Setiap gelombang air memiliki karakteristiknya sendiri, sesuai tujuannya, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan waktu dan tempat, serta menanggapi sesuatu sesuai ketetapan Tuhan. Mayoritas orang beriman berhubungan eksklusif dengan “air yang dikandung gelombang” itu.
Bagaimana dengan orang yang hidup dalam dunia mistik? Mistik, termasuk tasawuf, banyak berbicara tentang “misteri-misteri kerajaan langit, surgawi”. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa mistikus adalah seseorang yang lebih terpikat pada “gelombang surut” daripada “air yang meninggalkan gelombang”. Ia tidak membutuhkan sedikit pun sisa (yang meninggalkan) itu seperti orang-orang yang masih membutuhkan bentuk-bentuk lahir dalam beragama.
Sebab, jika sesuatu dalam diri mistikus, yang larut dalam gelombang surut itu, dipertanyakan, maka sesuatu itu bukan tubuhnya dan bukan jiwanya. Tubuh tidak bisa ikut dalam arus surut sampai terjadinya kebangkitan kembali, yang merupakan tahap pertama penggabungan kembali tubuh (bersama dengannya semua material) pada tingkat wujud yang lebih tinggi.
Sementara jiwa, ia harus menunggu sampai kematian tubuh. Sampai di situ, sekalipun abadi, ia tetap terpenjara dalam dunia fana. Pada kematian Al-Gazali, sufi besar abad ke-12, kita bisa membaca puisi yang pernah ia tulis pada masa sakitnya, yang ditemukan di bawah bantal. Disitu tertulis:
Aku adalah seekor burung: tubuh ini adalah sangkarku.
Tetapi aku telah terbang meninggalkannya
Sebagai sebuah kenangan
Sufi-sufi besar lain juga pernah mengungkapkannya dengan maksud serupa. Mereka pun memperjelas melalui tulisan, pernyataan, atau kehidupan. Bagi kita, hal itu merupakan ukuran kebesaran mereka. Sesuatu di dalam diri para sufi itu mengikuti gerak surut sebelum kematian. “Sangkar” lebih penting dari yang lain, sehingga harus dibebaskan, dan mereka harus menunggu kematian untuk membebaskannya.
Ibn ’Arabi, sufi termasyhur dari Sevilla Spanyol, selalu mengawali doanya dengan: “Tenggelamkan daku, ya Rabbi, pada kedalaman samudera-Mu yang tak bertepi ”. Pada risalah-risalah kaum sufi, kata “samudera” ini selalu disebutkan. Demikian juga ia dihadirkan melalui referensi simbolik atas “akhir” yang menjadi tujuan mereka.
Karena itu, atas dasar simbol ini, mari kita mulai menjawab pertanyaan “Apa tasawuf itu?” Dari waktu ke waktu, wahyu ‘mengalir’ seperti gelombang pasang yang dari samudera tak bertepi yang bergerak menuju pantai-pantai dunia kita yang terbatas. Dan, tasawuf merupakan bidang, disiplin, serta ilmu pengetahuan tentang penenggelaman pada gerak surut dari salah satu gelombang tersebut dan bergerak bersamanya kembali pada sumbernya yang abadi dan tak terbatas.
Istilah ‘dari waktu ke waktu’ ini merupakan simplifikasi yang butuh penjabaran. Karena tidak ada ukuran umum untuk menentukan jarak antara asal gelombang dengan tujuannya, maka kesementaraannya harus menyiratkan ketakterbatasan. Karena merupakan sesuatu yang bersifat sementara, maka gelombang itu harus sampai ke dunia pada momen tertentu dalam sejarah, meski momen itu akan keluar dari waktu.
“Lebih baik dari seribu bulan ” adalah ungkapan bagaimana Wahyu Islam menggambarkan malam turunnya (lailatul qadar). Demikian juga, meski ada ‘akhir’ yang terkait dengan awal, tetapi ‘akhir’ tersebut terlalu jauh bagi kemampuan ramalan manusiawi. Institusi-institusi Ilahi dirancang untuk “selama-lamanya”.
Sesuatu yang terseret oleh perwujudan spiritual menuju Asal bisa disebut pusat kesadaran. Samudera berada di dalam dan di luar, dan jalan para mistikus merupakan kebangkitan bertahap sehingga ia merupakan ‘jalan balik’ menuju akar wujud seseorang, sebuah kenangan atas Diri Tertinggi yang begitu jauh melintasi ego manusiawi dan yang tak lain merupakan kedalaman sebagai tujuan gelombang surut.
Gambaran lain akan membantu menyempurnakan gambaran pertama. Kita bisa mengibaratkan dunia ini dengan sebuah kebun, tepatnya kebun persemaian benih. Sebab, bibit-bibit yang tumbuh akan ditanam di tempat lain. Bagian tengah dari kebun ini disediakan khusus untuk pohon-pohon jenis unggul.
Walaupun relatif kecil dan tumbuh di pot yang terbuat dari tembikar, tetapi ketika kita melihat pohon-pohon itu, seluruh perhatian kita tertuju pada sebuah pohon yang keindahannya sangat menonjol dari yang lain. Sebuah pohon yang kesuburan dan kekuatan pertumbuhannya sangat unggul.
Penyebabnya tidak bisa terlihat oleh mata telanjang. Tetapi kita akan mengetahui apa yang telah terjadi, tanpa perlu melakukan investigasi, yakni bahwa pohon itu telah mampu menghujamkan ujung akarnya ke dalam bumi menembus dasar wadah tempat tumbuhnya.
