Tak bisa dipungkiri, kegembiraan itu mayoritas muncul dari senda gurau dan kelucuan atas tabiat atau perilaku atau kebiasaan seseorang, lewat kata maupun tingkah laku. Manusia sebagai makhluk sosial yang memerlukan perhatian dan respon dari orang lain, selalu saja butuh keceriaan dari orang lain atau dari dirinya sendiri, apabila ia memiliki kepekaan rasa atas humor.
Dalam sejarah panjang tradisi Islam, kelucuan dan kekonyolan yang melahirkan tawa itu diketahui dimulai pada zaman dinasti Abbasiyah ketika dipimpin oleh Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806 – 814 M). Muncul nama Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami (Abu Nawas) kemudian diikuti oleh Nasruddin Khoja seorang sufi satirikal jaman Dinasti Seljuk yang hidup di abad ke 13 M.
Dua nama itu begitu melegenda sehingga apabila seseorang suka membolak-balik logika normal lantas menjadi bahan tertawaan, kerap diidentikkan dengan nama Abu Nawas atau Nasruddin Khoja.
Mengapa dua nama itu begitu luar biasa dalam memainkan logika normal sehingga menjadi begitu lucunya, karena mereka adalah para penyair atau sastrawan sufi yang cerdas dalam memaknai kehidupan dan penyelewengan-penyelewengan atas kondisi sosial yang terjadi.
Sebenarnya, ada seseorang yang lebih ekstrim membangun kelucuan dibandingkan dua nama di atas dan dia hidup di zaman Rasulullah, bahkan amat sangat dekat dengan beliau. Rasulullah pun begitu cintanya kepada sahabat ini: Nu’aiman bin Amr bin Rafa’ah namanya. Lucunya mendekati bengal dan bagi sebagian orang terkesan keterlaluan.
Meski cerita tentang Nu’aiman jarang dibicarakan dan diceritakan, dibandingkan Abu Nawas, namun tidak sedikit buku dan kitab yang meriwayatkannya. Tidak ada tarikh yang mencatat secara tepat waktu Nu’aiman dilahirkan, namun waktu meninggalnya diketahui pada tahun 652 M.
Nu’aiman adalah penduduk Madinah dari kaum Anshor bergaris keturunan dari Bani an-Najjar dan satu umat Islam awal di Madinah. Pada saat perang Badar, dia adalah ashabul badr dan turut berjihad bersama Rasulullah.
Ia tidak hanya beraksi dalam perang Badar, akan tetapi Uhud, Khandaq, dan perang utama lain. Ia selalu berada dekat dengan Rasulullah dengan sikap menghiburnya. Nu’aiman dikenal sebagai seorang yang berhati ringan, cepat menjawab bila ditanya dan suka sekali bergurau, serta mencairkan suasana termasuk ketika ada Rasulullah.
Nu’aiman merupakan seorang yang pernah berkomitmen pada Rasulullah di Bai’at Aqabah Dua. Di luar perilakunya yang lucu dan konyol itu, Nu’aiman adalah seorang pemabuk berat dan alkoholik.
Suatu ketika karena geramnya pada Nu’aiman atas kebiasaan mabuknya itu, Rasulullah memerintahkan beberapa sahabat untuk menangkap lalu memukulinya sesuai dengan hukum Islam yang berlaku. Kemudian ditangkaplah dia, lantas didera di hadapan banyak orang.
Namun sungguh tak disangka, ternyata hal tersebut tidak membuat Nu’aiman menjadi jera, namun justru makin melecehkan dengan tetap mabuk. Akhirnya Rasulullah merasa jengkel. Walau sahabat yang baik tetapi kalau urusan hukum agama pastilah tak ada maaf bagi siapa pun tak terkecuali Nu’aiman.
Rasulullah pun memerintahkan untuk sekali lagi menangkap serta memukulinya dengan rotan. Beberapa kali hal itu terjadi, namun Nu’aiman masih juga mengulang perilakunya. Hingga Rasulullah merasa jengkel lalu sempat mengancam, dan Rasulullah pun meyakinkan dengan tegas bahwa ia dianggap keluar dari Islam. Beliau berujar, “Jika Nu’aiman kembali (meminum khamr) maka bunuhlah.”
Teriakan kemarahan Rasulullah itu pun terdengar sampai ke telinga seorang sahabat yang bernama Umayr. Mendengar ucapan keras Rasulullah tersebut, Umayr menjadi ikut marah dan mengumpat, “Laknatullah alayhi – semoga Allah melaknatinya”. Sungguh diluar dugaan ketika Umayr dengan kemarahan itu, Rasulullah berada didekatnya.
Dengan kesabaran dan ketenangan, Rasulullah pun sesegera menepis emosi Umayr dengan memegang bahunya sembari berkata, “Jangan, jangan, jangan mengatakan seperti itu. Sesungguhnya Nu’aiman adalah seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Sehingga dosa besar seperti yang diperbuat oleh Nu’aiman tidak meletakkan seseorang di luar jemaah dan rahmat Allah.”
Meski tegas, Rasulullah masih menaruh harapan besar terhadap Nuaiman untuk memperbaiki diri serta perbuatannya, terutama karena jasa dan pengorbanan masa lalunya sebagai veteran perang Badar.
Oleh karena itu, Nu’aiman bukanlah seseorang yang suka menyembunyikan tindakannya, justru malah lebih mudah dia untuk mengakui kesalahannya lalu memohon ampunan kepada Allah. Inilah yang selalu dia lakukan sehingga selalu saja mendapat perhatian Rasulullah serta para sahabat yang setia menanti sekaligus menikmati ide kelucuannya.
Ada beberapa prilaku Nu’aiman yang sungguh membuat setiap orang tertawa, baik itu sahabat, bahkan Rasulullah pun dikerjainya.
Mentraktir Wajib Membayar
Alkisah, suatu malam menjelang subuh Nu’aiman mabuk berat dan tak mungkin pulang. Tepat di depan masjid ia merebahkan badannya untuk sedikit menghilangkan kemabukannya. Ketika dia terbangun hari telah siang, maka Nu’aiman merasa perutnya amat sangat lapar.
Kebetulan saat dia menengok, tampak penjual makanan yang lewat di depan masjid tempat ia bersandar, dan tanpa pikir panjang Nu’aiman pun langsung mencegat penjual makanan tersebut. Tanpa sengaja ekor matanya melihat Rasulullah sedang berada di dalam masjid.
Nuaiman kemudian memesan dua makanan lalu mencari Rasulullah di dalam masjid dan mengajaknya makan. Keduanya pun makan hingga habis. Saat makanan telah habis Rasulullah kemudian berdiri hendak masuk ke masjid. Namun, Nuaiman mencegatnya sembari berkata.
“Mau ke mana engkau Ya Rasul? Sepertinya tak ada beban, habis makan kok enak saja ditinggal, mau tidak bayar yaa?” ucap Nu’aiman dengan ringan.
Rasulullah pun menjawab, “Kan yang memesan dan menawariku makan bukannya kamu?”.
“Iya… memang betul ya Rasul, tetapi di mana-mana seorang raja atau pemimpin itu bukankah melayani, mengayomi, dan mentraktir anak buahnya. Masa aku yang harus bayar untuk seorang Nabi Allah?” kata Nuaiman.
Melihat kelakuan Nuaiman Rasulullah kemudian tersenyum dan merasa geli hatinya. Beliau pun mengeluarkan beberapa keping uang kemudian membayar makanan.