Apakah beragama itu serius, kaku, pethenthengan? Enggak lah. Begitu kira-kira penyampaian ceramah Gus Baha, yang saya ikuti tempo hari, Rabu, 3 April di Pondok Cabe, Jakarta Selatan.
Sepenuhnya, catatan pendek ini saya dapatkan dari Gus Baha, yang siang itu tampil seperti biasa, kemeha putih, kopiah yang diangkat di atas keningnya, dan berbicara dengan santai, tapi tetap sarat makna dan kaya literatur. Gus Baha mengatakan bahwa nabi dan umat terdahulu itu jelas penuh guyon. Bahkan Allah juga begitu.
“Hubungan Khalik dan makhluk itu mesra. Apalagi antarmakhlu, bernama manusia, antara nabi dan sahabat, santri bersama gurunya, wali bersama muridnya.
Lantas Gus Baha bercerita,
Diceritakan ketika Nabi Musa mengajak 70 santrinya naik gunung, dawuh dari Allah untuk siap menerima wahyu: Taurat. Ketika di atas gunung, Nabi Musa menyendiri lalu setelah beberapa lama beliau mengajak santrinya turun.
“Yuk, sudah dapet wahyunya. Kita turun sekarang,” kurang lebih begitu Nabi Musa mengajak para santrinya, yang 70 orang itu.
Tapi para santri Nabi Musa protes, “Tidak bisa begitu Wahai Nabi. Kita juga harus sama dong, kami ingin menyaksikan Allah dengan mata kepala sendiri, sama seperti Panjengenan, Wahai Nabi…”
Lalu Allah memerintahkan petir menyambar dan mati semua sahabat atau santri Sabi Musa.
Nabi Musa sedikit kaget. tapi lantas berkata kepada Tuhan, “Jangan begitu Allah, aku kan butuh saksi yang menyaksikan bahwa benar aku menerima wahyu dari-Mu. Kalau mati semua kan gak ada saksi? Sekalian saja aku Kau matikan. Hidupkan lagi Ya Allah…”
Dan mereka dihidupkan kembali.
Demikian Gus Baha bercerita. Tak sepenuhnya bisa dipahami, sebab mungkin tak masuk akal kisah tersebut. Tapi itulah kisah Nabi Musa yang diceritakan Gus Baha, kita bisa menikmatinya, dengan santai sebagai santapan rohani. Agama adalam penyajian Gus Baha ringan “di kepala”, bahkan gembira, penuh gelak tawa. Lebih dari itu, semoga saja melahirkan hikmah untuk kita semua.