Sejujurnya saya tidak senang dengan istilah “jualan agama”. Selain terkesan merendahkan agama itu sendiri, akar masalahnya tidak sesederhana yang dikira. Perkaranya bukan sekadar “kebodohan” seperti sering dikatakan orang-orang, tetapi lebih dari itu.
Bagi saya, agama adalah identitas, dan, ini perkaranya, manusia membutuhkan itu. Hampir pasti bisa dikatakan, manusia tidak bisa hidup tanpa identitas. Manusia tidak bisa hanya menjadi “manusia saja”. Mereka ingin terikat dengan ciri atau penanda tertentu–entah agama, bangsa, etnis, bahasa, kedaerahan, almamater, hingga grup WA.
Celakanya, identitas pada awalnya diremehkan oleh kemoderenan. Manusia modern sangat percaya mereka bisa menjadi “diri sendiri”. Seolah-olah tidak ada apa-apa di luar diri. Dengan menjadi diri sendiri itu, “carpe diem!” (raihlah harimu) kata Robin Williams dalam film Dead Poet Society.
Di antara identitas yang paling diremehkan oleh kemoderenan adalah agama. Bersama harta dan seksualitas, agama dibungkus dalam sebuah konsep bernama “privasi”. Artinya, silakan saja kalian tetap beragama, tetapi ekspresinya jangan diperlihatkan ke muka publik. Lakukanlah semuanya di rumah, kalau bisa diam-diam dan sendirian.
Namun sekarang terasa semakin jelas bahwa menjadi diri sendiri tidaklah cukup. Manusia membutuhkan keterikatan, termasuk dengan apa yang oleh kemoderenan disebut privasi. Dengan kata lain, manusia memang pada dasarnya ingin pamer–hartanya, kemolekan tubuhnya, atau ekspresi keagamaannya. Manusia memerlukan “pengakuan” dari orang lain terhadap ketiga hal yang tadinya minta disembunyikan itu.
Anehnya, sementara harta dan seksualitas kemudian boleh diumbar ke muka publik, agama tetap diminta untuk bersembunyi di balik tembok privasi. Tidak hanya aneh, menurut saya, gejala ini juga curang. Sementara yang terlalu ekspresif dalam beragama akan segera dituduh sebagai intoleran, ekspansi harta (kapitalisme) dan eksplorasi tubuh (pornografi & pornoaksi) dirayakan sebagai kebebasan.
Dalam situasi yang curang itulah kita sering mendengar istilah “jualan agama”. Seakan-akan yang jualan itu–dan laku–adalah orang agama. Memangnya di luar agama tidak ada yang bisa dijual, gitu? Termasuk para akademisi sekuler yang mengkaji tema-tema di seputar “komodifikasi agama”, memangnya mereka bukan penjual juga?
Makanya, alih-alih mengutuk ekspresi beragama yang sering berlebihan itu (sehingga sangat menyebalkan), saya lebih tertarik melihat akar masalahnya apa. Jangan sampai penjual teriak penjual. Sesama penjual tidak perlu saling mendahului.