Sejarah peralihan kekuasaan di masa lalu, kadangkala atau malah seringkali menimbulkan konflik dalam keluarga. Sebagai contoh proses peralihan di zaman Kerajaan Majapahit antara Bre Wirabumi dengan Wikramawardana menghasilkan pertempuran yang membuat Bre Wirabumi kalah, dan menjadikan Wikramawardana sebagai Raja Majapahit.
Jauh sebelum perebutan kekuasaan di masa Majapahit, Mahabrata cerita epos yang terkenal ini juga menceritakan perebutan kekuasaan antara keluarga Pandawa dan Kurawa yang masih bersaudara. Perang yang diceritakan secara menarik dalam Epos Mahabrata, melahirkan beragam persepsi tentang apa itu kekuasaan dan bagaimana mendapatkannya dimasa sekarang.
Kisah dalam Ramayana, juga menceritakan bagaimana tahta yang seharusnya jatuh kepada Sri Rama harus beralih kepada adiknya Bharata, akibat janji yang diucapkan ayahnya pada istrinya yang bernama Kekayi. Peralihan kekuasaan ini menimbulkan banyak kekecewaan diantara keluarga tersebut.
Peralihan kekuasaan di masa modern, dimana saat Kerajaan Mataram Islam harus terpecah menjadi empat kerajaan besar yaitu Yogyakarta dan Pakualaman, Surakarta dan Mangkunegaran tidak bisa lepas dari proses suksesi kepemimpinan di tanah Jawa. Mangkunegaran pada awalnya adalah bagian dari Mataram, berkat perjuangan Raden Mas Sahid (Mangkunegoro I), maka diadakannya perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 berdirilah Kadipaten Mangkunegaran hingga saat ini.
Mangkunegaran IV yang lahir tanggal 13 Maret 1811 , merupakan Adipati yang berkuasa tahun 1853-1881. Ia bukan merupakan keturunan langsung Adipati Mangkunegaran III melainkan sepupu dan menantu Mangkunegara III karena ia menikah dengan R.Ay Dunuk. Namun sebelum menjadi menantu Mangkunegaran III, Mangkunegaran IV yang pada masa itu masih bernama Kanjeng Pangeran Harya (K.P.H) Gondokusumo telah menikah dengan R.Ay Semi, putri K.P.H Suryomentaram.
Pernikahan Mangkunegara IV dengan R.Ay Dunuk melahiran G.P.H Prabukusumo yang diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Prangwedana, namun wafat sebelum naik tahta. Selanjutnya yang diangkat menggantikan kedudukan Pangeran Prangwadana adalah R.M. Sunito yang bergelar K.G.P.A.A Mangkunegaran V.
K.G.P.A.A Mangkunegaran IV menyadari kemungkinan munculnya gejolak dalam suksesi kepemimpinan di Kadipaten Mangkunegaran, karena ia memiliki dua permaisuri yaitu R.Ay Dunuk dan R.Ay Semi maka Mangkunegaran IV menulis Serat Paliatmo yang memiliki arti harfiahnya “ Pesan Untuk Para Putra”.
Serat ini selain didasari kepentingan untuk memuluskan langkah suksesi di Praja Mangkunegaran juga berdasarkan wasiat Mangkunegaran I yang mengatakan “Walaupun tlatah Mangkunegaran hanya tinggal selebar payung, hendaknya para keturunannya bertekad menjaga keutuhan Praja dengan cara Hanebu Sauyun yaitu bersatu teguh bagaikan seikat tebu”.
K.G.P.A.A Mangkunegaran IV dalam Serat Paliatmo, berwasiat bahwa yang menggantikan kedudukannya adalah keturunan R.Ay Dunuk, karena merupakan anak raja. Sedangkan keturunan R.Ay Semi merupakan keturunan prajurit bukan putra seorang raja.
