Sedang Membaca
Dakwah Lewat Film: Jalan Surga atau Sekadar Bisnis?

Dakwah Lewat Film: Jalan Surga atau Sekadar Bisnis?

Dakwah Lewat Film: Jalan Surga atau Sekadar Bisnis?

Sebagai karya seni teknologi manusia, sejak awal tercipta dan ditemukannya film, langsung digunakan sebagai media komunikasi massa, yang pasti sebagai media untuk bercerita. Apakah yang diceritakan itu adalah khayalan atau realita, pada intinya segala bentuk media berkisah, yaitu suatu new media sebagai hasil karya technology of art dan optical work.

Dengan bentuk sebagai media komunikasi massa, film telah digunakan untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Sedangkan yang melihat film sebagai media seni an-sich, atau sering diungkap dengan “l’art pour l’art”, film hanyalah sebuah media untuk menyampaikan pikiran, ungkapan perasaan, isi hati, terkadang nafsu individu yang tidak mempedulikan norma, etika selain hanya kebutuhan mereka sendiri sebagai sineas.

Nyata dan pasti, pikiran “l’art pour l’art” (seni untuk seni) itu muncul dari cara hidup individualis dimana hakikatnya lahir dari filsafat materialistis yang merajalela di Eropa dan Amerika pada beberapa dekade terakhir ini.

Individualis di dalam dunia kesenian yang di motori oleh filosof Perancis Jean Paul Sartre lewat aliran eksistensialisme-nya juga sangat berpengaruhi terhadap dunia film.

Di sisi lain “l’art pour l’art” sebagai sebuah aliran, hingga kemudian  memunculkan dua aliran baru yang seakan tidak saling mempengaruhi, walau toh pada esensinya adalah juga berasal dari satu kekuatan yaitu materialisme. Aliran yang pertama “seni untuk uang” dan aliran yang ke dua “seni massa” yang nota bene, bahwa pengertian “massa” adalah mereka yang sudah berkompromi untuk menyembah kepada “materi”, dengan melupakan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Seni untuk uang” merupakan cita-cita para film maker yang bersumber dari kapitalisme internasional seperti kita lihat dan rasakan saat ini. Sehingga film tidak lagi hanya sebagai media hiburan semata, akan tetapi malah menimbulkan dan sengaja merangsang gairah nafsu murahan yang mampu membangkitkan histeria.

Baca juga:  Air dalam Paradigma Pembangunan, Forum Dunia dan Ekspresi Kebudayaan

Di dalam kehidupan dunia sinematografi, atmosfer komersil semakin tampak jelas dimata pada film-film sensasional, film-film seks, crime, violence, yang pasti dapat menggairahkan “emosi” penontonnya.

Yang utama dari masalah ini harusnya dilakukan riset cukup detail, sebab pada umumnya film-film yang dibuat, di pojok dunia bagian mana pun saat ini tidak akan terlepas dari prinsip ekonomi dengan puncaknya adalah untung rugi, tak terkecuali negara Pancasila macam Indonesia kita ini. Semuanya hanya untuk keuntungan, uang dan jelas paling utama untuk kapitalnya. Itulah yang selalu ada di dalam benak para produser film dari waktu ke waktu dimana pun mereka berada.

Apabila kita mempunyai tujuan yang lain tentang film, mungkin saja film yang kita buat terfokus untuk media dakwah, media politik religius, maka fokus utama itu harus meneliti secara sadar atas selera utama para penonton, sekaligus bagaimana caranya pula memuaskan penonton atas film yang kita sajikan. Kita tidak bisa hanya pasif atau sinis, karena film tak akan bisa menjadi senjata ampuh untuk tujuan utama kita.

Melampaui Hiburan: Film sebagai Jalan Kebaikan

Film maker yang pernah mencoba untuk membuat film ideal, maka ini adalah nyata-nyata suatu problematika yang berat. Bagaimana menuangkan ide-gagasan yang akan difilmkan dalam sebuah bentuk yang begitu gampang dipahami oleh penonton sehingga memerlukan keahlian menulis skenario berdasarkan wawasan serta analisa mendalam tentang strategi dan teknik menulis cerita untuk sebuah film berkualitas.

