Sedang Membaca
Antara Keikhlasan, Sedekah, dan Kepedulian

Antara Keikhlasan, Sedekah, dan Kepedulian

Hipwee Woman Selling Fruits 2883704 750x422

Masih jelas dalam ingatan, sore itu adalah perjalananku dari Surabaya menuju ke Malang, sengaja “nyantai” lewat bawah tidak masuk tol. Aku sempatkan mampir ke toko waralaba di Kota Purwosari, Jawa Timur, untuk membeli minuman dan makanan kecil buat teman nyetir agar tidak ngantuk.

Sekeluar dari swalayan, tak sengaja mataku tertuju fokus pada seorang bapak-bapak berusia tak kurang 65 tahunan, berkumis tipis dan berjenggot putih panjang tak terawat, menjual kripik dengan sepeda onthel tuanya.

Langkah mantap kaki, kuhampiri bapak itu dengan senyum dan sapa, ” Jualan apa ini pak?”

Mata tua itu tajam menatapku, “Oooh … Ini kripik singkong dan kripik talas”. “Berapa sebungkus pak?”, tanyaku serius. “Rp. 5.000,- sebungkus mas”, jawabnya tenang. “Sepuluh ribu 3 bungkus, boleh gak pak?”, tawarku tanpa dosa.

Spontan wajahnya berubah seperti orang jengkel, tapi tetap bersikap sopan dengan senyuman bapak tua itu menjawabku,
“Maaf yaa mas… Harganya ini sudah murah, dan tarifnya memang segitu. Tapi kalo sampean mau sepuluh ribu dapat 3, juga nggak apa-apa. Jadi 2 bungkus sampean beli dan yang sebungkus sedekah saya buat sampean”.

Betapa terkejut dan malunya aku, seolah wajah ini ditampar sendal saja. Bayangkan…! Aku naik mobil jip Land-Rover Defender, mau disedekahi sebungkus keripik sama bapak tua yang bersepeda ontel. Gilaaa kan….?!

Untuk menutupi rasa malu itu, maka aku pun mencoba bermanis-manis canda dengan bapak tua itu, “Masa nggak boleh nawar pak? Bukannya dalam jual beli tawar menawar itu suatu hal yang wajar to pak”.

“Ketika sampean tadi belanja di supermarket, kenapa harga barang yang tertera di label kok gak ditawar?”

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (27): Ketika Abu Ya'kub al-Nahrajuri Mengkritik Orang Pelit

Ini untuk kali kedua aku terhenyak malu dibuatnya, dan mulutku terasa dibungkam dengan otak kosong tanpa jawaban.

Bapak tua itu melanjutkan kalimatnya yang sungguh waras, logis dan menjadikanku semakin bodoh,
“Boleh saya cerita sedikit mas?” Aku cuman sanggup menganggukkan kepala saja.

“Begini yaa mas, sekarang coba sampean pikir sekaligus pahami. Suatu waktu sampean pergi ke dealer mobil, untuk membeli sebuah mobil. Mobil itu harganya 500 juta, lalu sampean dengan tanpa pikir panjang menawar 3 mobil dengan harga 1 milyar. Kira-kira apa kata pemilik dealer itu?”

Mulutku benar-benar terkunci. Aku malu sekali. “Mas… swalayan-swalayan itu pemiliknya konglomerat lho. Asal tau saja, orang berduit. Mungkin sampean ngerti pemiliknya.

Naah.. Bisa jadi uang sumbangan yang sampean donasikan lewat struk belanja tadi itu, jika dikumpulkan se-Indonesia, dalam sehari bisa jadi ratusan juta bahkan puluhan milyar rupiah mungkin, betul nggak?

Itu baru dari donasinya saja. Dan pemilik Indomaret sangat mungkin punya beberapa perusahaan besar yang lain, bahkan bisa jadi seorang anggota aktif partai politik juga, hahaha …”.

Rasa malu semakin mengkulminasi diri dan bisa-ku saat itu cuma menundukkan kepala dengan penuh sesal.

Melihat kondisi psikisku yang nampak tertekan. Selanjutnya bapak tua itu semakin bersemangat bicaranya,
“Niat saya jualan menjajakan keripik ini, cuma buat menyambung hidup mas, lalu memondokkan anak bungsu saya di pesantren Hafidz Qur’an Buluagung Sengon Purwosari (Kab. Pasuruan – Jawa Timur) selain itu juga buat bayar bulanan kontrakan rumah.

Baca juga:  Bubur India dan Pergeseran Budaya di Pekodjan Semarang

Jadi anggota partai?? Boro-boro, buat makan sehari-hari saja saya harus mangkal di sini dari jam 5 sore sampai jam 12 malam!! Hidup ini perjuangan yang tanpa henti atau pun putus mas… Yang penting bagi saya adalah dapat rejeki barokah, halal itu sudah cukup sekali dan luar biasa”.

Betapa rasanya tenggorokan seolah dicekik, dan sarat airmata ini hingga tak terbendung di kelopak mataku. Lama mataku tak berkedip memandang wajah bapak tua itu, orang tua ini bukan orang sembarangan atau tak berpendidikan.

Dari garis wajahnya yang keras dan tajam, tapi tetap santun sangat jelas kalau seorang yang berotak. Aku jadi merasa bersalah sekali mendengar celotehan beliau yang tadinya kuanggap sepele.

Kini perasaanku jadi berdosa telah menzalimi orang tua yang berjuang mati-matian melawan kerasnya kehidupan dan masih mau bersusah payah mencari uang dengan mengayuh sepeda tuanya walau di usianya yang telah senja.

Perasaan hati seolah pingin menjerit saja karena jadi teringat almarhum orang tuaku. Dalam hati bergumam, kalau balik ke Surabaya nanti aku berjanji harus mampir lagi khusus menemui beliau.

Akan kuborong beberapa bungkus keripik bapak tua ini untuk oleh-oleh buat teman-teman kerjaku. Tiba-tiba aku sadar, cepat-cepat kuambil dompet dari saku celana, lalu aku minta 8 bungkus keripik singkong dan talasnya.

Dibungkusnya keripik itu kemudian diserahkan padaku, sambil berucap, sementara tangannya menunjuk ke arah jip, “Ini lebih sebungkus, sengaja buat anak-anak sampean dalam mobil itu”.

Kuraih tangan kanannya, dan kugenggamkan tujuh lembar uang seratus ribuan tanda terima kasihku atas segala nasehat yang membuatku tersadar, betapa selama ini kita selalu bangga bila bisa menawar dan berhasil membeli dengan harga murah pada pedagang kecil, padahal kondisi hidup mereka sangat dibawah standar cukup.

Baca juga:  23 Tahun Jadi TKI di Arab Saudi, Muhammad Sirot Sukses Besarkan 4 Anak

“Lho mas … Apa ini? dibuka genggaman tangannya; Uangnya banyak sekali ini!!”.
“Ambillah… itu hak dan untuk bapak, saya ikhlas… Buat tambahan kebutuhan sekolah anak bapak”, aku pun tersenyum.

Kali ini bapak tua itu terdiam membisu, dan terlihat ada bercak bening berkaca-kaca disudut mata tuanya. Sebenarnya masih banyak dialog kami yang lain dan sengaja nggak kutulis disini.

Di perjalanan menuju Malang, kami semobil menikmati keripik bapak tua itu, rasa enaknya ternyata nggak kalah memang dengan kripik kemasan industri besar yang selama ini di jual di supermarket-supermarket.

Alhamdulillah yaa Allah, Engkau telah mempertemukan aku dengan guru baru kehidupan yang hadir dalam perjalanan silaturahmi-ku dari Surabaya ke Malang.

Akhirnya aku menyimpulkan dari pengalaman di atas yang telah ku-kontemplasikan sedemikian rupa, panjang dan dalam tentunya.

Alangkah lebih bijaknya, bahwa kita jangan pernah menawar terlalu berlebihan atau kalau kita punya banyak uang, malah nggak usah menawar sama sekali pada pedagang kecil, sebab konon notabene mereka adalah orang yang kurang mampu secara ekonomi dan finansial.

Untuk makan besok saja harus mati-matian mencari uang hari ini. Bayangkan jika bapak tua tadi adalah saudara kita atau bahkan malah orang tua kita sendiri. Masyaallah..

Untuk itu marilah kita belajar sejak hari ini, benar-benar menghargai jerih payah orang lain seberapa pun yang kita bisa dan mampu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top