Akhmad Mustaqim
Penulis Kolom

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unisma.

Mengenal Mohammad Tabrani Soerjowitjirto, Pencetus Kelahiran Bahasa Indonesia

220px Mohammad Tabrani

-Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

-Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

-Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

(Teks Sumpah Pemuda).

Jauh sebelum dikenal dengan Hari Sumpah Pemuda, yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928, pada tahun 1926 ada sosok pejuang yang ingin negara Indonesia mempunyai bahasa pemersatu. Tokoh itu bernama Mohammad Tabrani Soerjowitjirto (selanjutnya disingkat M. Tabrani).

Sejak awal, ia sudah sangat lantang kalau tanah air kita bernama “Indonesia”, maka sudah semestinya kita punya bahasa pemersatu. Bukan lagi menggunakan bahasa Melayu. Suara tersebut selalu dikenang dalam sejarah Indonesia, khususnya Muhammad Yamin—yang masa itu masih ingin menggunakan bahasa Melayu.

Namun, usaha M. Tabrani tidaklah mudah, penuh dengan lika liku yang berdarah-darah. Yang pada akhirnya perjuangan M. Tabrani itu membuahkan hasil pada 28 Oktober 1928, dan dikenal juga sebagai hari lahirnya bahasa Indonesia, serta dikenang sebagai bulan bahasa. Ya, bulan ini adalah bulan Bahasa Indonesia.

Pejuang M. Tabrani tentu berbeda dengan pejuang lainnya. Pejuang bahasa memiliki peran penting, sehingga perlu diperhitungkan, karena perjuangan yang dilakukan olehnya sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh RA. Kartini. Tidak ikut berperang tapi berkontribusi atas pemikirannya, dan digunakan hingga sekarang.

Sosok penggagas tentu memiliki sepak terjang hidup yang berbeda. Pejuang akan senantiasa berusaha mendahului kepentingan orang lain: tanah air. Pejuang akan terus tabah dan tangguh. Tabah menghadapi derita, tangguh menahan dan terus berjuang hingga tercapai harapan sesuai tujuan. Mengutip puisi Jokpin (Joko Pinurbo) “untuk menjadi bintang harus tahan banting,” kurang lebih begitu kutipan puisinya.

Baca juga:  Wawancara Khusus Prof. Azyumardi Azra dengan Prof. Nurcholis Madjid 37 Silam: Tentang Demokrasi, Asas Tunggal, Pembaharuan dan Sekulerisasi (3)

Bahasa Ibu di Tubuh NKRI

Negara Indonesia adalah negara besar, dari Sabang-Merauke masyarakatnya sudah memiliki bahasa ibu, bahasa daerahnya masing-masing. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan penelitian, kalau Negara Indonesia memiliki kurang lebih dari 718 bahasa yang masih aktif.  Maka dengan adanya bahasa pemersatu diharapkan bisa menjadi salah satu alat berkomunikasi yang baik dan benar.

Adapun usaha tersebut sebenarnya menjadi salah satu cara bagaimana masyarakat bisa menggunakan bahasa dengan mudah. Mudah yang dimaksud, ketika orang Papua, Madura, Jawa, Aceh, Maluku, dan wilayah-wilayah yang lain, bersatu. Saat bertemu di suatu tempat tertentu alangkah baiknya berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

Jika tidak ada bahasa pemersatu, seperti apa jadinya? Menurut penulis tidak akan ada harmonisasi antara wilayah satu dengan lainnya. Bahkan ber-NKRI pun akan sulit. Salah satu tokoh ahli bahasa serta dikenal dengan bapak linguistik, Ferdinand D Saussure, menuliskan; Bahwa dalam sistem bahasa itu bersifat arbitrer—yang sewenang-wenangan. Namun, tetap ada aturan–batasan mengenai kata yang maknanya sama dan bisa diterima secara semantik, maupun secara kontekstual, dikenal dalam disiplin ilmu bahasa pragmatik.

