Para mahasiswa sosial dan politik Indonesia pada tahun 1990-an pasti tahu, setidaknya pernah mendengar, istilah “kapitalisme semu”. Istilah yang berasal dari buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara karya Yoshihara Kunio (1990) itu sangat populer karena dianggap cukup menggambarkan perkembangan ekonomi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada saat itu.
Tesis utama buku itu mengatakan bahwa perkembangan ekonomi di negara-negara Asia Tenggara adalah “semu”, karena tidak ditopang oleh kapitalisme yang “sejati” sebagaimana lahir dan berkembang di Eropa Barat, khususnya Inggris, serta Jepang. Berbeda dengan kelas kapitalis di dua kawasan yang disebut terakhir, yang dinilai Kunio sangat mandiri, di sini kelas kapitalis tergantung pada proteksi negara, sehingga kemudian menimbulkan praktik rente.
Meski tidak sepakat dengan tesis utama buku itu, mengikuti kritik Arief Budiman (1990) dalam kata pengantar versi bahasa Indonesianya, saya berpendapat istilah “semu” yang disematkan pada kapitalisme bisa digunakan untuk memahami situasi politik di era Jokowi sekarang. Partisipasi publik terlihat luar biasa tinggi, tetapi saya melihat itu hanyalah “partisipasi politik semu”. Mirip seperti “gelembung ekonomi” (economic bubble), partisipasi publik yang tercermin terutama di media sosial pada dasarnya adalah gelembung yang kurang berarti nyata dalam proses pengambilan kebijakan politik.
Perkaranya mungkin terletak pada pemahaman mengenai arti politik media sosial. Sejak menggejala dalam satu dekade terakhir, media sosial dianggap mempunyai arti penting secara politik. Anggapan ini memang tidak bisa disangkal, apalagi kalau kita bercermin pada kasus pemilihan umum di Amerika Serikat 2016 yang dimenangkan oleh Trump. Meski terbukti bermasalah secara hukum karena berurusan dengan jual-beli data pribadi yang seharusnya dilindungi, jelas sekali peranan media sosial sangat besar dalam membingkai pilihan politik para pemilih. Hal yang sama berlaku juga di Indonesia. Sejak pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012 hingga pemilihan umum 2019, media sosial terus menerus memainkan signifikansinya.
Arti penting media sosial dalam politik bekerja pada tataran psikologis. Alih-alih menggunakan kata-kata yang rasional, ungkapan-ungkapan yang berpengaruh di media sosial pada umumnya memainkan sentimen emosional; suka atau tidak, terancam atau tidak, berharap atau tidak, dan semacamnya. Para “buzzer” atau “influencer”, entah berbayar atau tidak, adalah pihak yang paling pandai memafaatkan kondisi ini. Dengan menulis opini yang mengharu-biru seperi drama Korea, mereka diyakini cukup berhasil menggiring persepsi pembacanya.
Akan tetapi, sekarang kelihatan sekali, secara kasat mata, bahwa partisipasi yang tinggi di media sosial itu tidak bersambung dengan proses pembuatan kebijakan publik. Ternyata di antara aktivitas politik online dan politik riil offline terbentang jarak yang diisi bukan oleh aspirasi publik, melainkan oleh kepentingan elite pencari rente. Kelompok terakir ini, belakangan sering disebut oligarki, tampak lebih perkasa dalam menyetir keputusan-keputusan politik di parlemen dan pemerintahan daripada opini publik yang berdengung di media sosial.
Dalam kasus program kartu prakerja untuk menangani dampak sosial ekonomi covid-19, misalnya, terlihat sekali keberhasilan para pencari rente menyabotase kebijakan publik!
Anggaran yang sangat besar, konon mencapai 5,6 trilyun rupiah, ternyata akan disalurkan sebagiannya untuk para penyedia jasa kursus online—yang salah satu pemiliknya adalah staf khusus milenial presiden. Para penerima manfaat program tersebut harus mengikuti kursus tersebut terlebih dahulu sebelum mendapatkan semacam kredit bantuan.
Program kartu prakerja untuk penanganan dampak sosial ekonomi covid-19 tersebut diputuskan begitu saja tanpa partisipasi publik. Memang cuitan dan postingan netizen terdengar hiruk pikuk, seolah-olah ada pro dan kontra yang wajar di sebuah negara demokrasi, tetapi semua itu hanyalah “dengung” yang tidak berkorelasi dengan politik yang sesungguhnya.
Yang mengemuka malah, lagi-lagi, adalah kesan-kesan psikologis terhadap tokoh-tokoh politik. Kritik terhadap kebijakan dimaknai sebagi ketidaksukaan terhadap persona. Seolah-olah kalau kita tidak setuju dengan program kartu prakerja, maka kita berarti tidak suka kepada Jokowi. Begitu pula kalau kita mengkritisi kebijakan di tingkat daerah, entah di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, atau di tempat lain.
Tentu saja fenomena partisipasi politik semu ini tidak bisa kita biarkan. Terutama perlu ada koreksi terhadap pemahaman kita mengenai arti politik media sosial. Ternyata hiruk pikuk di dunia maya hanyalah “gelembung” yang tidak berarti apa-apa jika tidak dibarengi dengan aktivitas politik di dunia nyata. “Traffic” yang tinggi di Facebook, Instagram, atau Twitter adalah indikator untuk monetisasi, bukan partisipasi politik yang sejati.