Minggu lalu saya diajak bertemu seniman-seniman sukses di Jogja. Saya dijemput di daerah Bantul dan lalu ditraktir makan tongseng di warung yang menurutnya adalah warung tongseng terenak di Asia Tenggara. Setelah selesai ngobrol ngalor-ngidul, tentu saja obrolan tentang politik, saya diajak mengunjungi galeri salah satu seniman ini.
Galeri ini luar biasa asri, luas, megah dan tentu saja artistik. Seniman dan pemilik galeri, seniman asal Minangkabau yang tinggal di Jogja, Jumaldi Alfi, secara selintas bercerita tentang seniman-seniman dari banyak negara yang residensi di galerinya dalam waktu yang tidak singkat. Mereka belajar, bertukar pikiran, berkarya, dan pameran di Sarang, demikian nama galeri seniman kita ini.
Jumaldi Alfi yang belum sepekan tiba dari Melbourne bercerita tentang program seni yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di kota yang pada tahun 2016 jumlah penduduknya “hanya” 4,4 juta jiwa (jumlah penduduk Australia tahun 2018 mencapai 25 juta jiwa).
Kisah Alfi tentang Melbourne menjadi perhatian saya (saya dua kali ke Australia hanya ke Sydney, belum pernah ke Melbourne). Dia mengatakan kota tersebut menyediakan dana hingga jutaan dollar untuk menjadikannya sebagai kota seni. Alfi mengunjungi kota itu memang dalam rangka memenuhi undangan program seni. Dia dan seorang temannya diminta datang untuk berkontribusi terhadap misi kesenian ini.
Lalu saya coba cari tahu di Google mengenai kota Melbourne. Informasi yang langsung menarik perhatian saya adalah bahwa hingga 2017, Melbourne masuk kota paling layak huni di dunia selama tujuh tahun berturut-turut.
Penilaian ini diberikan oleh The Economist Intelligence Unit melalui penerbitan peringkat “Global Liveability” tahunan. Mereka menganalisis 140 kota untuk mengukur kualitas kehidupan perkotaan berdasarkan penilaian stabilitas, kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan dan infrastruktur.
Merujuk ke tautan informasi yang disajikan traveling.bisnis.com, Melbourne adalah kota yang sangat ramah terhadap kaum difabel. “Ramah difabel” ini tidak main-main, karena di dalamnya ada penghormatan tidak main-main, etika yang sungguh-sungguh, fasilitas (pendidikan, kesehatan, raung publik) yang diikhtiarkan, kesempatan yang sama. Semua itu terjadi di sebuah kota yang menjadi bagian dari negeri yang 29% warganya mengaku tidak beragama.
Seorang rekan jurnalis yang tengah berada di kota tersebut guna mengikuti kursus jurnalistik, Dian Lestari, mengutarakan tata kota Melbourne dirancang sangat bersahabat bagi penduduknya, tak terkecuali bagi kaum difabel.
“Di trotoar jalan-jalan Kota Melbourne ada akses yang memudahkan kami untuk membantu sahabat yang difabel dengan kursi rodanya berjalan ke berbagai tempat,” kata Dian pada Bisnis melalui surat elektronik, Minggu (17/5/2015).
Dia mengatakan, tepi trotoar dibuat landai, sehingga orang yang membantu mendorong tidak harus mengangkat kursi roda kala akan berpindah dari satu trotoar ke trotoar lainnya. Begitu pula dengan sarana transportasi, kata dia, juga dirancang dengan nyaman dan aman bagi pengguna kursi roda.
“Di depan pintu depan bus, di bagian lantainya terdapat tambahan lempengan logam yang bisa dilipat dan dibuka sebagai jembatan antara pintu dan trotoar,” katanya.
Saya melihat dukungan terhadap saudara kita yang menyandang difabel atau berkebutuhan khas di kehidupan sehari-hari ini sangatlah penting. Saudara kita yang berkebutuhan khas tentu ingin hidup setara dengan menggunakan fasilitas publik yang sama. Bahkan juga ingin berolahraga dan bertanding sama dengan cara yang sama. Itulah yang kita lihat hari-hari terakhir ini, Asian Para Games 2018.
Seperti yang ditulis oleh Alissa Wahid dalam twitternya 6 hari yang lalu “Sebagai anak dari Gus Dur dan Ibu Sinta Nuriyah, dua orang tua dengan kebutuhan khusus, saya tahu persis bahwa beliau berdua jauh lebih kuat, lebih hebat dari kebanyakan orang. Demikian juga semua atlet Asian Para Games 2018. Demikian juga semua saudara sebangsa dengan kebutuhan khas. Tugas Negara dan masyarakat memastikan seluruh ruang kehidupan tidak mendiskriminasikan saudara/I berkebutuhan khas. Sekolah, perguruan tinggi, akses layanan publik, dll. Kalau difasilitasi saudara/i itu sinarnya gemerlap. “
Momen yang sangat bagus yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa kita saat ini, sebagai tuan rumah Asian Para Games 2018, bisa menjadi pijakan utama untuk memulai membenahi kota-kota kita, sehingga kota-kota kita bisa mulai untuk memiliki liveability index yang semakin tinggi sebagai tanda bahwa kota-kota di Indonesia menjadi kota yang nyaman di huni, kota yang berseni dan budaya tinggi, kota yang aman, dengan fasilitas umum yang memadai dan setara bagi seluruh rakyatnya. Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Terakhir, izinkan saya memuat nama kota yang ramah difabel pada 2018, posisi Melbourne digeser oleh kota Wina – Austria. 1. Vienna, Austria 2. Melbourne, Australia 3. Osaka, Japan 4. Calgary, Canada 5. Sydney, Australia 6. Vancouver, Canada 7. Tokyo, Japan 7. Toronto, Canada 9. Copenhagen, Denmark 10. Adelaide, Australia.
Di mana posisi kota-kota kita, kota-kota berpenduduk muslim? Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Jogja, Malang, Makassar, Banjarmasin, Mataram, Palangkaraya?