Kita semua memiliki bahasa ibu, bahasa kedua, dan bahkan bahasa ketiga. Tentu, ini menjadi masalah. Ini salah satu tugas kita semua untuk saling kolaboratif menyuarakan—bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, bahasa ibu tetap dimiliki, dan bahasa asing dikuasai, maka dengan bijaksana gunakan bahasa sesuai konteksnya.

Baca juga:  Kiai Afif

Teringat dengan film Habibie dan Ainun (2012). Ada kutipan mengenai pentingnya menguasai bahasa. Kurang lebih seperti ini kutipannya: “kalau ingin terbang jauh kuasai bahasa, dengan itu kita bisa terbang jauh.” Teriang-ngiang di kepala penulis untuk bisa lebih semangat mendalami bahasa. Karena begitu pentingnya penguasaan ilmu bahasa. Ya, minimal menguasai tiga bahasa: bahasa ibu, bahasa kedua, dan bahasa ketiga.

Media, Bahasa, dan Perjuangan Bahasa

Awal perjuangannya, M. Tabrani melakukan perlawanan menggunakan media. Dengan media, Ia melemparkan pandangan-pandangan mengenai perlawanan-nya. Aksi tersebut dapat dikatakan sebuah perlawanan dengan tulisan untuk kolonial Belanda. Untuk melakukan hal tersebut perlu memiliki kecakapan ilmu linguistik: tulisan maupun lisan.

Mengingat perjuangan yang pernah dilakukan oleh Marcos Escobar dalam buku berjudul Kata adalah Senjata (2005). Buku tersebut  terdapat gerakan perlawanan dengan menulis, bahwa tulisan itu sangat berpengaruh di dalam perubahan masyarakat untuk membentuk kesadaran secara individu maupun kolektif. Tentu dengan memberi sajian bacaan karena membaca akan membuka hati, serta membentuk kesadaran: kritis dan solutif.

Pria kelahiran Pamekasan itu, dikenal dengan tokoh pejuang bahasa. Dipandang dari pekerjaannya sebagai wartawan di Hindia Baru, kemudian menjadi pemimpin majalah “Revue Politik Jakarta,” dari tahun 1930 hingga 1932, mundur sedikit ke masa sekolah menjadi pemimpin “Sekolah Kita” di Pamekasan, dari tahun 1932-1936. Latar belakang seorang wartawan merupakan salah satu pejuang bahasa. Sebab kecakapan wartawan bisa menulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Baca juga:  Soetomo dan Sejarah “Berasap”

Peran wartawan sebenarnya membawa mandat menyebarkan bahasa yang baik dan benar. Sebab wartawan melakukan sesuatu profesionalitas menggunakan keterampilan berbahasa yang aktif; lisan dan tulisan, atau berbicara dan menulis. Wartawan profesional akan menulis dan berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena selain memberitakan sebenarnya secara tidak langsung mendidik dengan bahasa.

Pada tahun 1936, Ia melakukan perlawanan dengan tulisan melalui surat kabar. Salah satu yang dilakukannya adalah memperjuangkan petisi Sutarjo, yang berisi tuntutan kepada pemerintah Belanda agar Indonesia diberi kesempatan membentuk parlemen tersendiri. Cara tersebut merupakan bentuk perlawanan menggunakan bahasa, yang menyasar satu per-satu psikologi masyarakat untuk sadar, lalu melakukan perlawanan akan hak-hak kemanusiaan.

Berbeda dengan para pejuang terdahulu yang turun langsung berperang adu tembak dan tombak melawan kolonial Belanda. Namun usaha M. Tabrani patut mendapatkan apresiasi, terutama bagi pemegang kebijakan. Sangat patut jika M. Tabrani dinobatkan sebagai pahlawan nasional, karenanya hingga kini bahasa Indonesia masih eksis dan menjadi bahasa nasional, bahasa pemersatu kita.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top