Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau sering disebut Omnibus Law dan tetap berlanjutnya rencana pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Desember mendatang adalah dua contoh mengapa saya menulis judul tulisan ini “negara yang menjauh dari ulama”?
Pasalnya sederhana. Meski dua organisasi Islam terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah, secara tegas dan jelas menolak keduanya, negera bergeming. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin memulainya dengan sebuah ironi. Sementara penolakan terhadap dua praktik kebijakan tersebut berjalan, sebagian masyarakat justru terlihat menggumuli isu kemunculan khilafah di satu sisi dan kebangkitan PKI di sisi sebaliknya. Mereka baku hantam di media sosial. Seolah-olah kedua isu ini sungguh ancaman bagi keberlanjutan kehidupan rakyat sehari-hari.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengecilkan arti kedua isu tersebut, tetapi inilah yang dimaksud oleh Nancy Fraser, seorang pemikir teori kritis terkemuka, sebagai fenomena keterpisahan antara “identitas” dan “kelas” dalam wacana keadilan masyarakat kontemporer. Orang-orang sibuk berdebat mengenai toleransi dan intoleransi, tetapi melepaskannya dari konteks ekonomi politik yang lebih luas. Seakan-akan rakyat akan kenyang dengan kepastian eksistensial bahwa khilafah atau PKI itu secara moral adalah salah.
Namun di Indonesia, menariknya, NU dan Muhammadiyah justru sangat responsif terhadap “politik kelas”. Terus terang ini diluar dugaan dan kebiasaan. Mereka menguraikan panjang lebar mengapa Omnibus Law dan pilkada serentak adalah kemudaratan. Ominibus Law dipandang lebih mengutamakan investasi daripada kesejahteraan, sedangkan pilkada serentak di tengah pandemi dinilai mengancam keselamatan.
Peringatan NU dan Muhammadiyah menyentuh masalah kapitalisme yang sebenarnya. Melampaui sekadar ekonomi, dalam Omnibus Law dan pilkada serentak terkandung sejumlah keberlanjutan reproduksi sosial, politik, dan ekologi—tiga hal yang selalu diabaikan oleh kapitalisme. Pengabaian terhadap keberlanjutan tiga hal ini adalah kontradiksi yang akan membuat masyarakat terjatuh pada krisis.
Akan tetapi, negara bergeming. Rupanya suara NU dan Muhammadiyah dianggap sekadar suara biasa dalam demokrasi. Boleh didengarkan, boleh tidak. Suka-suka.
Sementara itu, kenyataan bahwa sebagian masyarakat justru lebih tertarik untuk baku hantam soal khilafah dan PKI memperlihatkan satu hal: ternyata akumulasi modal membutuhkan pijakan politik identitas. Dalam hal ini ia seperti candu yang melenakan. Namun alih-alih agama dalam pengertian tradisional, candu yang lebih berbahaya saat ini adalah media sosial.
Lewat media sosial itulah keterpisahan antara identitas dan kelas yang saya singgung di atas terjadi. Perkaranya bukan hanya hoaks, tetapi mesin algoritma. Karena paparan tiada henti mengenai ancaman khilafah atau PKI, sebagian masyarakat terbentuk persepsinya. Paparan yang sama tidak terjadi dalam kasus Omnibus Law dan pilkada serentak. Ia tidak menjadi trending. Karena bukan trending, maka penolakan Omnibus Law dan pilkada serentak oleh NU dan Muhamadiyah dianggap sekadar suara biasa dalam demokrasi.
Di sisi lain, apa yang terjadi hari ini adalah momen reflektif bagi NU dan Muhammadiyah sendiri. Secara internal pengabaian negara terhadap suara mereka mengindikasikan sesuatu. Jangan-jangan ada yang kurang tepat dengan langkah-langkah mereka selama ini, sehingga legitimasi politiknya di hadapan negara berkurang.
Kalau memang legitimasi politik di hadapan negara berkurang, sekarang adalah saatnya bagi NU dan Muhammadiyah menaikkan legitimasi mereka di hadapan rakyat. Penolakan mereka terhadap Omnibus Law dan pilkada serentak, meski tidak digubris, adalah langkah yang tepat. Setelah ini masyarakat akan melihat bahwa sokoguru masyarakat sipil yang berfungsi kritis adalah organisasi para ulama.
Kesan bahwa mereka sering tampil hanya sebagai tukang stempel penguasa semoga bisa terhapus karenanya.