Sedang Membaca
Kisah-Kisah Pangeran Diponegoro di Bulan Ramadan: Inspirasi Mulai Perang hingga Diasingkan
Adrian Perkasa
Penulis Kolom

Dosen Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan PhD candidate di Universiteit Leiden.

Kisah-Kisah Pangeran Diponegoro di Bulan Ramadan: Inspirasi Mulai Perang hingga Diasingkan

Diponegoro

“kalamun wulan Ramělan/ngujalat guwa kang sěpi/mangkana kang winarni/aneng Song Kamal panuju/Seh Durahkim punika/lěnggah neng jro guwa sěpi/lingsir dalu coba ning Hyang nuya prapta”

Penggalan bait di atas adalah petikan dari “Sěrat Babad Dipanagaran” yang mengisahkan tentang pengalaman seorang tokoh pada bulan Ramadan. Protagonis dari kisah tersebut adalah Seh Durahkim yang tak lain adalah nama alias dari Pangeran Diponegoro.

“Seh Durahkim” merupakan nama Jawa dari gelar Arab, yakni “Syauhijoinkh Abdurrahim” yang selalu dipakai sang Pangeran ketika berada di luar istana. Dari nama yang dipakai maupun amalan yang dilakukan saat bulan Puasa seperti yang tergambar dari bait di atas mencerminkan bagaimana sang Pangeran mengamalkan ajaran agama Islam secara mendalam.

Secara pendidikan, bisa dibilang Pangeran Diponegoro memiliki pengalaman yang berbeda dengan para priayi lainnya. Pada umumnya putra maupun keluarga bangsawan mengenyam pendidikan khususnya pengajaran terkait keislaman dari seorang ulama kraton dengan cara informal. Tidak heran jika kemudian banyak catatan dari pejabat-pejabat Eropa yang menyebutkan bahwa situasi pendidikan dan pengajaran agama Islam di kalangan istana Jawa, baik di Yogyakarta maupun Surakarta, tidak begitu baik.

Diponegoro mendapatkan pendidikan Islam yang lebih berkualitas di Tegalrejo di bawah nenek buyutnya, yakni Nyai Ageng Tegalrejo yang merupakan istri dari Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Latar belakang buyut Diponegoro ini memang sangat kental dengan pendidikan agama Islam. Bahkan banyak di antara leluhur dari Nyai Ageng Tegalrejo adalah para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara seperti Sultan Abdul Qahir, raja pertama dari Kerajaan Bima yang memeluk Islam. Tidak heran apabila Diponegoro juga akrab dengan berbagai teks Islam di kalangan pesantren maupun rutin menjalankan ibadah, seperti beriktikaf di bulan Ramadan.

Dalam menjalankan iktikaf di bulan Puasa ini, sang Pangeran memilih beberapa tempat sepi yang jauh dari keriuhan seperti di gua-gua yang ada di sekitar Yogyakarta. Seperti Gua atau Song Kamal yang telah disebutkan tadi yang berada di selatan kota ke arah Pajimatan Imogiri tempat pemakaman para raja Mataram.

Selama menjalani iktikaf atau dalam bahasa sang pangeran adalah “semed” di Song Kamal, ia merasa bahwa Sunan Kalijaga mendatanginya dan meninggalkan pesan bahwa kelak Diponegoro akan ditakdirkan menjadi seorang raja.

Baca juga:  Keajiban Banten (III): Mata Uang Asli Banten

Tak puas bertafakur di sana, Diponegoro melanjutkan ibadahnya di Bengkung yang berada di kompleks Pajimatan Imogiri. Di sini sang pangeran beriktikaf di masjid Imogiri dan menjalankan sholat Jumat bersama para abdi dalem yang bertugas di sekitar tempat tersebut.

Bulan Ramadan sepertinya memang memiliki tempat khusus bagi sang Pangeran. Keputusannya untuk mengangkat senjata melawan pemerintah kolonial juga tak lepas dari ilham yang didapatkannya pada saat bulan Ramadan tahun 1825 Masehi. Kali ini Diponegoro menghabiskan waktu Ramadannya di daerah Selarong, di mana terdapat Goa Secang yang sering dijadikannya tempat bertafakur.

