Beberapa hari lalu, Panglima Kodam Jaya menginstruksikan anak buahnya untuk menurunkan baliho Muhammad Rizieq Shihab (MRS) yang tersebar di Jakarta. Mereka yang sudah lama jengkel dengan tokoh ini sorak-sorai dibuatnya. Namun, pertanyaannya, apakah masalahnya akan tuntas dengan itu?
Penurunan anggota TNI untuk menangani MRS menimbulkan pertanyaan. Apakah perlu? Memang secara prosedur dimungkinkan, tapi apakah itu malah membuktikan apa yang oleh Greg Feally (2020) disebut “repressive pluralism” di era pemerintahan Jokowi sekarang ada benarnya? Bagaimana sebagaimana kita menanggapi ini?
Sebagai bagian dari masalah Islam politik, posisi MRS memang unik dan rumit. Berbeda dengan HTI yang mengusung khilafah, sesuatu yang secara otomatis dianggap bertentangan dengan Pancasila, MRS menawarkan NKRI bersyariah. Jelas gagasan ini lebih canggih karena lebih sulit diatasi dengan pendekatan normatif seperti biasa. Gagasan ini, bagaimanapun, mempunyai pijakan historis yang kuat, yaitu Piagam Jakarta, yang masih hidup sebagai wacana populer di tengah umat. Bahkan harus diakui bahwa hingga kini penjelasan mengenai pergeseran dari “Mukaddimah” Piagam Jakarta 22 Juni 1945 ke “Pembukaan” UUD 18 Agustus 1945 belum sungguh memuaskan.
Sementara itu, dari sisi kultural, pandangan dan praktik keagamaan yang dijalankan oleh MRS juga tidak jauh beda dengan ritual peribadahan di kalangan ahli sunnah wal jamaah, termasuk NU. Dia merayakan acara maulid Nabi Muhammad atau mentradisikan ziarah kubur seperti yang lainnya. Terutama dengan NU, perbedaan pokoknya hanyalah orientasi pemikiran dan gerakan politik yang seringkali lebih memih jalan keras, sehingga dianggap petantang-petenteng dan suka main hakim sendiri. Hal terakhir inilah yang membuat sejumlah orang jengkel terhadap MRS dan organisasi yang dipimpinnya, FPI.
Akan tetapi, sekali lagi, apakah penurunan anggota TNI untuk mengatasi masalah itu perlu? Lalu, kalau perlu, mengapa baru diambil sekarang? Di sini suatu keheranan pantas diajukan mengingat ketika terjadi aksi 212 pendekatan tersebut tidak dijalankan. Apakah hal ini terkait dengan perubahan konstelasi politik belakangan di mana salah satu patron mereka pada saat aksi 212, Prabowo Subianto, sekarang telah menjadi menteri dalam pemerintahan Jokowi? Apakah, dengan demikian, suatu permainan politik yang baru sedang dimulai?
Lebih dari sekadar fenomena Islam politik dalam pengertian tradisional, kemunculan MRS dan FPI yang dipimpinnya memang sulit dilepaskan dari permainan politik para jenderal dan politisi lainnya. Mereka muncul pada tahun 1998 mengiringi transisi politik kekuasan Orde Baru ke orde sesudahnya. Meski pernah dipenjara sebentar, popularitas MRS di era pemerintahan SBY meningkat tajam, terutama di daerah di mana keberadaan otoritas keagamaan lama, seperti NU, tidak terlalu melembaga secara mendalam. Studi Alexandre Pelletier (2019) menjelaskan mengapa FPI lebih berkembang di Jawa Barat daripada di Jawa Timur karena di daerah yang pertama keberadaan NU lebih kurang kuat daripada di derah yang kedua.
Dalam pendangan saya, hal yang terabaikan adalah konter terhadap NKRI bersyariah itu sendiri. Gagasan yang secara akademis diujikan di Universiti Malaya (2012) ini belum ditanggapi serius oleh pemerintah Indonesia. Meski pemerintahan Jokowi telah mendirikan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), sependek pengetahuan saya lembaga ini belum menerbitkan satu pun buku yang secara khusus menanggapi gagasan MRS tersebut. Padahal, meski tidak usah dijadikan teks resmi seperti P4, buku semacam itu sangat dibutuhkan publik untuk mengerti duduk perkara yang sebenarnya. Diharapkan nanti publik bisa menimbang dan memberi penilaian yang lebih legitim terhadap problematik NKRI bersyariah.
Pemerintahan Jokowi, sementara itu, malah mengusulkan RUU HIP yang ditolak banyak kalangan. Rancangan ini, yang berisi semacam tafsir baru terhadap Pancasila tetapi berdasarkan retorika lama era Soekarno, seolah membenarkan tuduhan Feally di awal yang mengatakan bahwa Jokowi dikelilingi sejumlah pendukung yang anti-Islam politik—dalam hal ini Feally merujuk pada faksi tertentu di PDIP. Pembahasan mengenai tempat Islam dalam politik justru tidak mendapatkan perhatian.
Yang dikhawatirkan dari pendekatan kurang tepat terhadap masalah Islam politik, khususnya yang mengemuka pada figur MRS, adalah serang balik yang lebih tidak terkendali. Bercermin dari kasus pembubaran HTI yang tidak tuntas, kita tentu tidak berharap hal yang terulang lagi. Kecuali memang Jokowi mempunyai agenda lain yang diterapkan misalnya kepada lawan politiknya, Prabowo Subianto. Ini belum menghitung kemungkinan yang juga akan diambil oleh elit politik lainnya, tidak hanya Jokowi. Kalau itu yang akan terjadi, berarti suatu permainan politik yang sepenuhnya bersifat elitis—publik hanya sebagai penonton yang sorak-sorai—sedang dimulai.