Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, meminta maaf secara resmi kepada Indonesia atas terjadinya kekerasan struktural selama tahun 1945 hingga 1949.
Permintaan maaf tersebut merupakan respon pemerintah Belanda atas dirilisnya hasil penelitian tiga lembaga negara yakni Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (Institut Riset Negara untuk Studi Asia Tenggara dan Karibia), Nederlands Instituut voor Militaire Historie (Institut Sejarah Militer, dan Nederlands Instituut voor Oorlogs-, Holocaust-, en Genocide (institute Studi Perang, Holocaust, dan Genosida).
Pemerintah Belanda pada tahun 2016 memutuskan untuk melakukan pengkajian yang mendalam atas dinamika kekerasan yang berlangsung pada periode awal dekolonisasi Indonesia. Periode yang berlangsung selama kurang lebih 4 tahun lebih sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dikenal dengan sebutan periode Bersiap di negeri Belanda. Berbeda dengan narasi penulisan sejarah di Indonesia yang disebut sebagai periode Revolusi, kurun waktu ini dikenang merupakan masa yang kelam bagi masyarakat Belanda khususnya mereka yang pernah tinggal di Indonesia.
Sejak berlangsungnya masa Pendudukan Jepang, warga Belanda, Eropa, maupun keturunan Indo banyak yang menghabiskan hidupnya di kamp-kamp interniran. Kehidupan mereka jauh berbeda dibandingkan dengan masa sebelumnya dimana mereka menikmati banyak privileges atau keistimewaan. Kehidupan mereka penuh penderitaan selama Jepang berkuasa di Indonesia. Maka begitu mendengar bahwa Pasukan Sekutu berhasil memenangkan Perang Dunia Kedua termasuk Perang Pasifik, mereka berharap agar kekuasaan rejim kolonial Hindia Belanda bisa direstorasi.
Selain para tawanan di kamp interniran tersebut, ekspektasi yang sama juga dimilki oleh pemerintah Belanda, para pejabat kolonial hingga militer. Meski berada di pengasingan atau jauh dari Indonesia, mereka tetap beroperasi seakan-akan tetap akan memerintah Indonesia begitu Jepang angkat kaki dari nusantara. Para pejabat dan kekuatan militer inilah yang kemudian menjadi pihak yang paling berwenang dalam upaya pemulihan pemerintahan kolonial di Indonesia.
Rupanya ekspektasi tersebut tidak sejalan dengan antusiasme masyarakat Indonesia menyambut Republik yang baru didirikan. Tentu saja segala upaya yang dilakukan pihak Belanda dianggap sebagai usaha untuk melawan bangsa Indonesia yang telah berdaulat. Tidak heran ulama besar seperti Hadratussyeikh Muhammad Hasyim Asy’ari beserta para kiai sepakat untuk merilis Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perbedaan sudut pandang ini tak ayal menjadi pemantik terbakarnya berbagai konflik bersenjata di berbagai daerah.
Dari penelitian yang dilaporkan kepada pemerintah Belanda, disebutkan bahwa kekerasan ekstrem dalam konflik bersenjata itu terjadi secara struktural. Hal ini bermakna bahwa pemerintah yang berkuasa di Belanda saat 1945 hingga 1949 bertanggung jawab penuh atas terjadinya kekerasan di Indonesia. Pemerintah beserta dengan parlemen, lembaga kehakiman, hingga para pimpinan militer Belanda adalah pihak yang paling memiliki otoritas ketika itu. Dalam pandangan mereka ketika itu, aksi-aksi kekerasan yang terjadi merupakan ekses dari tindakan polisionil dalam rangka menegakkan ketertiban di daerah koloni.
Laporan ini disimak dengan seksama oleh Rutte, yang juga merupakan seorang sejarawan lulusan Universitas Leiden. Oleh karena itu, ketika sang Perdana Menteri menyampaikan permintaan maafnya, tak lupa Rutte juga menyampaikan permohonan maafnya kepada para veteran berikut keluarganya yang juga terdampak karena harus menanggung segala konsekuensi atas keterlibatannya dalam suatu misi yang tak mungkin dimenangkan.
“Bukanlah mereka yang patut disalahkan karena mereka hanya melaksanakan tugas sebagai seorang prajurit yang baik, namun lebih dari itu budaya lalai dari tanggung jawab dan rasa superioritas kolonial yang salah tempat merupakan masalah utamanya,” ujar Rutte.
Segera setelah ungkapan permohonan maaf tersebut disampaikan, sontak saja memicu pro dan kontra dalam publik Belanda. Tidak hanya para veteran tentara Belanda saja yang menyayangkan, namun kelompok keturunan Maluku dan para politikus sayap kanan menyebut permintaan maaf Rutte sebagai kepala pemerintahan adalah hal yang tak pantas dilakukan. Mereka merasa bahwa apa yang dilakukan Rutte tersebut melukai mereka yang telah menjadi korban selama masa tersebut maupun para veteran yang loyal terhadap Kerajaan Belanda. Geert Wilders, seorang politisi yang terkenal anti-Islam bahkan berkicau dalam Twitter mempertanyakan sikap Indonesia yang tidak menyampaikan permohonan maaf terhadap para korban dari pihak Belanda selama kurun waktu yang sama.