Serat Paliatmo diawali dengan ungkapan “ Dhuh-dhuh adhuh pra Atmaja mami, ingkang mijil saking garwaningwang” artinya “Oh para anak-anaku sekalian, yang telah lahir dari Rahim istriku”. Pembukaan serat ini ditujukan untuk semua keturunan Mangkunegara IV dan ujung ungkapan ini yang menarik adalah “ nggon sun mrihatiken sira” artinya bahwa aku selalu memprihatikan kalian” ini menunjukan sebagai orang tua Mangkunegaran IV tidak bisa lepas dari memikirkan masa depan keturunannya.
Pada bagian lainnya Mangkunegara IV menuliskan yang artinya “Tidak putus-putusannya aku berdoa dalam batin, semoga kalian mendapat kehidupan yang lebih baik, mendapatkan anugerah sebagaimana seperti aku” sebagai orang tua yang dapat dipelajari dari ungkapan ini adalah keseriusan dalam mendoakan yang terbaik bagi putra putrinya. Ajaran ini dalam kehidupan modern masih sangat relevan karena doa orang tua menjadi salah satu “jalan” agar seorang anak mencapai kesuksesan dalam menjalani kehidupan.
Ajaran keharmonisan denga saudara dalam Serat Paliatmo setidaknya dimulai pada bagian ke sembilan dengan ungkapan yang memiliki arti “Mulai hari ini sampai seterusnya, aku menitipkan adik adikmu, Prangwadana dan saudara muda lainnya kepadamu. Jaga dan rawatlah dengan baik-baik, jangan ewuh pakewuh untuk menasehatinya demi kebaikan. Supaya kelak bila telah menggantikan diriku, mereka dapat selamat sentosa memimpin dan mengayomi rakyat dan warga”. Sebagai seorang kakak, dalam serat ini diminta untuk menjaga dan menasehati adik nya yang akan menjadi penguasa. Jangan memiliki rasa sungkan dalam menasehati itu, semuanya ditujukan untuk kebaikan bersama. Dalam keluarga kadangkala muncul perasaan enggan untuk menasehati saudara, apalagi bila kedudukan saudara lebih tinggi dari kedudukan kita. Namun ternyata hal itu tidak sepenuhnya benar, karena dalam kebaikan nasehat yang diberikan tidak melihat setatus sosial individu.
Nasehat menarik lainnya dalam Serat Palitmo tergambar dalam ungkapan “Waleringsun marang sira kaki, away limut padha estokena, kaya kang sun tutur kiye, dhingin ywa karya giyuh, kaping kalih ywa karya isin, katri ywa karya sira, rusuh ing pangrengkuh, ping pat away mrih piala, mring wandengwang ping lima sira ywa kardi, nepsune galihingwang” artinya “ Pesanku kepada kalian anakku, janganlah sekali kali melanggar dan perhatikan dengan baik pesanku di bawah ini. Pertama janganlah membuat suatu kecurangan. Kedua, janganlah membuat perbuatan yang memalukan. Ketiga, janganlah membuat kerusakan. Keempat, janganlah mempunyai niat jahat kepada saudaramu. Kelima, janganlah melakukan perbuatan yang menjadikan hatiku marah. Inti nasehat ini merujuk kepada perilaku yang baik antar saudara yang dapat membuat hati Mangkunegoro IV menjadi marah.
Sebagai sebuah nasehat dalam keluarga, Serat Paliatmo menjadi rujukan bagi Kadipaten Mangkunegaran dalam pelaksanaan sukses pemerintahannya. Boleh jadi nasehat yang ada di dalam Serat Paliatmo inilah yang menjadikan proses suksesi Mangkunegoro X berjalan lancar pada masa sekarang.
Sumber Buku
Mangkunegoro IV. Serat Paliatmo Alih Aksoro Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegoro. Mangkunegro.Solo
W.E. Soetomo Siswokartono.Sri Mangkunegaran IV Sebagai Penguasa dan Pujangga (1853-1881).Aneka Ilmu.Semarang.