Catatan ringkas ini adalah tanggapan saya yang ketiga dan yang terakhir terhadap tulisan Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi, “The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and Politics of Religious Tolerance in Indonesia” (2020). Setelah sebelumnya membahas problematik teoretis, yaitu penyembunyian perspektif yang memadai mengenai pluralisme, kali ini saya akan mengurai problematik metodologis dari tulisan tersebut. Bagaimana kedua penulis mengumpulkan dan menafsirkan data, menurut saya, terkesan sangat tebang-pilih, sehingga mengabaikan keketatan—kalau bukan objektivitas—yang seharusnya diterapkan dalam sebuah tulisan ilmiah.
Memang metodologi yang dipakai oleh Mietzner dan Muhtadi dalam membangun argumen cukup menarik. Berangkat dari beberapa literatur mengenai perjalanan sejarah politik NU, mereka menggenapkan argumennya dengan merujuk pada sebuah laporan survei LSI terbaru. Sepintas ini terlihat meyakinkan, tetapi mari kita lihat secara seksama bolong-bolong metodologis yang mereka gunakan.
Untuk menunjukkan bahwa sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an NU pada dasarnya intoleran, Mietzner dan Muhtadi menyebut setidaknya tiga peristiwa. Pertama, NU berjuang mengembalikan “tujuh kata” dari Piagam Jakarta dalam perdebatan di Konstituante yang terbentuk pasca-Pemilu 1955. Ini artinya, sebagaimana kelompok politik Islam lainnya, NU dianggap sama-sama mempunyai aspirasi “negara Islam” yang berhadapan dengan kelompok politik nasionalis-sekuler. Kedua, namun secara paradoksal, NU malah mendukung keputusan Presiden Soekarno yang membubarkan parlemen dan Konstituente serta pembubaran Masyumi dan PSI di akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Ketiga, keterlibatan NU dalam pembunuhan massal 1965.
Bagi Mietzner dan Muhtadi, dasar yang menggerakkan NU dalam tiga peristiwa itu tiada lain adalah kepentingan diri (vested interest). Argumen-argumen keagamaan yang melatari politik NU pada periode itu seperti ditulis oleh M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (1994) tidak dilirik. Seolah-olah NU, saat itu masih berbentuk partai politik, melakukan semuanya hanya untuk mengincar posisi menteri agama.
Menurut saya, problematik utama Mietzner dan Muhtadi adalah mereka melepaskan pembacaan sejarah politik NU dari konteksnya. Perdebatan dalam Konstituante masa lalu dibaca dengan perspektif masa kini, sehingga aspirasi untuk mengembalikan rumusan Piagam Jakarta dianggap sebagai tindakan yang secara otomatis mencederai citra NU sebagai organisasi pluralis. Dalam studi sejarah, ini dinamakan anakronisme. Mereka, oleh karena itu, tidak mampu mengenali secara lebih detail apa makna “negara Islam” pada masa itu yang dikontestasikan tidak hanya oleh NU dan Masyumi, tetapi juga Darul Islam (DI) yang lebih memilih jalan pemberontakan daripada prosedur “demokrasi liberal”.
Keterlibatan NU dalam pembunuhan massal 1965 juga dipahami oleh Mietzner dan Muhtadi secara sembrono, seakan-akan itu lahir dari kebencian ideologis-keagamaan belaka terhadap komunisme. Saya tidak menemukan penjelasan tentang, katakanlah, manipulasi tentara terhadap situasi antagonistik pada periode itu. Pengebirian terhadap gerak organisasi NU pasca-1965 yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tidak diungkap. Cerita tentang para kiai dan santri yang dikejar-kejar tentara di awal 1970-an agar memilih Golkar diabaikan. Dengan kata lain, terkait dengan peristiwa 1965, NU dilihat semata sebagai pelaku tunggal alih-alih korban.
Oleh karena itu, permintaan maaf Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ketika menjadi Presiden RI awal tahun 2000-an terhadap keluarga PKI benar-benar dilupakan. Upaya rekonsiliasi kultural sejumlah anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat Indonesia pimpinan M. Imam Aziz yang sekarang menjadi salah satu ketua PBNU hilang dalam pengamatan. Bahkan kemunculan kelompok-kelompok progresif NU, seperti Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) dan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) dinilai lebih sebagai akibat dari adanya agen-agen donor pengembangan pluralisme dari luar.
Sementara itu, meski memuji Gus Dur sebagai ikon pluralisme yang mentransformasi NU pasca-Muktamar Situbondo 1984, Mietzner dan Muhtadi mencatat lagi-lagi setidaknya tiga hal yang membuat hal itu tersebut patut dipertanyakan. Pertama, menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, Gus Dur justru meminta mahasiswa untuk tidak melakukan demonstrasi menentang Soeharto. Kedua, segera setelah pemilu 1999, Gus Dur malah ikut mendukung pendapat mayoritas ulama yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Ketiga, ketika posisinya sebagai presiden digoyang, Gus Dur mengancam pembekuan parlemen yang terpilih secara demokratis pada Pemilu 1999 dan pembubaran partai politik yang melawan kebijakannya.
