Setelah peristiwa 9/11, penggunaan hijab bagi wanita Muslim di Amerika Serikat bukanlah sebuah kemudahan, melainkan menjadi simbol yang membawa tantangan dan kesulitan tersendiri. Tragedi pengeboman World Trade Center di hari tersebut memicu gelombang diskriminasi dan stereotip terhadap Muslim.
Akibatnya, banyak Muslim Amerika yang mengenakan hijab terpaksa menghadapi stigma sosial, isolasi, dan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja, sekolah, maupun dalam interaksi sosial mereka.
Dalam bukunya yang berjudul Islam in America, Craig Considine (2019) menggambarkan bagaimana hijab menjadi simbol yang kontroversial dan diperdebatkan dalam konteks hubungan antara dunia Kristen Barat dan Islam.
Banyak warga Amerika yang melihat hijab sebagai simbol yang menantang norma-norma sosial sekuler yang mendominasi masyarakat Amerika. Mereka memandang hijab sebagai tanda ketidaksetaraan gender, dengan asumsi bahwa wanita yang mengenakannya diperlakukan lebih rendah dibandingkan pria.
Persepsi ini sebagian besar dipengaruhi oleh pemberitaan media AS yang sering menyoroti penindasan terhadap wanita di negara-negara Muslim, seperti Arab Saudi dan Pakistan, yang memperkuat narasi negatif tentang wanita yang mengenakan hijab (hlm. 74-76).
Namun di sisi lain, Considine menjelaskan bahwa persoalan hijab di kalangan wanita Muslim di Amerika merupakan hal yang kompleks. Banyak wanita Muslim muda mengenakan hijab sebagai cara untuk menegaskan identitas budaya mereka dan menciptakan ruang otonom dalam masyarakat yang serba individualistis. Ketika salah satu wanita yang berhijab bertemu dengan Muslimah lain yang juga mengenakan hijab, hal itu secara alami akan menciptakan kedekatan dan keakraban di antara mereka.
Masih menurut Considine, sebagai simbol publik, hijab memungkinkan Muslim Amerika untuk menegaskan perbedaan budaya, serta menentang dominasi nilai-nilai sekuler yang ada di Amerika Serikat. Dalam hal ini, hijab menjadi bagian dari proses konstruksi identitas yang lebih besar, di mana wanita Muslim berusaha menavigasi antara identitas ganda mereka sebagai orang Amerika dan Muslim (Considine, 2019: 74-76).
Yuting Wang, Asisten Profesor Sosiologi di Universitas Amerika Sharjah di UAE dalam bukunya “Between Islam and the American Dream” menyebutkan, dalam konteks kehidupan Muslim di Amerika, gaya berpakaian sering kali mencerminkan interaksi antara identitas agama dan tantangan adaptasi dalam budaya yang dominan. Salah satu contoh yang menarik dapat ditemukan dalam kisah Asifa, seorang gadis Muslim yang datang ke Amerika Serikat pada usia muda.
Mengingat latar belakang keluarganya yang berasal dari Palestina, Asifa dibesarkan dengan nilai-nilai Islam yang kuat, meskipun tumbuh di lingkungan yang sangat berbeda. Di sekolah, Asifa adalah satu-satunya gadis yang ibunya mengenakan hijab, di mana pakaian yang dikenakannya spontan menandai perbedaan antara dirinya dan teman-temannya yang non-Muslim.
Seiring bertambahnya usia, tekanan sosial mulai meningkat, terutama saat Asifa memasuki masa remaja. Keputusan untuk mengenakan hijab dan pakaian longgar menjadi tantangan besar, baik dalam interaksi sosial maupun dalam partisipasi dalam kegiatan sekolah seperti olahraga. Hal ini menggambarkan bagaimana pakaian, terutama hijab, tidak hanya menjadi simbol identitas agama, tetapi juga penanda ketidaksesuaian dengan norma sosial yang berlaku di Amerika, yang mengutamakan kebebasan ekspresi diri (hlm. 119).
Ashraf Zahedi dalam artikelnya “Muslim American Women in the Post-11 September Era: Challenges and Opportunities” memaparkan, pengalaman Muslim Amerika yang mengenakan hijab setelah peristiwa 11 September tidak sepenuhnya buruk, meskipun mereka menghadapi tantangan yang signifikan. Sebagian wanita memilih untuk melepas hijab mereka sebagai respons terhadap meningkatnya intimidasi dan rasa tidak aman yang dirasakan di lingkungan politik yang tidak bersahabat.
Selain itu, banyak juga dukungan yang datang dari warga non-Muslim di Amerika Serikat. Salah satu contoh solidaritas yang menonjol adalah “Kampanye Scarf” yang digagas oleh Jennifer Schock. Kampanye ini mengajak wanita non-Muslim untuk mengenakan jilbab selama sehari sebagai bentuk dukungan terhadap wanita Muslim. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk menyampaikan pesan bahwa wanita Muslim tidak sendirian dalam menghadapi diskriminasi dan kebencian.
