Menurutku kritik yang fundamental terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang “pluralis” justru datang dari seorang penulis lama, yaitu John Sydenham Furnivall atau J. S. Furnivall. Bukunya, Hinda Belanda, sudah dianggap klasik dalam studi sejarah Indonesia kolonial.
Namun selain deskripsinya yang tebal, hal yang paling cemerlang dalam buku itu adalah problematisasi Furnivall terhadap apa yang disebut sebagai “masyarakat plural”.
Kata Furnivall, pluralisme masyarakat Indonesia sangat mengkhawatirkan. Mereka tidak bercampur baur kecuali di pasar. Di bidang sosial dan apalagi politik, mereka hampir tidak pernah bertegur sapa. Oleh karena itu, hingga buku Hindia Belanda terbit pada 1939, Furnivall tidak melihat sama sekali “kehendak bersama” yang tumbuh dalam masyarakat kita.
Memang Furnivall tidak menunjuk secara jelas mengapa masalah masyarakat plural itu terjadi. Dia tidak menyalahkan secara tegas kebijakan pemerintah kolonial yang rasialis. Namun secara implisit dia menggambarkan adanya kesalahan serius dalam pembentukan tatanan sosial di Indonesia yang akan menjadi “bom waktu” di kemudian hari.
Kekhawatiran Furnivall terbukti. Di awal abad ke-21 sekarang, masyarakat Indonesia yang plural itu tetap saling terpisah. Masing-masing kelompok sosial mempunyai kehendaknya sendiri-sendiri yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Akan tetapi, berbeda dengan analisis Furnivall, saya melihat pertentangan di antara kelompok dalam masyarakat Indonesia justru terjadi di pasar. Alih-alih mengintegrasikan, pasar menjadi ajang untuk saling memisahkan. Perkaranya adalah karena akses dan kesempatan untuk masuk ke pasar–untuk melakukan akumulasi modal–di antara kelompok-kelompok yang ada terlalu jomplang.
Oleh karena itu, pluralisme yang sering diseminarkan atau kalau sekarang diwebinarkan itu bukanlah solusi terhadap keberagaman, melainkan masalah yang harus diatasi. Pluralisme harus dibongkar karena pada awalnya ia adalah benteng yang dibangun untuk mengukuhkan tatanan masyarakat kolonial.
Dalam masyarakat plural itulah orang kaya hidup di rumah mewah yang nyaman sementara orang miskin tinggal di kontrakan sempit di belakang rumah orang kaya itu–sambil si miskin diminta untuk tetap menghormati perbedaan nasibnya dengan si kaya karena itulah kenyataannya.