“Orang Amerika dikenal sebagai konsumen besar—menggunakan, menyalahgunakan, lalu membuang tanpa berpikir untuk mendaur ulang atau menggunakan kembali. Namun, thrift store memberikan alternatif yang bermakna. Dengan berbelanja atau mendonasikan barang di sini, kita merasa seperti melakukan sesuatu yang baik: tidak membuang barang begitu saja, tetapi memberikannya kepada orang yang mungkin sangat membutuhkan dan tidak mampu membeli barang baru.” Nazhah Khawaja, warga Amerika keturunan Pakistan, tinggal di Chicago.
Pertama kali menginjakkan kaki di Chicago, Amerika Serikat, cuaca terasa sangat dingin bagiku yang lama tinggal di Tangerang Selatan dan Jakarta. Hari demi hari, badan belum juga menyesuaikan dengan cuaca di ‘Kota Berangin’. Tampaknya temperatur kian hari makin dingin.
Dalam kondisi cuaca yang cukup dingin, tentu saja jaket tebal merupakan pakaian yang sangat dibutuhkan untuk mobilisasi di luar apartemen. Saat itu, aku belum memiliki jaket yang cukup tebal, terpikir untuk membeli di toko terdekat, namun tetanggaku menyarankanku untuk membelinya di Thrift Store, toko yang menjual barang-barang second-hand, alias bekas pakai.
Terhitung 3 kali aku mengunjungi thrift store selama di Chicago. Pertama, thrift store yang dibuka oleh University Church Chicago yang lokasinya tidak jauh dari tempatku tinggal. Baju dewasa diberi harga $1 alias 16 ribu rupiah, baju anak-anak seharga 25 atau 50 cent, dan jaket seharga $5 saja. Murah meriah!
Kendati sangat murah, tentu saja barang second-hand memiliki kekurangan seperti resleting rusak, kancing baju hilang, dan lain sebagainya. Di sisi lain, thrift store yang digelar University Church tidak memiliki banyak jenis pakaian karena jangkauannya donaturnya yang tidak luas.
Kedua, Goodwill Store & Donation Center yang berlokasi di 9321 S Western Ave, Chicago, IL 60643. Toko ini menyediakan berbagai pilihan barang bekas berkualitas, mulai dari pakaian hingga peralatan rumah tangga, serta beragam kebutuhan lainnya.
Ketiga, Village Discount Outlet yang beralamat di 2043 W Roscoe St, Chicago, IL 60618. Toko ini menawarkan berbagai barang second-hand dengan kualitas dan harga yang bervariasi. Harga barang ditentukan oleh kualitasnya—semakin tinggi kualitas barang, semakin tinggi pula harganya, meskipun tetap jauh lebih murah dibandingkan harga barang baru.
Budaya thrift store atau belanja barang bekas telah menjadi bagian penting dari gaya hidup masyarakat Amerika. Fenomena ini tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan ekonomi, tetapi juga mencerminkan tren sosial, nilai budaya, dan bahkan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan.
Thrift store di Amerika menarik perhatian banyak orang tidak hanya karena alasan ekonomis tetapi juga karena daya tarik budaya. Bagi sebagian masyarakat, berbelanja di toko barang bekas adalah cara untuk menemukan barang-barang unik dan berkualitas dengan harga terjangkau.
Di sisi lain, budaya berbelanja barang bekas di thrift store telah menjadi simbol perlawanan terhadap gaya hidup konsumtif dan penuh kemewahan. Berdasarkan obrolanku pada 17/11/2024 dengan Nazhah Khawaja, seorang warga Amerika keturunan Pakistan yang tinggal di Chicago, masyarakat Amerika cenderung memiliki pola hidup yang konsumtif tanpa banyak mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Namun, thrift store memberikan alternatif untuk mengurangi kebiasaan tersebut dengan mendaur ulang barang-barang yang masih layak guna.
“Ada hal lain yang ingin saya sampaikan, di beberapa tempat seperti New York, belanja di toko barang bekas sangat populer. Di sana, belanja barang bekas bukan hanya untuk orang yang kekurangan, tetapi sudah menjadi bagian dari budaya. Thrifting di New York sering dilakukan untuk mencari barang-barang vintage yang unik dan bisa menjadi gaya fashion yang khas,” ujar Nazhah.