Pada 8 Oktober 2001, banyak wanita non-Muslim di berbagai kota di Amerika Serikat mengenakan jilbab dan berkumpul di berbagai tempat seperti gereja, masjid, dan pusat komunitas, untuk menunjukkan solidaritas mereka dengan wanita Muslim. Solidaritas semacam ini menciptakan ruang untuk interaksi dan dialog antara Muslim dan non-Muslim, yang pada gilirannya membuka kesempatan untuk mengurangi kesalahpahaman dan meningkatkan toleransi antar kelompok.
Pandangan Terkini Masyarakat Amerika Terhadap Wanita Berhijab
Sudah 23 tahun peristiwa 9/11 berlalu, tentu saja waktu yang cukup panjang ini mengubah pandangan masyarakat Amerika terhadap wanita Muslim yang mengenakan hijab. Saya sendiri selama 2 bulan di Amerika tidak mendapati teman-teman wanita Muslim yang saya kenal mendapatkan perlakuan kurang baik dari orang-orang non-Muslim di Amerika.
Artinya, pandangan masyarakat mengalami pergeseran. Untuk membuktikan hal tersebut, saya melakukan wawancara dengan beberapa Muslim di Amerika untuk menggali pengalaman mereka, serta pengalaman teman, kerabat, dan saudara mereka dalam mengenakan hijab, apakah mereka pernah mengalami diskriminasi atau Tindakan yang kurang elok karena pakaian yang mereka kenakan.
Kondisi terkini mengenai pandangan masyarakat Amerika terhadap perempuan yang mengenakan hijab menunjukkan adanya perbedaan antara pengalaman di kota besar dan daerah yang lebih terpencil, serta pengaruh faktor sosial dan budaya dalam penerimaan terhadap penampilan mereka.
Berdasarkan wawancara dengan Dina Rehab, seorang aktivis Muslim di Amerika sekaligus pendiri Seldon Institute, ia menjelaskan bahwa meskipun ada lebih sedikit perhatian publik terhadap perempuan yang mengenakan hijab saat ini dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, beberapa bentuk diskriminasi atau ketidaknyamanan masih terjadi.
“Saya merasa reaksi terhadap saya lebih kuat sepuluh tahun lalu dibandingkan sekarang,” ujarnya, meskipun ia juga mencatat bahwa mungkin ia saat ini tidak begitu peduli terhadap persepsi publik tentang komentar terhadap hijab.
Di sisi lain, Nazhah Khawaja, seorang penulis asal Pakistan-Amerika, menyoroti bahwa pandangan terhadap pakaian Muslim di Amerika sangat dipengaruhi oleh keberagaman budaya. Di kota-kota metropolitan besar seperti Chicago, ia menjelaskan bahwa keragaman budaya cenderung lebih diterima, dan perempuan Muslim yang mengenakan hijab atau pakaian tradisional sering kali diterima dengan baik, bahkan dihargai. Namun, di daerah pedesaan atau daerah dengan populasi yang lebih homogen, pakaian tradisional Muslim bisa mendapat pandangan yang lebih skeptis atau bahkan negatif.
Nazhah Khawaja mencatat bahwa fenomena media sosial, seperti tren fesyen di TikTok atau Instagram, memberi lebih banyak peluang untuk mengekspresikan identitas budaya dan religius secara kreatif.
Perempuan Muslim kini bisa mengakses berbagai gaya hijab dan pakaian dari desainer internasional, yang mempengaruhi pilihan gaya mereka. “Kami bisa mendapatkan pakaian dari desainer di Dubai, Malaysia, atau Saudi Arabia, dan itu memberi lebih banyak pilihan dan kebebasan dalam berbusana,” tambahnya.
Namun, meskipun ada perkembangan positif, diskriminasi terhadap perempuan yang mengenakan hijab belum sepenuhnya hilang. Di Texas, seorang teman Nazhah yang mengenakan hijab sering mendapat tatapan tajam dan sikap tidak ramah di tempat umum, meskipun ini lebih sering terjadi di daerah konservatif.
Secara keseluruhan, gaya berpakaian di kalangan Muslim Amerika mencerminkan cara mereka bernegosiasi dengan identitas agama, etnis, dan budaya mereka dalam masyarakat yang lebih luas. Ada yang memilih untuk tetap mengikuti pedoman pakaian Islami secara ketat, sementara yang lain merasa lebih nyaman dengan pendekatan yang lebih santai dan sesuai dengan norma Amerika.
Namun, dalam kedua kasus tersebut, pakaian menjadi lebih dari sekadar kebutuhan fisik; ia menjadi simbol dari perjalanan identitas pribadi, tantangan sosial, dan cara untuk menegaskan atau menyembunyikan bagian-bagian tertentu dari diri mereka dalam konteks budaya di Amerika.