Majalah Economist mengurai beberapa hal yang membuat penegakan hukum di Indonesia lemah.
Satu. Subyek pembuat hukumnya tidak produktif. Tahun lalu, DPR mempunyai target membuat 52 undang-undang, namun hanya bisa menggolkan 6 undang-undang. Padahal, beberapa undang-undang diambil dari jaman Belanda, artinya tidak selalu penyusunan tersebut dari nol. Bisa dibilang, anggota DPR kita kerjanya hanya bicara. Sudah benar ucapan Gus Dur, “DPR itu taman kanak-kanak.”
Dua. Indonesia, secara umum, masih belum berpengalaman. Demokrasi kita benar-benar berjalan baru 20 tahun yang lalu. Sebelum reformasi, yang sangat berperan menyusun undang-undang itu eksekutif/pemerintah, bukan legislatif/DPR. Dengan makin berperannya legislatif, maka posisi politikus dalam menyusun undang-undang menjadi lebih besar.
Namun politikus ini pengalaman dalam penyusunan undang-undangnya lemah, terlebih anggota DPR dari pemilihan 2014, lebih dari setengahnya masih baru menjadi anggota DPR.
Tiga. Korupsi. Tidak perlu diperpanjang tentang hal ini: nafsunya tidak ketulungan para penguasa ini.
Empat. Budaya politik yang sangat menghargai konsensus bersama antar berbagai pihak, padahal di sisi lain antar pihak ini sering kali berselisih, bahkan misalnya antara Polisi dan TNI sendiri dalam UU Anti Terorisme.
Lima. Adanya desentralisasi sehingga muncul Peraturan Daerah. Seringkali Peraturan Daerah kontradiktif dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah lainnya, dan ketika terjadi perbedaan, tidak jelas peraturan yang mana yang berlaku, sehingga penegakan hukum makin laksana hutan belantara. Contoh yang dampaknya sangat buruk terhadap lingkungan kita tinggal di negara tercinta ini adalah peraturan terkait pemberian ijin penebangan pohon/hutan.
Upaya penyederhanaan peraturan daerah pun akhirnya gagal dan adanya Pilkada justru menguatkan isu kedaerahan, yang seringkali justru melupakan upaya menguatkan kemampuan penyusunan undang-undang. Ini PR utama di Negara kita, di hari jadi RI yang ke-73 ini. Tanpa penguatan UU, kehidupan bermasyarakat dan keagamaan kita juga akan tidak menentu arah, kesejahteraan dan kebudayaan kita pun akan merosot.