Seperti yang disebutkan dalam babad yang ditulisnya, ia banyak beribadah di tempat tersebut karena kegundahan hatinya yang semakin menjadi-jadi melihat perkembangan situasi politik di Kraton Yogyakarta. Pada suatu siang selepas salat Zuhur, Diponegoro mendengar suatu bisikan bahwa ia mendapat gelar “Sultan Ngabdulkamid Èrucakra Sayidu Panatagama ing Jawi Kalipah Rasulolah”.

Sang Pangeran mendapat isyarat lebih lanjut pada malam harinya. Bertepatan dengan malam kedua puluh tujuh Ramadan, Diponegoro melakukan ibadah salat Tarawih dilanjutkan dengan iktikaf bersama para abdi setianya.

Ketika beriktikaf di Goa Secang, Diponegoro duduk bertafakur di atas selo gilang atau batu yang biasa dipakai untuk bersemedi dengan diapit kedua abdinya. Selepas makan malam, tiba-tiba mereka tertidur. Di dalam mimpinya, Pangeran Diponegoro merasa didatangi oleh delapan orang yang wajahnya bersinar. Setelah saling berbalas salam kedelapan sosok tersebut mendatangi sang pangeran dengan memberi gelar yang sama dengan yang didengarnya pada siang harinya.

Setelah bersama-sama memanjatkan takbir, semua sosok tersebut menghilang dan meninggalkan sang Pangeran dalam kesendiriannya. Tak lama sesudah kejadian tersebut, pecahlah perang terhebat dalam sejarah perjuangan melawan Belanda di Jawa.

***

Awal konflik berkepanjangan tersebut dipicu serangan tentara Belanda ke kediaman sang Pangeran di Tegalrejo. Pemerintah Kolonial menganggap Diponegoro telah mendeklarasikan pemberontakan terhadap otoritas yang sah dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan.

Pada mulanya pihak Belanda tidak menyangka bahwa perlawanan Diponegoro akan berlangsung lama. Rupanya banyak sekali dukungan yang diperoleh Diponegoro baik dari kalangan bangsawan, agamawan, maupun masyarakat kebanyakan. Tidak heran kemenangan di berbagai pertempuran dengan pasukan Belanda berhasil diraih. Awalnya, perlawanan yang dilakukan Diponegoro banyak dilakukan di daerah Jawa Tengah bagian selatan, namun karena pengikutnya sangat banyak, konflik ini merembet juga hingga ke Jawa Timur. Beberapa pemimpin pasukan dari kelompok Diponegoro seperti Sentot Alibasah Prawirodirjo yang memang berasal dari keluarga besar bangsawan Madiun.

Baca juga:  Lima Bintang untuk Semua Masakan di Toko Pak Camat di Voorschoten Belanda

Setelah mengerahkan segala kekuatan yang dimiliki, termasuk dengan tipu muslihat dan politik pecah belah atau devide et impera yang terkenal itu, kekuatan Pangeran Diponegoro mulai melemah di awal tahun 1830. Sang Pangeran sendiri juga terjangkit penyakit malaria yang menyebabkannya membutuhkan pertolongan dari seorang dokter Eropa.

Dari segi kekuatan tantara, pihak Diponegoro semakin melemah dengan ditangkapnya beberapa pemimpin penting seperti Sentot Alibasah dan Kiai Mojo. Kondisi ini segera dimanfaatkan dengan cerdik oleh pihak Belanda. Hendrik Merkus de Kock yang saat itu menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengambil langkah taktis dengan mengundang Diponegoro untuk kembali ke meja perundingan. Mengingat sumber daya pihak Belanda yang semakin menipis dan janji pemerintah kolonial terhadap para penguasa daerah yang melawan Diponegoro tentu langkah ini merupakan langkah yang taktis untuk segera menyelesaikan konflik yang telah berlarut-larut.