Setidaknya para sineas Indonesia yang beragama Islam, sudah semestinya berkewajiban untuk menjadikan film sebagai media dakwah secara rapi sekaligus detail agar tak semata-mata vulgar nampak sebagai dakwah agama semata. Dikaji dari sudut idealisme, sebagai film maker mungkin itu bukanlah pekerjaan yang sulit untuk membuat film dakwah di Indonesia, bukankah falsafah negara dan bangsa ini juga sudah sangat Islami. Dengan demikian tiap pengungkapan ayat Allah serta kata perbuatan Rasulullah SAW, secara sinematografis dan filmis dengan sendirinya juga akan turut membina jiwa Pancasila yang pedoman atas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam akidah Islam tentunya adalah Allah SWT. Untuk itulah para seniman Islam yang intelektual berkewajiban di atas dunia yang fana ini, untuk mendapatkan kerelaan Allah SWT kelak di alam baka. Karena memang sesungguhnya Allah menciptakan dunia untuk manusia dan manusia untuk akhirat.

Baca juga:  Hirarki Zaman Dalam Perspektif Hadis

Jika penulis-penulis Muslimin sudah sadar dan menghayati sumber-sumber ilham yang terdapat dalam ayat-ayat Allah serta hadis-hadis shahih Nabi Besar Muhammmad SAW dan mereka telah menguasai pula teknik penulisan skenario, maka insya Allah pada suatu ketika kita pun akan dapat membanggakan film-film yang benar-benar diabdikan di atas jalan Allah.

Maka dengan demikian, pastilah kita bukan orang yang menganut aliran “seni untuk seni”, karena yang demikian itu terang bertentangan dengan ajaran Islam, kendatipun kejadian, bahwa hasil karya aliran “seni untuk seni” itu pada suatu ketika kebetulan berisikan semacam dakwah. Karena bagi kita ditetapkan, bahwa “tiap-tiap amal perbuatan itu hendaklah disertai niat (yang pasti)”.

Ini berarti bahwa kita tidak boleh membuat film-film, apalagi yang komersial tujuannya seperti film-film “keagamaan”: The Ten Commandements, Noah, Kingdom of Heaven, Fetih 1453, Journey to Mecca atau King of Kings. Kita tegas menolak aliran “seni untuk seni” dan yang ada bau-baunya demikian, seperti eksistensialisme. Kita pun tidak dapat menerima pernyataan yang dirumuskan oleh beberapa seniman pengarang Indonesia di dalam “Manifes Kebudayaan” (Manikebu) atas dasar yang sama. Kita pun mustahil pula akan melakukan perbuatan bid’ah dan mengabulkan “seni untuk sesama makhluk, apa pun dan bagaimanapun mulia pekerjaan mereka” dan karena itu tidaklah mungki buat kita secara membabi buta hendak menerapkan ajaran “seni untuk publik”.

Baca juga:  Tentang Hoax dan Pasca-Kebenaran

Tetapi jika para seniman Muslimin di dalam karya-karyanya berdasarkan atas ajaran-ajaran agamanya membela kepentingan-kepentingan kaum kecil, kaum yang tertindas, kaum proletar dan segala sesuatu yang dilakukannya “karena Allah semata-mata”, maka itu adalah fardhu kifayah baginya. Artinya itu adalah suruhan Allah yang musti dikerjakannya, “mendorong kepada kebajikan dan mencegah kejahatan” (Amar Ma’ruf Nahi Munkar).

Karena itulah kita di dalam seni, menentang “realisme kapitalistik ala garapan para film maker Hollywood” yang mendewa-dewakan individualis, bagaimanapun besar jasa individu itu. Karena pendewa-dewaan itu adalah bermaksud untuk merangsang orang lain untuk berbuat yang lebih lagi demi untuk maksud keselamatan duniawi semata-mata, hingga hilang lenyaplah esensi arti yang menjadi keyakinan umat Islam bahwa “Tuhan menciptakan manusia untuk hari akhirat”.

Membuat film untuk maksud komersial semata-mata, seperti yang telah dibahas di atas dengan panjang lebar, teranglah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Maka hanyalah tinggal lagi satu jalan bagi para sineas Muslimin, yaitu mengabdikan karya-karya mereka di atas jalan yang di ridhoi Allah yang pada hakekatnya jalan ini cukup lebar, luas dan lapang untuk bergerak. Justru karena sumber-sumber ilham adalah langsung dari wahyu ilahi seperti yang telah dimaktubkan di dalam kitab suci Al-Qur’an dan seperti yang telah diteladankan oleh Nabi Besar Muhammad SAW.

Maka jadilah film alat yang ampuh di tangan para seniman Muslim untuk mengagungkan nama Allah! Amin ya Rabbal’alamin!

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top