Sedang Membaca
Harapan itu Bernama Iman
Amrullah Hakim
Penulis Kolom

Pekerja Migas/listrik dan penikmat kisah-kisah sufistik, tinggal di Jakarta

Harapan itu Bernama Iman

Harapan itu Bernama Iman 1

“Iman itu walaupun sedikit, membawa harapan. Bahkan jika iman itu hanya 1/4 timbangan atom, jika itu masih ada dalam qalbu kita, maka kita akan selamat dari api neraka.”

Demikian disampaikan Ulil Abshar Abdalla dalam pengajian Ihya edisi 30, Kamis malam, pekan lalu bertepatan dengan 1 Muharram 1439H.

Dalam hatiku, “ini tidak biasa. Ini istimewa.” Kalimat yang diterangkan Mas Ulil, demikian saya memanggilnya, menggetarkan hati saya, rasa gembira, rasa optimis, rasa besar hati, tumbuh seketika, tumbuh bersama. Keislaman saya seperti menyala-nyala, mungkin lebih tepatnya berbinar-binar, mendengar keterangan yang berasal dari kita kitab atau buku keislaman yang konon paling populer setelah Alquran dan hadis.

Keterangan-keterangan selanjutnya pun mendorong saya makin fokus menyimak. Sekilas mengandung “kejenakanaan”, seperti sedang bercanda, karena misalnya Mas Ulil memilih diksi laundry untuk menyatakan kita masuk neraka dulu, sebelum kemudian pindah ke surga. Karena keimanan kita tidak lebih dari biji Sawi, kata dia, maka masuk neraka dahulu. Seperti bercanda ya? Apalagi bagi orang yang rasional, keterangan-keterangan dari kitab Ihya ini mungkin terasa dongeng belaka.

Ajaran Iman yang Masuk Akal

Tapi tidak bagi saya. Ajaran-ajaran tentang iman dari kitab Ihya masuk akal. Ia bukan “bius” yang membuatku tidak sadar. Tetapi ajaran keimanan itu makin meneguhkan hatiku untuk berada dalam kebaikan-kebaikan.

Baca juga:  Perempuan Sufi: Ummu Sa’id

Pak Djohan Effendi disodorkan Mas Ulil sebagai contoh. Pak Djohan Effendi umur 80 tahun terkena kanker otak. Lalu bisa sembuh dari kankernya, karena (menurut penjelasan manusia) Pak Djohan punya harapan hidup terus-menerus naik, tidak putus asa. Kenapa? Karena dia punya harapan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Indonesia.

“Saya harus hidup sampai terjemahan saya selesai.” Begitu harapan Pak Djohan yang sering disampaikan kepada kawan-kawannya. Dan ternyata dia saat ini masih hidup, tinggal di Australia, masih sehat dan terjemahannya selesai.

Itulah iman. Iman menjadi harapan hidup, juga harapan kelak di hari pembalasan. Iman di atas segala-galanya. “Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada seribu barang itu, kecuali manusia yang beriman. Orang yang beriman itu nilainya seribu kali lebih baik orang yang tidak beriman. orang yang arif billah, imannya seribu kali daripada iman orang awam. Kata Imam al-Ghazali merujuk ke Surat Ali Imran ayat 139.”

Iman Harus Diperjuangkan

Hanya saja, iman harus diperjuangkan. Keislaman kita datang atau pemberian Tuhan, tapi setelah datang, semuanya akan berproses. Makanya, kadang-kadang iman itu bertambah, tapi lain waktu berkurang. Itulah yang saya tangkap. Bukankah kita juga sering mendengar ada istilah ujian orang beriman?

“Iman seseorang itu diuji dengan cara macam-macam, setelah orang tersebut masuk Islam dengan membaca syahadat,” kata mas Ulil.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (24): Humor Sudah Jadi Identitas Sufi Sejak al-Murta'isy

Dia mencontohkan, ternyata setelah Nabi wafat, banyak yang keluar dari Islam. Yang keluar dari Islam itu alasannya: saya masuk Islam karena Muhammad. Muhammad tidak ada, ya saya keluar Islam.

ini orang-orang yang ber-Islam, kata Mas Ulil, karena politik. Orang-orang ini yang diperangi oleh Abu Bakar. Sahabat Abu Bakar memerangi mereka karena berbondong-bondong, memisahkan secara bergerombol.

Sayyidina Umar sendiri sempat shock, kok bisa Nabi mati?

Hanya Abu Bakar yang paling kuat imannya. Iman Abu Bakar teruji ketika momen-momen kritis. Abu Bakar pidato singkat sekali, tapi menenangkan semua orang Islam:

“Barangsiapa menyembah Muhammad, hari ini Muhammad mati. Jika Kalian menyembah Allah, Allah itu abadi.”

Pidato Eulogy Saat Wafatnya Nabi

Hal ini pernah juga dituliskan oleh Mas Ulil pada pengajian tafsir karya Muhammad Asad tentang surat Ali Imran ayat 144, berikut cuplikannya:

Seperti dikisahkan Muhammad Asad, ayat 3:144 pernah dikutip sahabat Abu Bakar saat menyampaikan pidato eulogy saat wafatnya Nabi. Saat Nabi wafat, sahabat Umar nyaris tak percaya Nabi bisa mati, dan dia akan siap meninju siapa saja yang bilang bahwa Nabi meninggal.

Melihat Umar dan sahabat-sahabat lain seperti hilang akal karena peristiwa wafatnya Nabi yang shocking, Abu Bakar naik podium dan berpidato. Abu Bakar menyampaikan pidato singkat yang memukau: Barangsiapa menyembah Muhammad, dia sudah mati; barangsiapa menyembah Tuhan, Dia abadi. Lalu Abu Bakar mengutip ayat 3:144 tadi itu.

Baca juga:  Tuna-Makna Derita Manusia

Saat mendengar ayat ini dikutip, Umar berkata bahwa dia seolah-olah baru mendengar ayat itu. Setelah pidato Abu Bakar yang singkat tapi mak jleb itu, Umar baru bisa menerima fakta bahwa Nabi telah meninggal. Dia legawa.

Ilmu yang Mengawal Iman

Selain oleh ujian-ujian pasca berikrar dengan dua kalimat Syahadat, keimanan juga ditentukan oleh al-ilm atau ilmu dalam bahasa kita. Itulah yang saya tangkap dari pengajian Ihya malam itu. Ilmu itu menjadi semacam pengawal keimanan. Ilmu akan menjaga keimanan kita pada jalan yang seharusnya. Iman kita belok kanan, belok kiri, atau lurus, ditentukan oleh ilmu.

Di sisi lain, ilmu juga akan menentukan ekspresi keimanan kita. “Orang yang pengetahuannya banyak, dadanya lapang. Akalnya banyak, tidak mudah marah,” kata Mas Ulil. Dalam pandangan saya, pengetahuan dan akal itu menjaga keimanan kita, agar tetap tenang, optimis, tidak sombong, tidak merasa benar sendiri.

Pada ilmulah, menurut saya, iman kita di dada yang sebiji atau 1/4 dzarrah,  atau 1/10 atau lebih kecil lagi ini, menjadi harapan, yang akan menyelamatkan. Tapi saya juga berdoa semoga iman saya bisa melebihi sebiji dzarrah. Amin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top