Melalui perantara Kolonel J.B. Cleerens, De Kock mengundang Diponegoro untuk keluar dari markas gerilya dan menemuinya di Kantor Karesidenan Kedu di Magelang. Ajakan berunding dari pihak Belanda itu ditolak oleh Diponegoro. Alasan penolakannya bukanlah ingin membuat konflik semakin berlarut-larut, melainkan karena undangan tersebut datangnya bersamaan dengan bulan Ramadan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Diponegoro memilih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan pada bulan suci Ramadan. Secara eksplisit Diponegoro menjawab kepada pihak Belanda bahwa ia tidak bersedia menghadiri diskusi apapun selama bulan puasa. Diponegoro ingin untuk menghabiskan waktunya di sekitar pegunungan Menoreh, basis perjuangan gerilyanya saat itu berlangsung. Kembali pihak Belanda mendesak untuk memberikan kepastian jadwal diskusi apabila Diponegoro memang serius dengan keinginannya tersebut. Pada akhirnya tercapailah komitmen di antara kedua belah pihak untuk melakukan pertemuan setelah bulan Puasa, persisnya tanggal 2 Syawal, sehari setelah Idul Fitri.

Dengan memberikan kelonggaran kepada Pangeran Diponegoro untuk menjalankan ibadah di bulan Ramadan, pihak Belanda sendiri berharap bahwa sang Pangeran juga memperlihatkan sikap bersahabat meski telah menjadi musuh bebuyutan selama lima tahun belakangan. Diponegoro pun membalas perlakuan Belanda ini juga dengan baik manakala ia dan pasukannya keluar dari tempat gerilya untuk membuat perkemahan di Matesih yang lokasinya dekat tempat berlangsungnya pertemuan dengan rivalnya.

Baca juga:  “Nabi Muhammad Bercukur”: Sebuah Tembang Kerinduan dari Nusantara

Sehari menjelang bulan Ramadan tahun 1830, de Kock sendiri bertemu dengan Diponegoro di tempat perkemahannya. Menurut Babad yang ditulisnya, Diponegoro menggambarkan pertemuan tersebut berlangsung dengan cukup hangat. Bahkan beberapa kali mereka juga saling melempar canda.

Menurut Peter Carey (The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855, 2007), kedua seteru ini bisa menjadi dekat karena beberapa tahun sebelumnya mereka sama-sama kehilangan pasangan hidup yang dikasihinya. Tentu secara psikologis situasi ini benar-benar memukul keduanya yang saat itu sedang berada di tengah pertempuran yang hebat.

Sayang sekali gestur persahabatan yang dibangun selama pertemuan-pertemuan pada bulan Ramadan ini justru berbanding terbalik pada saat hari H perundingan berlangsung. Pada tanggal 28 Maret 1830, ketika sang Pangeran berkunjung ke markas de Kock dalam rangka bersilaturahim seperti dalam tradisi Islam pada saat lebaran justru kemudian ia tidak diperkenankan untuk kembali ke perkemahannya.

Menurut Diponegoro, tidak ada dalam tradisi silaturahim seorang tamu tidak diperbolehkan pulang oleh sang tuan rumah!

Rupanya pada tanggal tersebut, de Kock telah terdesak khususnya oleh Gubernur Jenderal HIndia Belanda untuk segera membuat resolusi konflik dengan Diponegoro. Peristiwa inilah yang kemudian membuat Diponegoro kecewa begitu mendalam seperti yang dituliskan dalam babadnya. Pangerang sedih bercampur marah, rasa persahabatan atau pisanakan antara dirinya dengan de Kock sebagai sobat yang telah terjalin selama beberapa tahun terakhir harus berujung demikian.

Kekecewaannya semakin bertambah manakala sesungguhnya Diponegoro memilih untuk dibunuh di sana dan berpesan agar jasadnya dikebumikan di Pajimatan Imogiri bersama para leluhurnya tidak dipenuhi. Pihak Belanda memilih untuk mengasingkannya jauh dari tanah kelahirannya. Meski 190 tahun yang lalu selepas Ramadan sang Pangeran diasingkan, namun sejarah membuktikan bahwa semangat juangnya tetap menyala dan menjadi inspirasi bagi para pendiri bangsa Indonesia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top