Sedang Membaca
Politik Ukhuwah Islamiyah: Satu Lagi Tugas Menteri Agama
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Politik Ukhuwah Islamiyah: Satu Lagi Tugas Menteri Agama

Gus Yaqut

Segera setelah dilantik, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan bahwa kementeriannya akan meningkatkan ukhuwwah islamiyah, selain ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah basyaraiyah (persaudaraan kemanusiaan).

Bagi Yaqut, ukhuwah Islamiyah –dengan arti sederhana: persaudaraan keislaman– adalah penting, karena ia adalah fundamen bagi ukhuwah lainnya. Bagaimanapun, umat Islam adalah populasi terbesar di negeri ini. Jika persaudaraan di kalangan umat Islam terjaga, maka persaudaraan di antara sesama warga bangsa dan lebih luas lagi persaudaraan di antara sesama manusia akan terpelihara.

Pengumuman Menteri Yaqut yang masih menjabat Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor itu menarik karena seolah menjawab sejumlah tuduhan yang diajukan kepada NU selama ini. Bahkan sejak era Gus Dur, NU sering dituduh kurang memperhatikan ukhuwah islamiyah dibanding ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Secara vulgar NU dikatakan lebih dekat dengan kalangan Kristen dan Katolik, misalnya, dibanding dengan kelompok Islam non-NU lainnya. 

Tentu saja tuduhan tersebut dibantah oleh Gus Dur. Dalam berbagai kesempatan dia selalu menyampaikan bahwa ketiganya harus diletakkan secara bersamaan. Tidak hanya itu, Gus Dur menyebut ukhuwah islamiyah telah dipolitisasi sedemikian rupa sehingga maknanya mengalami penyempitan. Alih-alih mencakup seluruh umat Islam, ukhuwah islamiyah dimaknai persaudaraan di antara kelompok Islam tertentu.

Baca juga:  Posisi NU dan Muhammadiyah di Era Priayisasi Islam

Penyempitan makna ukhuwah islamiyah terjadi terutama di masa akhir Orde Baru. Pada saat itu, Soeharto merangkul eksponen Islam politik lama dan memasukkan mereka ke dalam sistem kekuasaannya. Dalam praktiknya, inklusi terhadap satu kelompok selalu berarti ekslusi terhadap kelompok lainnya. Dengan kalimat lain, lebih dari sekadar urusan keagamaan, ukhuwah islamiyah adalah praktik politik yang cakupannya bisa mengkerut tetapi juga bisa memuai sesuai dengan kekuatan yang dominan. 

Demikian kesimpulan Sidney Jones (1997) terhadap dinamika pemaknaan konsep “umat” yang merupakan basis dari praktik politik ukhuwah islamiyah. Lebih jauh lagi, Jones bahkan memperlihatkan dinamika ini, dalam konteks Islam di Indonesia, hingga abad ke-17. Kolonialisme dan imprealisme Barat pada satu sisi dan perubahan-perubahan internal di kalangan muslim pada sisi yang lain, baik di tingkat domestik maupun internasional, adalah konteks yang mempengaruhi dinamika ini. Belakangan Robin Bush (2009) mengemukakan bahwa dinamika pemaknaan konsep umat adalah inti dari politik Indonesia itu sendiri yang terpolarisasi di antara NU di satu sisi dan kelompok-kelompok muslim lainnya di sisi yang lain. 

Akan tetapi, kenyataan mengenai politik ukhuwah islamiyah tersebut mesti disikapi secara kritis. Khusunya terkait dengan kebutuhan kita hari ini, benar kata Menteri Yaqut, ukhuwah islamiyah adalah kunci dari penyelesaian konflik sosial berbasis agama. Sementara konflik antar agama relatif sudah mulai bisa diatasi, konflik di antara sesama umat Islam belum menemukan titik terang yang memuaskan hingga sekarang. Ketika Menteri Yaqut mengatakan akan meninjau ulang berbagai regulasi yang terkait dengan Ahmadiyah dan Syiah, reaksi keras dari beberapa kelompok Islam sendiri bermunculan. 

Baca juga:  Dua Tantangan Pancasila di Era Pasca-Soeharto

Dalam hal ini, NU sebagai organisasi dari mana Menteri Yaqut berasal memang perlu memikirkan ulang peranannya dalam menjalin ukhuwah islamiyah secara lebih serius. Yang dimaksud tentu saja bukan berarti selama ini NU dianggap kurang islami, tetapi barangkali harus diakui juga hubungan NU dan kelompok-kelompok Islam lainnya, khususnya yang bertendensi politik, memang kurang baik. Trauma dari masa lalu ditambah dengan polarisasi kepentingan di era media sosial sekarang membuat hubungan di antara kedua belah pihak diliputi berbagai prasangka.

Di mata sebagian orang NU, kelompok Islam tertentu tetap dicurigai menyelendupkan agenda negara Islam atau khilafah. Di sisi sebaliknya, kelompok Islam politik masih saja menyudutkan NU sebagai organisasi yang “ruhama bainal kuffar” (ramah kepada orang kafir) tetapi “asyidda ‘alal Muslim”(keras kepada Muslim)—pembalikan dari ayat Al-Quran yang memerintahkan Nabi Muhammad agar “asyidda’ alal kufar” (tegas kepada orang kafir) dan “ruhama baianahum” (ramah kepada sesama Muslim).

 Sebagai menteri agama, Yaqut mempunyai kemampuan untuk mengatasi prasangka yang telah menahun tersebut. Setidaknya itulah harapan saya kepada menteri berusia relatif muda ini. Bagaimanapun, tidak akan ada ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah yang terpelihara tanpa adanya ukhuwah islamiyah yang terjaga. 

Baca juga:  Menguatnya Islam Politik atau Merosotnya Politik Sekuler?

Harapan ini bukan harapan gombal. Tanpa rekonstruksi politik ukhuwah islamiyah, konsep umat Islam akan terus diklaim oleh kelompok tertentu saja, sebagaimana termanifestasikan dalam aksi “bela Islam” pada 2016 silam. Klaim sektarian seperti ini sangat berbahaya, makanya mesti direbut oleh negara. Namun di sini perlu kehatian-hatian. Mengingat negara adalah sumber kuasa yang “tend to corrupt”, maka kekuatan masyarakat sipil wajib kuat agar bisa berfungsi sebagao penyeimbang. Jangan sampai apa yang terjadi di era akhir Orde Baru berulang ketika negara menjadikan ukhuwah islamiyah sebagai basis legitimasi politik otoritarian. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top