Tentu saja saya tidak akan dan tidak perlu menyangkal tiga hal yang disampaikan oleh Mietzner dan Muhtadi mengenai Gus Dur tersebut, tetapi jelas sekali mereka melakukannya secara sangat tendensius. Sama dengan cara memahami perjalanan sejarah politik NU pada tahun 1950-an dan 1960-an, tindakan Gus Dur juga dilepaskan dari konteksnya. Kedua penulis tidak memperhitungkan sama sekali ketegangan sosial-politik yang berlangsung pada saat itu, suatu kondisi yang membuat Gus Dur memerankan dirinya sebagai penyeimbang di antara kelompok Islam garis keras dan nasionalis garis keras.
Karena dilepaskan dari konteksnya, drama pemakzulan Gus Dur hilang sepenuhnya dari analisis. Mungkin Mietzner dan Muhtadi sudah tahu bukunya Virdika Rizky Utama, Menjerat Gus Dur (2019), tetapi cukup pasti tidak (akan) mengutipnya. Tindakan Gus Dur yang meminta para pendukungnya pulang ke rumah saat dia dipaksa keluar dari Istana barangkali dianggap hal yang memang seharusnya.
Penilaian terhadap sejarah politik NU dan peran Gus Dur yang dilepaskan dari konteksnya adalah problematik metodologis yang sangat serius. Data kualitatif yang kaya dan berlapis-lapis direduksi sedemikian rupa untuk mendukung argumen bahwa pluralisme NU adalah mitos belaka. Ironsinya, tidak ada satu pun literatur otoritatif karya orang NU sendiri yang dijadikan rujukan oleh mereka.
Problematik metodologis juga bisa kita temukan dalam cara Mietzner dan Muhtadi membaca survei LSI. Penentuan untuk lebih memilih persepsi “pengikut” daripada “anggota” NU sudah menyimpan catatan tersendiri sejak awal. Dengan ini mereka bisa secara leluasa melihat adanya intoleransi, bukan sekadar “toleran tanpa liberal” seperti dikatakan oleh Jeremy Menchik, dalam tubuh NU. Sekadar informasi, Menchik memilih melakukan survei terhadap “anggota”, tepatnya “pengurus” NU, daripada “pengikut” karena diyakini lebih presisi mengungkap perilaku NU sebagai organisasi.
Dalam kenyatannya, apa yang disebut sebagai “pengikut” NU sangat tergantung pada konteks di mana mereka berada seperti diulas dengan cemerlang oleh Alexandre Paquin-Pelletier dalam disertasinya di Universitas Toronto, Radical Leaders: Status, Competition, and Violent Islamic Mobilization in Indonesia (2019). Melalui karya ini kita bisa mengetahui bahwa persepsi pengikut NU di Jawa Timur mengenai hal ihwal toleransi berbeda dengan persepsi pengikut NU di Jawa Barat. Namun yang lebih memengaruhi persepsi para pengikut itu bukan faktor NU-nya, melainkan konteks daerahnya. Di Jawa Timur dan Jawa Barat, para pemimpin agama mempunyai status sosial dan kompetisi politik yang berlainan, sehingga model relasi dan derajat pengaruh mereka dalam memobilisasi para pengikutnya pun tidak sama. Problematik ini sebenarnya disinggung oleh Mietzner dan Muhtadi, tetapi tidak ditindaklanjuti. Seolah-olah pengikut NU di mana pun mereka berada adalah intoleran belaka.
Kalau mau diurai lagi, masih banyak problematik metodologis lainnya yang bisa dibongkar dari tulisan Mietzner dan Muhtadi. Pada tataran yang lebih teknis misalnya, mereka membandingkan begitu saja persepsi pengikut NU dan Muhammadiyah, padahal margin of error data kedua kelompok itu secara signifikan berbeda. Biarlah atau semoga ada penulis lain di kemudian hari membahasnya.
Implikasi dari problematik metodologis ini sangat luas, mencakup etika akademik yang saya yakin sangat dijunjung tinggi oleh Mietzner dan Muhtadi. Mereka pada dasarnya mau mengkritisi pengamat asing yang terlalu simpatik kepada NU, seperti Robert Hefner dan Greg Barton. Sebagai usaha profesional hal ini tentu sah-sah saja, tetapi dampaknya terhadap subjek yang mereka gambarkan sebaiknya juga dipertimbangkan secara matang. Saya tidak akan mengulang dampaknya seperti apa, sebab penilaian akademik terhadap NU yang tendensius—baik yang terlalu simpatik maupun sebaliknya—memang sudah biasa. Ya, sudah!