“Bagaimana pandangan warga Amerika terhadap barang bekas dibandingkan dengan barang baru?” tanyaku.
“Secara umum, barang bekas sering dianggap kurang baik atau tidak membanggakan. Namun, ada juga yang merasa bangga dan dengan senang hati menceritakan bahwa mereka menemukan barang tertentu di toko barang bekas. Meski begitu, banyak orang yang masih enggan mengungkapkan bahwa mereka berbelanja di sana,” jawab penulis buku berjudul “The Other Side of Life” itu.
“Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi muda seperti Gen Z lebih menerima budaya belanja barang bekas. Mereka bahkan merasa bangga dan tidak ada rasa malu dengan pilihan tersebut. Tampaknya, budaya yang cenderung menyalahkan atau mempermalukan pembelian barang bekas sudah mulai menghilang,” lanjut Nazhah.
Menurut penelitian Shelly Steward (2017) yang diunggah pada Journal of Consumer Culture dengan judul “What does that shirt mean to you? Thriftstore consumption as cultural capital”, ada dua kelompok utama konsumen thrift store di Amerika: Thrift-seekers dan Creativists.
Kedua kelompok ini memiliki motivasi dan pendekatan yang berbeda terhadap belanja di thrift store. Thrift-seekers adalah kelompok konsumen yang mencari barang murah dan berkualitas sebagai solusi ekonomis. Mereka memandang belanja di thrift store sebagai kesenangan, di mana mereka bersaing untuk menemukan penawaran terbaik.
Dalam penelitiannya, Steward mewawancarai Katie, seorang pembeli di thrift store di Portland, kota terbesar di negara bagian Oregon, Amerika Serikat. Katie, yang bekerja sebagai operator telepon, berkata, “Belanja di sini seperti permainan yang menyenangkan, di mana kita berburu barang terbaik. Ada orang-orang di sini yang mungkin tidak terlalu peduli dengan harga, tapi kehadiran mereka membuat pengalaman ini jadi lebih seru.” (hlm. 10)
Narasi ini mencerminkan bahwa belanja bagi thrift-seekers adalah cara untuk mengatasi keterbatasan ekonomi mereka. Bagi mereka, keberhasilan dalam menemukan barang murah yang berkualitas memberikan rasa kontrol atas pilihan konsumsi mereka.
Sebaliknya, Creativists adalah kelompok yang memandang thrift store sebagai tempat untuk mengekspresikan kreativitas dan menunjukkan keunikan diri. Mereka memilih thrift store untuk menghindari budaya konsumsi berlebihan, sebagaimana jika berbelanja di mall atau butik.
Dalam artikelnya (hlm. 9), Steward mewawancarai Mary, seorang insinyur perangkat lunak, yang berbagi pengalamannya: “Awalnya saya berbelanja di sini untuk menghindari toko-toko besar. Tapi lama-kelamaan, ini menjadi tentang kreativitas yang bisa saya ekspresikan di tempat ini.” Bagi Creativists, nilai sebuah barang tidak bergantung pada harganya, melainkan pada cerita dan kreativitas yang mereka temukan selama proses pencariannya.
Industri fast fashion dikenal memiliki dampak negatif yang besar terhadap lingkungan. Produksi massal pakaian menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar, penggunaan bahan kimia berbahaya, dan sering kali melibatkan eksploitasi tenaga kerja murah.
Menurut Nazhah Khawaja, thrift store membantu mengurangi dampak ini dengan memberi kehidupan kedua pada barang-barang yang mungkin akan dibuang. “Pakaian bekas tidak dibuang begitu saja, tetapi digunakan kembali oleh orang lain,” ujarnya.
Namun, Nazhah juga mencatat bahwa thrift store bukanlah solusi akhir. “Produksi dan konsumsi besar-besaran tetap menjadi tantangan utama. Industri fast fashion terus memproduksi pakaian murah dengan dampak lingkungan yang besar,” tambahnya.
