Siapa bilang Indonesia darurat humor? Humor sama sekali belum dilarang di negeri ini. Kecuali humormu menyenggol pemerintah dan penegak hukum, tunggu saja sampai diserang buzzer atau dimintai keterangan pak polisi.
Seperti kejadian sepekan terakhir. Dua humor sama sekali garing bagi buzzer dan pak polisi. Menurut keduanya, joke kritis Bintang Emon perihal putusan hakim terhadap pelaku penyiraman Novel Baswedan dan candaan Gus Dur yang dikutip bapak Ismail dari Maluku, jauh dari kategori lucu. Yah, namanya juga selera bercanda orang berbeda, barangkali tergantung relasi kuasa.
Perundungan kepada Bintang Emon dan pemanggilan Pak Ismail seakan mengamini temuan banyak pihak belakangan ini, perihal susutnya indeks kebebasan berbicara dan berpendapat. Bagaimana mungkin demokratisasi bisa tercapai, tanpa keberimbangan dari kritik. Narasi tunggal seperti itu sangat berbahaya bagi demokrasi. Wacana yang cenderung homogen dan satu arah, bukanlah ciri khas kehidupan demokratis.
Sarana Dialogis (?)
Humor sebagai sarana menyuarakan narasi kritis dan alternatif, sebenarnya bukan barang baru. Kelangkaannya hanya pada siapa sosok yang mampu membungkus candaan dengan anasir mendasar humor yakni pengkhianatan terhadap kelaziman– meminjam Geger Riyanto dalam esainya di indoprogress.com berjudul Humor dan Kebejatan (2019), sekaligus meresonansi makna guyonan tersebut kepada khalayak, sehingga bisa diterima dan diamplifikasi.
Ada dua tokoh di dunia–dari sedikit nama–yang memberikan peluang bagi humor untuk terus menghidupi demokrasi. KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di Indonesia dan Subcomandante Marcos di dataran tinggi Chiapas, Meksiko Tenggara. Secara garis politik, dasar perjuangan mereka relatif sama, yakni menginginkan demokrasi yang sebenar-benarnya, di mana hadirnya pengakuan dan penjaminan dari negara terhadap hak kelompok minoritas.
Kesamaan lainnya juga pada hobi masing-masing pada sepak bola. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah pengamat bola kawakan di masanya dan Marcos diketahui pernah mengajak Inter Milan berlatih tanding dengan pejuang Zapatista. Perbedaannya, ada pada metode gerakan. Jika Gus Dur bermanuver di rimba politik nasional, maka Marcos menyusuri hutan raya Lacandon bersama masyarakat adat.
Lewat kolom di koran nasional pada masa Orde Baru, Gus Dur melayangkan sentilan tajamnya kepada pemerintah berkuasa. Bahkan ketika menjabat sebagai Presiden, Gus Dur tak sungkan mengajak pemimpin dunia larut dalam gelak tawa. Sementara komunike Marcos yang berbalut sarkasme, langsung menghujam jantung kapital, mengejek sirkulasi modal, dan mengagitasi demonstran di berbagai belahan dunia. Juru bicara Zapatista ini kerap melontarkan banyolan yang bikin pembacanya terpingkal-pingkal.
Kemampuan kedua tokoh ini dalam mengelaborasi kritik dalam satu bentuk humor, tak bisa dilepaskan dari riwayat intelektual mereka yang lahap membaca produk kesusasteraan. Bagaimanapun, humor tak akan efektif jika kehilangan aspek emosional dan keterbukaan. Membaca karya sastra tentu saja akan menghaluskan rasa, mempertajam kepekaan, dan membuka cakrawala berpikir.
Gaya humor Gus Dur dan Marcos, pun sangat dekat dengan realitas. Thomas Oelsen dalam artikelnya berjudul The Funny Side of Globalization: Humour and Humanity in Zapatista Framing (2007), menjelaskan bahwa humor merupakan sebuah simbol untuk menyingkat makna. Tapi, itu hanya bisa dilakukan jika humor tersebut memuat informasi yang lekat dengan budaya dan sejarah komunitas tertentu. Atau setidaknya, simbol tersebut akan efisien jika berdasar pada pengalaman dan nilai universal.
Humor Gus Dur tentang Kiai, Polisi, dan Tentara, adalah obyek yang jamak kita jumpai dalam keseharian. Bahkan Gus Dur kerap menertawai dirinya dan komunitas Nahdlatul Ulama, sebagai usaha refleksi dan memahami kedirian. Self effacing ini pun identik dengan kelakar Marcos yang pernah mengandaikan para Zapatista sebagai kumpulan penguin yang berlari tegak agar terhindar dari pembantaian. Kembali mengutip Oelsen, ketidaksempurnaan memang sering kali merupakan dasar untuk humor, sehingga lelucon hadir untuk memainkan peran sentral dalam pemahaman diri.
Kata Gus Dur, protes dengan lelucon tidaklah efektif. Pun sebagaimana ungkap Geger Riyanto yang tak percaya bahwa humor memiliki watak progresif. Tapi setidaknya, humor yang beresonansi tinggi dengan bahasa rakyat, akan membuka peluang bagi terciptanya keterikatan sosial. Layaknya berbaris, menari, atau bernyanyi, tertawa bersama mampu membangkitkan ikatan dan solidaritas.
Selain itu, substansi humor Gus Dur dan Marcos adalah bagian dari cara mengajak penguasa untuk belajar mendengar dan berdiskusi. Sebab, kedua hal ini merupakan senyawa yang membentuk demokrasi. Seperti ungkapan penuh harap Subcomandante Marcos yang sedikit saya preteli, “Tawa itu inklusif. Kita semua mendambakan sebuah dunia bagi semua jenis tawa”.