Sejumlah fenomena politik yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini adalah lahan untuk merefleksikan perspektif keilmuan yang selama ini dipakai. Kalau mau jujur, harus diakui sebagian dari perspektif itu keliru. Alih-alih membantu kita memahami realitas, beberapa perspektif keilmuan yang sering muncul di berbagai media justru mengaburkan apa yang sesungguhnya terjadi. Di antaranya adalah cara kita melihat Islam, politik, dan kekuasaan. Saya ingin menunjukkan bahwa sebagian cara pandang kita terhadap masalah-masalah itu tidak bisa lagi dipertahankan.
Ambil contoh masalah Islam politik. Literatur-literatur penting di bidang ini memahami Islam politik secara negatif. Meski disembunyikan dalam deskripsi tebal, Islam politik sering diasosiasikan dengan kekuatan-kekuatan yang mengancam demokrasi. Dalam konteks kepartaian, partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya masih diasumsikan mempunyai cita-cita “negara Islam” yang kelak akan diwujudkan jika mereka tampil di panggung kekuasaan. Cita-cita negara Islam itu sendiri sudah sejak dalam pikiran dianggap otoriter, bahkan totaliter. Kenyataannya, di negara-negara Muslim poskolonial, bukankah sebagian besar pemerintahan otoriter justru berpusat pada pemimpin dan partai politik nasionalis sekuler?
Bersamaan dengan itu, perspektif keilmuan yang berkembang seolah menghindari kemungkinan koalisi di antara elemen-elemen umat Islam yang secara akademik selalu diperhadapkan. Di Indonesia, juga di negara-negara Muslim lainnya, masyarakat Islam umumnya dikategorisasikan ke dalam kubu modernis dan tradisionalis. Analisis-analisis sosial lebih sering mengungkap momen perseteruan daripada persatuan di antara mereka. Pada tahun 1950-an, para pengamat lebih suka menggambarkan momen perpisahan NU dari Masyumi daripada momen persatuan mereka dalam memperjuangkan Piagam Jakarta dalam Konstituante. Oleh karena itu, ketika akhir-akhir ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkoalisi, sejumlah orang tampak bingung, mungkin juga khawatir, bagaimana itu bisa terjadi?
Ironisnya, perspektif keilmuan yang berambisi melakukan kategorisasi masyarakat Muslim sering tampil sebagai suara moral anti-politik identitas, padahal epistemologinya berbasis identitas! Apa yang disebut modernis dan tradisionalis, lalu progresif dan konservatif, adalah kerangka pengetahuan yang didasarkan pada identitas keagamaan tertentu yang memang berbeda. Akan tetapi, dalam praktik sosial, seseorang atau sebuah kelompok tidak selalu mendasarkan tindakannya pada identitas keagamaan, sebab mereka memiliki lebih dari satu identitas. Dalam bidang peribadatan mereka mungkin saja menjalankan mazhab A atau B, tetapi dalam bidang politik mazhab A dan B itu bisa bertemu tanpa perlu merujuk pada perbedaan peribadatan mereka. Epistemologi berbasis identitas sulit menalar kemungkinan tindakan politik lintas batas mazhab ini, sebab mereka terpaku pada hanya satu kerangka pengetahuan yang esensialistik.
Di Indonesia, suara moral anti-politik identitas hanya dialamatkan kepada kelompok-kelompok agama, khususnya Islam. Implikasinya, seolah-olah kelompok nasionalis sekuler bukan bagian dari problematik politik identitas. Kekeliruan ini tidak hanya bertentangan dengan kenyataan, tetapi juga sengaja dipelihara terus dan terus untuk memelihara kekuasaan. Dalam sejarah kepresidenan di negeri ini, kecuali Gus Dur, semua pemimpin kita berasal dari kalangan nasionalis sekuler. Gus Dur juga, bahkan, tidak menggunakan “kartu Islam”. Jadi, apa sumber dari kekhawatiran politik identitas itu?
Sudah berabad-abad filsafat politik liberal mendominasi cara pandang kita mengenai negara dan masyarakat modern. Karena pada dasarnya bertolak dari pengalaman Eropa Pencerahan, maka posisi dan peran agama dikesampingkan. Hingga tahun 1980-an, agama hanyalah penghuni ruang privat. Ruang publik, sebaliknya, harus sekuler. Oleh karena itu, ketika dunia pasca-Perang Dingin menyaksikan ternyata agama masih berpengaruh di kalangan non-Barat, maka diciptakanlah konsep politik identitas sebagai cara untuk menghalau, setidaknya mengatur, agama-agama agar tidak mengganggu kebebasan kaum liberal. Cara pandang ini, yang kemudian dirumuskan sebagai multikulturalisme, disebarkan sebagai kerangka normatif menghadapi perbedaan kultural. Sebagian besar intelektual menerima itu tanpa keberatan, apalagi kritik. Kampanye anti-politik identitas adalah ujung dari proses itu.
Kampanye anti-politik identitas berjalan terpisah dengan kritik ekonomi-politik. Secara ontologis, identitas dan ekonomi-politik dikonseptualisasikan sebagai entitas yang berlainan. Pada tingkat advokasi, keberpihakan hanya ditujukan kepada minoritas kultural tanpa mempedulikan posisi mereka dalam konstelasi ekonomi-politik. Kampanye seperti ini cukup ampuh untuk menghajar para kritikus zionis Israel yang segera dituduh sebagai pogrom anti-semitisme. Kritik pada “sembilan naga” di Indonesia juga gampang dipelintir sebagai aksi rasisme.
Akan tetapi, sementara publik ditakut-takuti bahaya politik identitas, kaum elit menjalankan operasi kekuasaan secara leluasa. Dengan tameng penghormatan terhadap perbedaan kultural, mereka mengeksploitasi sumber daya alam tanpa sorotan organisasi-organisasi keagamaan. Pada saat yang sama, ironisnya lagi, potensi emansipatif organisasi-organisasi keagamaan dikerahkan habis-habisan hanya untuk mengatasi ketidaknyamanan karena perbedaan mazhab pemikiran keagamaan. Inilah yang terjadi dalam pergolakan wacana organisasi-organisasi Islam di Indonesia setidaknya selama dua dekade terakhir. Mereka sibuk bersitegang di antara mereka sendiri, tetapi seolah-olah mempersilakan kaum elit—yang sebagian besar berlatar belakang nasionalis sekuler kalau terpaksa menggunakan istilah berbasis identitas—untuk mengontrol kehidupan ekonomi dan politik.
Menjelang hari pemilihan umum 14 Februari mendatang, perspektif keilmuan yang keliru mengenai Islam, politik, dan kekuasaan itu masih tetap dipelihara dan bahkan dijadikan norma. Para ulama, sebagaimana juga para akademisi di lembaga-lembaga sekuler, terus berkutat dengan epistemologi yang pada dasarnya bias sekuler itu. Dalam situasi di mana ilmu-ilmu dan kekuasaan berkelindan erat ini, pemilihan umum 14 Februari besok tampaknya sekadar sarana untuk melanggengkan status quo. Setelahnya kaum intelektual, termasuk dalam organisasi-organisasi keagamaan, sibuk kembali dengan rutinitas yang biasa tanpa sempat merefleksikan kontribusinya pada kemandegan, bahkan kemunduran, demokrasi. Demikian seterusnya hingga model kekuasaan politik otoriter yang dulu pernah ditumbangkan sekarang hampir kembali lagi. Kalau ini terjadi, kampanye anti-politik identitas agama, khususnya Islam, ternyata “omon-omon” belaka yang dibingkai oleh kepentingan penguasa.