanan identitas agama dan keyakinan, tubuhnya menjadi representasi dari wajah umat muslim. Kalau ia menghina temannya, bisa jadi teman non-muslimnya menegur “Apa itu yang diajarkan Islam?”. Belum lagi tiba-tiba muncul pertanyaan yang tak terduga “Apakah Islam berpihak kepada perempuan? Kok ada ajaran poligami?”. Kadang pertanyaan-pertanyaannya lebih acak lagi “Kenapa salat mesti menghadap Kakbah? Mengapa memakan babi itu dilarang?“.

Dengan demikian, komitmen untuk bergabung dengan komunitas lintas iman sejatinya juga komitmen untuk menekumi ajaran Islam kembali. Mungkin berislam di antara mereka yang muslim terlalu biasa, namun berislam di tengah keberagaman sungguh membutuhkan keberanian yang besar dan kelapangan hati. Jika sebelumnya kita terbiasa mendominasi secara jumlah, maka kini pengalaman menjadi minoritas akan melahirkan banyak pemahaman baru. Misalnya lebih merindu Alquran kala teman-teman kita yang lain lebih giat mendaraskan kitab sucinya. Seketika saja teringat anak yatim dan duafa, kala mereka yang berbeda bisa banyak membantu sesamanya. Begitu juga kita diingatkan kembali untuk selalu menebar salam dengan mengucapkan assalamu’alaikum, saat teman kita yang lain bertegur sapa dalam do’anya masing.

Baca juga:  Menyandingkan Perpustakaan dengan Pasar: Sebuah Refleksi Peringatan Hari Buku Nasional

Melalui perjumpaan lintas iman, nilai-nilai yang islami akan menemukan maknanya kembali. Bahkan ajaran Islam yang kerap kita lupakan akan datang sebagai bayang-bayang dalam ajaran agama lain. Ketika teman-teman Kristiani dapat berdoa dengan tekun dan penuh kesungguhan, seharusnya kita bercermin dan terpanggil untuk kembali menemui kekhusyukan dalam setiap salat kita. Sampai sini, dunia lintas iman merupakan sarana alternatif untuk bermuhasabah dalam berislam kita selama ini.

Maka dari itu, jika ada tuduhan yang menyatakan bahwa terlibat aktif di dalam komunitas lintas iman akan mendangkalkan akidah, mungkin orang yang berkata demikian belum merasa indahnya berislam di tengah keberagaman. Banyak pengalaman yang mungkin tidak akan pernah bisa kita lupakan, “Bentar ya aku tanyain dulu, takutnya ini enggak boleh kamu makan, kelihatannya sih ini daging sapi pendek he he”. Salah seorang temanmu mungkin akan mengantar dan menunggumu salat ke masjid, mentraktir buka puasa, dan membawa bingkisan saat hari raya tiba.

Pada akhirnya kita akan tersadar bahwa kita telah mempraktikkan toleransi menjadi sebuah sikap yang hidup, memuliakan antarsesama manusia, dan mengapresiapsi kebhinnekaan sebagai buah kehendak Allah. Bukankan hal tersebut bagian dari ajaran Islam dan sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wassalam. Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top