Pangeran Cakrabuana adalah nama lain dari Pangeran Walangsungsang memiliki dua adik yaitu Nyi Rara Santang dan Prabu Kian Santang yang merupakan putera dan puteri dari perkawinan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang (Puteri Ki Gede Tapa, Penguasaha Syah Bandar Karawang), dari ketiga tokoh inilah Islam tersebar di tanah Pasundan.
Diketahui bahwa Nyai Subang Larang adalah penganut agama Islam, ia belajar Islam kepada Syekh Hasanudin atau Syekh Quro, seorang Ulama terkemuka dari Negeri Champa putera Syekh Yusuf Siddiq. Syekh Quro sendiri datang ke tatar Sunda dan pertama kali menginjakan kakinya di daerah Karawang bersama dengan rombongan armada Muhammad Cheng Ho. (Asep Achmad Hidayat, 2013: 68.)
Pondok Pesantren yang didirikan oleh Syekh Quro sendiri diyakini sebagai lembaga Pendidikan Islam pertama di tanah sunda, kemudian setelah itu baru berdiri pesantren di Amparan Jati yang dipimpin oleh Syekh Nurul Jati dan dilanjutkan oleh Syekh Datuk Kahfi.
Oleh karena itu, Pangeran Walangsungsang dan Lara Santang memilih untuk menekuni agama yang dianut oleh ibunya yaitu agama Islam, juga memilih untuk meniggalkan istana demi menimba ilmu-ilmu keIslaman. Pencarian ilmu dan pendakian spiritual Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuana ini bermula dari berguru kepada Syekh Nurjati, lalu bersama adiknya Lara Santang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi. (Asep Achmad Hidayat, 2013: 68.)
Selain dari belajar agama Islam, Pangeran Cakrabuana bersama dengan Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukiman baru bagi masyarakat yang beragama Islam di daerah pesisir, pembukaan pemukian tersebut bertepatan pada tanggal 1 Muharram 849 Hijriyyah, yang kemudian pemukiman tersebut diberi nama Cirebon. (Yuyus Suherman, 1995: 14).
Penamaan daerah atau pemukiman baru ini diambil dari istilah bahasa sunda yaitu ci atau cai artinya air dan rebon artinya anak udang/ udang kecil/ hurang. Hal ini dikarenakan para penduduk pemukiman baru tersebut berpropesi sebagai penangkap udang untuk dijadikan sebagai bahan terasi. Kepala pemukian baru masyarakat Islam-sunda tersebut dijabat oleh Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya adalah Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun dibuka, daerah Cirebon tersebut menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa. Disebutkan bahwa pada tahun 1447 M, jumlah penduduk Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, Cina 6 orang dan agama yang dianut semua penduduk pesisir Cirebon adalah Islam. (Asep Achmad Hidayat, 2013: 69.) Dari data ini berkesimpulan bahwa benar daerah pesisir Cirebon pada sekitar abad ke-15 sudah terdapat komunitas masyarakat Islam dengan berbagai bangsa.
Kemudian sebagai seorang sesepuh perkampungan Islam, pangeran Cakrabuana mendirikan sebuah masjid untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam dengan nama Sang Tajug Jalagrahan. Mesjid ini diyakini sebagai masjid pertama di tatar sunda yang didirikan di pesisir laut Cirebon.
Setelah membuka pemukiman dan mendirikan masjid, Pangeran Cakrabuana dan adiknya Lara Santang kemudian pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Lalu ketika di Mekah mereka berdua bertemu dengan Syarif Abdullah seorang Sultan Kota Mesir, karena Syarif Abdullah terpikat dengan kecantikan Lara Santang kemudian dinikahkanlah Rara Santang oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah.
Setelah berhaji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang bergelar Hajjah Syarifah Muda’im. Pangeran Cakbuana bermukin di Mekah selama 3 bulan dan selama itu ia menekuni ilmu tasawuf kepada Haji Bayatullah, selanjutnya ia pergi ke Bagdad untuk memperdalam ilmu fiqih madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Maliki. (Asep Achmad Hidayat, 2013: 69.) Sedangkan adiknya Lara Santang menetap di Mesir bersama dengan suaminya Syarif Abdullah.
Setelah merasa mantap belajar ilmu-ilmu keIslaman baik di Mekah maupun di Bagdad, Pangeran Cakrabuana pulang kembali ke Cirebon, selang beberapa waktu, kakek dari pihak ibunya meninggal dunia yaitu Ki Gedeng Tapa di Mertasinga (Singapura), Pangeran Cakrabuana memilih untuk tidak melanjutkan tahta kakeknya di Singapura, namun membawa harta warisannya ke Cirebon dan digunakan untuk membangun keraton bercorakan Islam di pesisir Cirebon, keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati yang artinya berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar sunda Padjadjaran. Kerajaan Islam tersebut diberi nama oleh Pangeran Cakrabuana dengan nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon.
Selanjutnya mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya yaitu Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi merasa senang, kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik Pangeran Cakrabuana menjadi Raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi juga ia menerima Pratanda atau gelar Keprabuan dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal di Cirebon tersebut. Dari fakta sejarah ini jelas bahwa sikap Prabu Siliwangi tidak anti Islam, ia bersikap bijaksana dan terbuka, dalam bahasa lain disebut dengan rasika dharmika ring pamekul agami Rasul atau adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad SAW. (Asep Achmad Hidayat, 2013: 70.)
Pangeran Cakrabuana yang memilih menekuni dan memperdalam agama Islam sehingga keluar dari istana ayahnhya yaitu Prabu Siliwangi, lalu mendirikan perkampungan Islam di pesisir Cirebon dan setelah berhaji mendirikan Kerajaan Islam Cirebon semata-mata adalah untuk mendakwahkan Islam di tanah Sunda, yang selanjutnya perjuangan dakwah Islam melalui jalur Keraton Cirebon ini nantinya dibantu dan diteruskan oleh putera adiknya Lara Santang yaitu Sayrif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati.