Sedang Membaca
Gerhana dalam Peradaban, Sains, dan Agama
Andi Evan Nisastra
Penulis Kolom

Mahasiswa Jurusan Ilmu Falak, UIN Walisongo Semarang. Mahasantri di Yayasan Pembinaan Mahasiswa Islam Al-Firdaus Semarang. Sekarang berdomisili di Semarang.

Gerhana dalam Peradaban, Sains, dan Agama

Di dalam peradaban Islam, kita mengenal sebuah ilmu yang mempelajari benda-benda langit, yang juga dikenal dengan ilmu Falak. Ilmu Falak juga bisa disebut Astronomi. Ada yang berpendapat bahwa keduanya memang benar-benar satu hal yang sama. Apa yang dipelajari Falak adalah benda langit begitu pun Astronomi.

Sedangkan kalangan yang lain membantah pendapat ini dengan mengatakan bahwa Astronomi mengkaji antariksa secara luas. Sedangkan Falak terbatas mengkaji benda langit untuk keperluan praktek ibadah umat Islam, atau mudahnya, Falak adalah bagian dari Astronomi yang telah diislamkan. Namun itu dibantah. Karena jika kajian Falak hanya sebatas urusan ibadah akan mengeringkan Falak itu sendiri. Dari situ kita tahu bahwa kita belum selesai mendefinisikan Falak.

Empat hal yang menjadi objek ilmu Falak yaitu: awal bulan, arah kiblat, awal waktu shalat dan gerhana. Kajian gerhana sangat menarik dan terkesan khusus dari segala jenis ibadah yang lain. Karena ia berkaitan langsung dengan fenomena alam yang unik.

Peradaban Sains dan Agama

Fenomena alam terkait benda langit adalah hal yang menarik dalam perkembangan peradaban manusia sejak dahulu kala. Gerhana adalah hal dulu dianggap sakral, dan sering kali dikaitkan dengan kejadian mistis tertentu. Ia adalah kejadian yang disebabkan makhluk raksasa (setiap peradaban menggambarkannya dengan wujud yang berbeda-beda) yang ingin melahap Matahari. Keyakinan itu lahir karena keterbatasan intelektual dan kepercayaan masyarakat lokal saat itu.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sains, fenomena gerhana dipandang sebagai peristiwa alam yang biasa terjadi sebagaimana siang dan malam. Setiap wilayah yang disinggahi gerhana akan berbeda-beda. Karena dipengaruhi letak geografis, posisi dan jarak Matahari dengan wilayah tersebut. Gerhana Matahari terjadi ketika Bulan terletak di antara Bumi dan Matahari dalam satu garis lurus sehingga menutup cahaya matahari. Sedangkan Gerhana Bulan terjadi ketika Bulan memasuki bayangan bumi (Umbra) sehingga ia tidak bisa memantulkan cahaya Matahari sebagaimana biasanya.

Baca juga:  Tahun-Tahun yang Penuh Ketidakpastian dan Apa Tugas Kaum Intelektual

Dalam Islam, fenomena gerhana merupakan tanda-tanda dari kekuasaan dan keagungan Allah SWT yang harus dihayati dengan penuh keimanan. Ini adalah hal dasar aqidah umat Islam yang harus diteguhkan dalam menyikapi gerhana. Selain itu hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda : “Sesungguhnya Matahari dan Bulan adalah dua macam tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan itu bukan karena kematian seseorang atau kelahirannya. Maka jikalau kamu melihatnya, berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah bersedekahlah serta shalatlah”.

Dari hadits di atas kita ketahui bahwa dalam menyikapi gerhana kita semestinya memperkuat keimanan kita dengan banyak berbuat baik dan beribadah. Gerhana juga tidak perlu kita kaitkan dengan adanya kematian, kelahiran, musibah atau apapun itu. Ia adalah fenomena alam yang menunjukkan kebesaran Allah SWT.

Saya pikir setidaknya ada tiga hal yang dibawa Islam dalam menyikapi gerhana berdasarkan hadits yang saya kutip di atas. Pertama, pengagungan kebesaran Allah SWT dalam bentuk perintah bertakbir. Ini kita lakukan dengan mengubah keyakinan kita tentang gerhana agar sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, Hubungan baik dengan Allah dalam perintah berdo’a dan melaksanakan shalat. Ini kita lakukan dengan melaksanakan shalat ketika bertemu gerhana. Ketiga, Hubungan baik antar sesama dalam perintah bersedekah. Ini kita lakukan dengan melakukan tradisi-tradisi masyarakat kita (selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam) dalam menyikapi fenomena gerhana yang terjadi.

Baca juga:  Interkoneksitas Asia dan Diaspora Arab di Tiongkok Era Mao

Pribumisasi Gerhana

Ahmad Izzuddin, dosen saya di perkuliahan terkait fiqih gerhana pernah mengatakan bahwa kajian terkait budaya lokal di Indonesia ketika menemui gerhana adalah hal yang menarik untuk dipelajari dan dibahas. Hal serupa juga ditambahkan oleh Ahmad Syiaul Anam, yang juga guru saya bahwa Nilai-nilai budaya lokal (local wisdom) yang hadir saat gerhana adalah bagian dari belantara ilmu Falak yang seharusnya ditelusuri terutama oleh umat Muslim Indonesia, wabilkhusus yang mempelajari ilmu Falak.

Saat itu saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan Almarhum Gus Dur tentang Pribumisasi Islam. Menurut Gus Dur perlunya ada dinamisasi dan pribumisasi Islam. Dinamisasi mencakup dua proses yaitu: pertama, penggalakan kembali nilai-nilai hidup lama yang positif (yaitu tradisi yang ada); kedua, penggantian nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna.

Sedangkan pribumisasi Islam menurut Gus Dur adalah bentuk perlawanan dari bahaya proses arabisasi yang mengakibatkan tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Pribumisasi Islam di sini bukan untuk menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan- kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu sendiri tidak hilang.

Lantas apa hubungan antara pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur dengan pribumisasi Islam yang saya tulis dalam tulisan ini? Dalam menyikapi gerhana, berbagai suku di berbagai daerah di Indonesia meyakini dan melaksanakan tradisi tertentu dalam rangka menyambut gerhana yang hadir di daerahnya. Dalam bentuk keyakinan, saya setuju bahwa segala bentuk keyakinan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mesti diubah. Sedangkan dalam hal tradisi ini banyak hal yang bisa dipertahankan dan dikembangkan.

Baca juga:  Setengah Abad Definisi Pesantren ala Zamakhsyari Dhofier, Sebuah Refleksi

Ada tradisi masyarakat Bugis Bone yang disebut Makebbu Bedak Picah atau Meramu Bedak. Saat terjadi Gerhana Matahari, perempuan bugis akan meramu bedak yang bermanfaat bagi kecantikan. Uniknya beras yang dipakai adalah beras yang diambil dari rumah tetangga secara diam-diam kurang lebih segenggam tangan, yang diambil langsung dari tempat penyimpanan beras. Ini disertai niat untuk kebaikan dan keharmonisan bukan diniatkan untuk keburukan. Meramu bedak bukanlah hal yang diharamkan. Pengambilan secara diam-diam itu yang mesti diubah.

Islam mengharamkan mencuri. Tetapi Islam menganjurkan bersedekah. Terlebih di saat gerhana. Sebagai muslim bugis, saya tidak ingin melanggar ajaran agama tetapi juga tidak ingin kehilangan tradisi unik bugis menyambut gerhana ini. Saya pikir, jalan tengahnya adalah pengambilan beras bisa saja diubah menjadi sedekah beras antar tetangga dalam rangka menyambut gerhana bulan.

Dengan perkembangan seperti itu saya tetap menjaga tradisi Makebbu Bedak Picah sebagai anggota masyarakat bugis, dan saya pun tidak melanggar ajaran Islam sebagai seorang Muslim. Wallahhu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
4
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top