Pohon-pohon itu adalah jiwa-jiwa, dan salah satu dari pohon-pohon itu adalah seseorang yang – dalam istilah Hindu – telah “terbebaskan dalam kehidupan”, orang yang telah mencapai “maqam tertinggi” dalam istilah kaum sufi.
Dalam hal ini, tasawuf adalah sebuah jalan dan sarana menancapkan akar melalui ‘celah sempit’ dalam kedalaman jiwa menuju medan ruh murni dan merdeka yang membuka diri pada keilahian. Seorang sufi yang telah mencapai kematangan perkembangan, menyadari akan dirinya sebagai tawanan dalam dunia bentuk-bentuk.
Tetapi berbeda dengan orang lain, sufi tersebut menyadari dirinya sebagai yang merdeka dengan kemerdekaan yang jauh melampaui keterpenjaraannya. Karena itu, dia bisa dikatakan memiliki dua pusat kesadaran, satu bersifat manusiawi dan satu lagi bersifat Ilahi. Dia bisa berbicara dalam satu dimensi kesadaran dan juga dari dimensi kesadaran yang lain, yang bisa melahirkan sejumlah kontradiksi nyata.
Mengikuti jalan para mistikus berarti menganggapnya sebagai sebuah dimensi tambahan. Karena jalan ini tak lain adalah dimensi kedalaman. Akibatnya, sebagaimana akan terlihat lebih rinci pada kesempatan berikutnya, ritus-ritus itu pun (yang dilaksanakan oleh seorang mistikus bersama masyarakatnya yang membutuhkannya untuk keseimbangan jiwa) tidak dilaksanakan secara eksoterik sebagaimana orang lain melaksanakannya.
Namun, sang mistikus melaksanakannya dari sudut pandang esoterik yang sama dalamnya, yang memberikan ciri khusus terhadap seluruh ritusnya dan yang secara metodis dilarang mengabaikannya. Dengan kata lain, dia tidak boleh kehilangan pandangan kebenaran bahwa air yang ditinggalkan oleh gelombang adalah air yang sama dengan yang surut dan kembali lagi ke laut.
Secara analogis, dia tidak boleh lupa bahwa jiwanya – seperti air yang terpenjara dalam bentuk-bentuk––tidak berbeda secara esensial dengan ruh yang transenden. Jiwa merupakan perpanjangannya, seperti tangan yang dijulurkan dan dimasukkan ke dalam sebuah wadah, lalu ditarik kembali.
Jika kata murni pada judul tulisan ini belum jelas, hal itu karena kata murni telah membeku, atau dibekukan oleh banyak makna yang tidak menyentuh esensi kemurnian. Kata murni bahkan pernah digunakan sebagai padanan kata abnormal. Itu penyimpangan berlebihan, saya rasa, karena kemurnian tidak dapat dicapai oleh kehendak manusia, sedangkan keajaiban justru mudah diperoleh, karena seringkali hanya kekacauan tanpa alasan.
Yang murni adalah yang memancar langsung dari asal atau sumber, seperti air murni dan belum tercampuri apa pun. Maka kemurnian terkait dengan inspirasi dan terutama dengan wahyu. Karena asal adalah transenden, di balik dunia, dalam wilayah ruh. Asal, tak lain adalah Sang Mutlak, Yang Tak Terhingga dan Abadi, yang merupakan asal nama suci Sang Awal, dalam bahasa Arab al-Badi’, yang juga bisa diterjemahkan Yang Maha Indah.
Dari samudera kemungkinan yang tak bertepi inilah gelombang pasang besar wahyu mengalir, yang secara mengagumkan berbeda satu sama lain, karena masing-masing mengemban citra Yang Satu-dan-Hanya Satu tempat kemunculannya. Citra ini menjadi kualitas keunikan dan masing-masing begitu serupa, karena kandungan esensial pesannya adalah Yang Satu-dan-Hanya Kebenaran.
Dalam pandangan terhadap citra gelombang, kita melihat bahwa kemurnian merupakan sebuah jaminan efektualitas dan otentisitas. Otentisitas dibentuk oleh arus gelombang, yaitu sumber langsung wahyu dari Asal Ilahiah. Dalam setiap arus terdapat janji akan adanya gelombang surut yang merupakan tempat efektualitas, Rahmat kebenaran dengan daya tarik yang tidak bisa ditolak.
Dengan kata lain, tasawuf sepenuhnya menjadi independen dari segala hal yang lain. Tetapi, sambil mencukupi kebutuhannya sendiri, jika waktu dan tempat memungkinkan, ia juga memetik bunga-bunga dari taman lain di luar tamannya sendiri. Nabi umat Islam bersabda: “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina.”
Tentang ribuan orang di dunia Barat modern yang – sambil mengaku diri sebagai sufi – menyatakan bahwa tasawuf tidak terkait dengan agama tertentu dan bahwa ia selamanya eksis, tanpa sadar mereka telah mereduksinya. Kita tahu, sejak Islam memapankan diri di India, terjadi pertukaran intelektual antara kaum sufi dan kaum Brahma. Akan tetapi, dasar-dasar tasawuf sudah berdiri kokoh jauh sebelum ia membuka kemungkinan bagi pengaruh asing serta memperkenalkan unsur-unsur “non-islaminya”. Ketika akhirnya pengaruh-pengaruh itu terasa, ya hanya di permukaan.
Tasawuf tidak lain adalah mistisisme Islam, yang berarti bahwa ia merupakan pusat dan arus paling kuat dari gelombang pasang yang memuat wahyu Islam; dan akan menjadi jelas dari apa yang dikatakan bahwa usaha menegaskan ini bukan berarti sebuah perendahan, seperti terlintas dalam benak kita. Sebaliknya ini merupakan penegasan bahwa tasawuf adalah otentik sekaligus efektual. (SI)