Surat ini kerap kali kita baca berulang-ulang, baik dalam shalat, tahlilan, atau bahkan saat kita merinding dan takut setan. Sehingga tak heran bila ia disebut dengan “sab’u al-matsani“, tujuh ayat yang dibaca berulang kali. Tafsiran dari surat ini pun kerap kali kita pelajari, baik melalui guru secara langsung, ataupun dalam sebuah podcast yang kita dengar. Karena demikian maka saya tidak perlu menulis lagi tentang tafsir dari ayat ini.
Saya hanya hendak membuka sebuah diskusi lintas mazhab mengenai ayat pertama surat Al-Fatihah yang mungkin saja belum pembaca ketahui. Ayat tersebut adalah basmalah. Apa hukum yang dimunculkan dari ayat tersebut?
Sedikitnya yang saya ketahui ada dua hukum yang dimunculkan dari ayat nomer satu surat Al-Fatihah ini, yang akan disajikan dalam bentuk pertanyaan berikut ini. Apakah basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah? Apa hukum membaca basmalah dalam salat?
Hukum Pertama
Kita mulai dengan pertanyaan pertama, apakah basmalah termasuk ayat Fatihah? Menurut mazhab Syafi’i, ia termasuk bagian dari surat Fatihah dengan dalil-dalil sebagai berikut. Pertama, hadits riwayat Ibnu Abbas yang mengungkapkan bahwa Rasulullah memulai bacaan dalam salat dengan basmalah. Kedua, hadits riwayat Anas RA tatkala beliau ditanya tentang, apa yang dibaca Rasul dalam salat? Sahabat Anas lalu menjelaskan bahwa bacaan beliau panjang. Beliau kemudian membaca surat Al-Fatihah yang diawali dengan bacaan basmalah.
Dengan dua hadits diatas serta beberapa hadist yang lain mazhab Syafii berkesimpulan bahwa basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah.
Pendapat kedua disampaikan oleh mazhab Maliki, yang menyatakan bahwa basmalah bukan bagian dari ayatnya Al-Fatihah, juga bukan bagian dari surat manapun dalam Al-Quran (mengecualikan ayat dalam surat An-Naml). Lalu apa fungsi basmalah dalam Al-Qur’an jika ia bukan termasuk sebuah ayat? Fungsinya adalah sebagai tabarruk (untuk mengharap barakah). Pandangan beliau ini tentunya dilandasi dengan beberapa argumen yang akan kita urai bersama berikut ini.
Pertama, hadits riwayat Aisyah yang berkomentar bahwa, Rasul memulai salat dengan takbir dan memulai bacaannya dengan hamdalah. Kedua, Hadis riwayat shahabat Anas yang termaktub dalam kitab shahihaini (Bukhari dan Muslim), “saya (Sahabat Anas) pernah melakukan salat dibelakang Rasul, Abi Bakar, Umar, dan Usman. Mereka semua memulai bacaan salat dengan hamdalah” dalam riwayat Muslim “tidak membaca basmalah, baik diawal bacaan ataupun di akhir”. Dari dua hadits ini dan beberapa hadits lain, mazhab Maliki berpendapat bahwa basmalah bukanlah bagian dari ayatnya Fatihah sekaligus Al-Quran.
Pendapat ketiga diutarakan oleh mazhab Hanafi, yang menyatakan bahwa basmalah merupakan bagian ayat dari Al-Quran tetapi bukan bagian dari Al-Fatihah. Argumen yang melandasi pendapat beliau saya kira cukup unik.
Menurut beliau, penulisan basmalah dalam mushaf Al-Quran menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari Al-Quran tetapi sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia adalah ayat dari salah satu surat dalam al-Quran, ditambah lagi hadits yang memberi indikator bahwa ia tidak perlu dibaca keras bersamaan dengan Fatihah saat salat menunjukkan bahwa ia bukan bagian dari Fatihah. Dengan argumen yang sedemikian rumit dan unik seperti tadi, beliau berkesimpulan bahwa, basmalah merupakan ayat Al-Quran (selain basmalah dalam surat An-Naml) yang diturunkan sebagai pembatas antara satu surat dengan surat yang lain. Pendapat mazhab mereka juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, “kami tidak bisa mengetahui selesainya sebuah surat kecuali setelah diturunkannya basmalah”.
Setelah selesai kita uraikan semua pendapat serta argumennya maka hendaknya kita membuat sebuah kesimpulan dan tarjih (pengunggulan). Dari ketiga pendapat diatas agaknya yang paling moderat adalah pendapatnya Abu Hanifah. Sebab disaat As-Syafii mengklaim bahwa ia adalah bagian dari Al-Fatihah, dan Imam Malik menyatakan bahwa basmalah bukan bagian dari Al-Quran sama sekali, Abu Hanifah justru memilih jalur yang aman dengan mengatakan bahwa ia memang bukan bagian dari Fatihah, namun ia tetap bagian dari Al-Quran.
Hukum Kedua
Setelah kita menyelesaikan masalah pertama, kini kita memasuki problem kedua. Apa hukum membaca basmalah dalam salat? Problem ini saya kira juga sering disentil dalam beberapa kalangan, jadi saya kira sangat penting untuk membahasnya supaya menambah wawasan kita agar bisa bersikap lebih bijak dalam menghadapi perbedaan.
Para ahli Fikih mengalami perdebatan yang cukup sengit dalam satu masalah ini. Karena memang hadist dan dalil yang mereka terima beragam. Jadi kita tak perlu memperumit perbedaan tersebut dengan saling menaruh klaim “keliru” terhadap mereka yang tidak sependapat dengan mazhab yang kita ikuti. Sebab sekalipun kita harus menganggap bahwa pendapat kitalah yang paling benar, tetapi kita tetap tidak diperkenankan untuk menyalahkan pihak lain, karena yang lain juga memiliki kanz untuk benar.
Kembali pada permasalahan hukum membaca basmalah dalam salat. Jawaban para Imam mazhab mengenai masalah ini tentunya juga dilandasi oleh jawaban mereka akan masalah sebelum ini. Jadi kalian perlu scroll. Langsung saja kita mulai dari pendapatnya mazhab Malik yang menyatakan, bahwa basmalah dalam al-Fatihah tidak diperkenankan untuk dibaca, baik salat sirriyah ataupun jahriyyah, karena ia bukan bagian dari Fatihah. Kendati demikian basmalah masih diperbolehkan dibaca pada salat sunah menurut mereka.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi hukum membaca basmalah, baik saat bersamaan dengan Fatihah atau surat lain, hukumnya hasan/sunah. Namun harus dibaca secara sirri, pelan-pelan. Pendapat beliau sama dengan yang diutarakan oleh mazhab Hanbali yang menyatakan bahwa basmalah sunah dibaca namun secara sirri saja.
Pendapat terakhir adalah pendapat yang disampaikan Imam Syafii. Beliau berkomentar, bahwa membaca basmalah pada permulaan Fatihah dalam salat hukumnya wajib, karena ia termasuk bagian ayatnya. Dan dibaca secara jahr, keras, ketika salat jahriyyah (salat yang bacaannya keras; subuh, maghrib, isya) dan secara sirri, pelan, dalam salat sirriyah (salat yang bacaannya pelan; dhuhur, ashar).
Pemaparan diatas saya kira cukup jelas untuk memahami sebuah hukum yang dimunculkan dari surat Al-Fatihah, khususnya pada ayat pertama, bagi kita mazhab syafii yang menganggapnya bagian dari Fatihah.
Sikap para ulama dalam mengijtihadi sebuah masalah tentu berbeda-beda dan semuanya memiliki kemungkinan benar. Karena mereka masih dalam taraf menduga-duga (dzon) terhadap sebuah dalil. Yang bisa kita lakukan sebagai muqalid (pengikut) seorang imam mazhab hanyalah mengikutinya dengan tetap tidak menyalahkan mazhab diluar kita.