Pro kontra yang terjadi di publik Belanda inipun mau tak mau mengingatkan kita kepada gestur yang dilakukan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2000, Gus Dur menyampaikan permohonan maaf atas semua kejadian di masa lalu kepada korban dan keluarga korban insiden Santa Cruz di Timor Leste. Apabila kita menyimak arsip berita-berita nasional di Indonesia ketika itu, tentu saja ungkapan permintaan maaf Gus Dur tersebut juga mengundang kecaman dari beberapa kelompok di Indonesia, termasuk para politisi di parlemen. Menurut pihak yang kontra, apa yang dilakukan oleh Gus Dur tersebut melukai rasa nasionalisme Indonesia maupun para veteran tentara Indonesia yang menjadi korban di sana.
Serupa bukan dengan kicauan Wilders soal permintaan maaf Rutte di atas?
Bukan hanya terhadap Timor Leste, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid juga meminta maaf terhadap beberapa pihak lainnya seperti misalnya terhadap masyarakat Papua maupun kepada para korban tragedi 65. Beberapa saat sebelum kunjungannya ke Timor Leste, Gus Dur menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Papua jika selama ini terdapat kekerasan ataupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat pemerintahan Republik Indonesia.
Begitu pula dengan permintaan maafnya kepada korban tragedi 65 yang mayoritas adalah kelompok pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun simpatisannya. Gus Dur menegaskan bahwa para pihak yang terlibat dalam kekerasan dalam peristiwa tersebut, baik kelompok Islam khususnya warga Nahdliyyin maupun kelompok komunis adalah korban keadaan. Terdapat kekuatan sistematis dan struktural yang paling bertanggung jawab sehingga menyebabkan tragedi tersebut terjadi.
Baik permohonan maaf terhadap Papua maupun korban 65 itu kembali mengundang reaksi negatif dari publik Indonesia.
Tentu saja permintaan maaf yang disampaikan oleh Rutte maupun Gus Dur memiliki konteks yang berbeda. Hanya saja permohonan maaf keduanya memiliki landasan yang sama kuatnya. Hal yang paling mencolok adalah ungkapan maaf tersebut tidak muncul begitu saja melainkan berasal dari hasil kajian yang mendalam dan dilakukan oleh banyak pihak. Meskipun belum ada kajian khusus seperti yang dilakukan Belanda pada kasus dekolonisasi Indonesia, namun berbagai riset terkait Timor Leste, Papua maupun peristiwa 65 telah banyak didapati khususnya di kalangan dunia akademik. Jadi bisa dibilang bahwa baik Rutte maupun Gus Dur mengambil pijakan dalam meminta maaf dengan dasar ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kesamaan utama lainnya dari permintaan maaf kedua kepala pemerintahan tersebut adalah orientasinya kepada masalah kemanusiaan. Terlepas dari pro kontranya, permohonan maaf tersebut jelas mengarusutmakan perihal kemanusiaan. Di negeri Belanda saat ini, isu kemanusiaan lebih mendapat tempat daripada isu-isu sektarian yang diusung para politisi sayap kanan. Nyaris semua media yang meliput permohonan maaf Rutte tadi mengambil sikap yang sama terkait isu peristiwa kekerasan di Indonesia.
Kembali kepada Gus Dur. Tentu saja kita juga mengetahui bahwa Gus Dur adalah seorang pendekar kemanusiaan yang gigih sejak masa mudanya. Sikap ini secara konsisten dipegangnya saat Gus Dur menjabat sebagai pemimpin tertinggi Republik ini sebagaimana yang terlihat saat menyampaikan permohonan maafnya baik terhadap Timor Leste, Papua maupun korban tragedi peristiwa 65. Bahkan sampai akhir hayatnya Gus Dur berwasiat agar di nisan makamnya nanti ditulis bahwa “the humanist died here” yang menyiratkan cita-citanya sebagai seorang pejuang kemanusiaan.
Hatta, permintaan maaf kedua tokoh tersebut harus dilihat bukan sebagai akhir namun sebuah langkah awal dalam upaya penyelesaian konflik di masa lalu. Kita sebagai bangsa Indonesia harus segera tanggap merespon permohonan maaf pemerintah Belanda dengan sebaik-baiknya. Tak lupa, kita juga harus ingat masih banyak pekerjaan rumah untuk menyelesaikan persoalam-persoalan kemanusiaan di Indonesia seperti yang telah dirintis oleh Gus Dur. Gema “menghidupkan Gus Dur” yang kerap disuarakan akhir-akhir ini kembali mendapat momentum seiring dengan permintaan maaf pihak Belanda. Sudahkah kita menapaki kembali apa yang telah dirintis sang pejuang kemanusiaan tersebut?