Penelitian Sharon Parsons dan Robert Douglas (2023) yang diterbitkan dalam Marketing Management Journal dengan judul “Resale Stores in the United States: Do They Communicate an Earth-Friendly Message?” mengungkapkan bahwa hanya sedikit thrift store yang secara jelas mempromosikan kontribusi mereka terhadap lingkungan di situs web mereka.
Sebagian besar toko lebih menonjolkan manfaat ekonomis, seperti pengurangan pajak untuk donatur atau layanan pengambilan barang. Namun, toko-toko yang terafiliasi dengan organisasi nasional lebih sering menekankan pesan ramah lingkungan dalam strategi pemasaran mereka (hlm. 1).
Di Indonesia sendiri, thrift store dapat ditemukan dengan nama lokasi seperti pasar loak atau toko barang bekas. Terdapat bebera[a perbedaan model thrift store antara di Amerika dan Indonesia. Di Amerika, thrift store sering dikelola oleh organisasi besar seperti Goodwill dan Salvation Army, yang memiliki jaringan ribuan toko di seluruh negeri.
Pengelolaan ini biasanya bersifat profesional, dengan sistem donasi yang terorganisasi dan fokus pada misi sosial, seperti menyediakan pelatihan kerja dan membantu komunitas lokal. Sebaliknya, di Indonesia, thrift store lebih sering berupa pasar tradisional atau toko kecil yang dikelola secara mandiri, baik offline maupun online.
Pasar-pasar seperti Pasar Senen di Jakarta atau Gedebage di Bandung menjadi pusat thrift store terbesar, meskipun banyak juga yang berkembang melalui platform online seperti Instagram dan Shopee.
Perbedaan lainnya terletak pada ragam barang yang dijual. Di Amerika, thrift store menawarkan beragam produk, mulai dari pakaian, aksesori, peralatan rumah tangga, hingga barang elektronik dan seni dekorasi vintage.
Di Indonesia, barang yang dijual di thrift store lebih fokus pada pakaian dan aksesori, seperti jaket, kemeja flanel, jeans, dan sneakers. Barang rumah tangga atau dekorasi lebih sering ditemukan di pasar loak tradisional daripada thrift store yang modern.
Jumlah thrift store di Amerika juga jauh lebih banyak dibandingkan di Indonesia, berkat budaya donasi yang sudah lama berkembang dan dukungan organisasi nirlaba. Ribuan thrift store di Amerika melayani komunitas di berbagai daerah, termasuk di kawasan pedesaan.
Di Indonesia, thrift store lebih terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Namun, dengan meningkatnya popularitas thrifting di kalangan anak muda, terutama melalui platform online, tampaknya thrift store di Indonesia terus berkembang sebagai bagian dari tren gaya hidup yang digemari.
Budaya membeli barang bekas memang bagus, namun perlu diingat bahwa dalam konteks Indonesia, impor pakaian bekas melalui thrift store memiliki beberapa dampak negatif yang signifikan terhadap industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
Salah satu dampak utamanya adalah penurunan kinerja industri TPT dalam negeri. Masuknya pakaian bekas impor yang dijual dengan harga murah menyebabkan persaingan tidak sehat bagi produsen lokal, sehingga mengancam keberlangsungan usaha mereka.
Selain itu, maraknya impor pakaian bekas juga berpotensi menurunkan permintaan terhadap produk tekstil lokal, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan penurunan produksi dan pemutusan hubungan kerja di sektor ini.
Budaya berbelanja barang bekas atau thrifting tentu dapat menjadi pilihan yang baik, terutama dalam mendukung pelestarian lingkungan dan pengurangan limbah. Namun, budaya yang baik ini harus dilakukan dengan prosedur yang benar, termasuk mematuhi aturan impor dan melindungi kepentingan industri lokal.
Sambil menikmati tren thrifting, jangan lupa untuk terus mencintai dan mendukung produk-produk dalam negeri. Pilihan kita sebagai konsumen tidak hanya memengaruhi gaya hidup, tetapi juga memberikan dampak besar pada keberlangsungan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal.