Sedang Membaca
Di Balik Spanduk Habib Rizieq Shihab
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Di Balik Spanduk Habib Rizieq Shihab

Timthumb 1

Dalam beberapa minggu terakhir, spanduk bergambarkan Habib Rizieq Shihab (HRS) bertebaran di mana-mana. Sepanjang perjalanan saya dari Jakarta ke Tasikmalaya dan sebaliknya, spanduk itu berjejer hampir di sepanjang jalan. Terlihat spanduk itu dibuat secara serius dan dipasang secara bagus. Pertanyaannya, kira-kira ada apa di balik ini?

Yang menarik adalah kata-kata yang tercantum di spanduk bergambarkan HRS tersebut. Beberapa menuliskan semacam kewaspadaan adanya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi beberapa yang lain mencantumkan sekadar peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-75. Tidak lupa ada kata-kata yang kurang lebih berisi dukungan HRS terhadap Pancasila dan UUD 1945. 

Saya menduga HRS dan bahkan pengikutnya—Front Pembela Islam (FPI)—bukan “aktor intelektual” di balik itu. Mungkin para pengikut HRS memasang spanduk yang dibuat secara serius dan dipasang secara bagus itu. Namun siapa yang membiayainya dan lebih penting lagi apa tujuannya? 

Yang cukup pasti HRS adalah tokoh penting dalam perjalanan politik Indonesia satu dekade terakhir. Terlebih lagi menjelang aksi “bela Islam” pada tahun 2016 yang sangat fenomenal itu, tidak ada seorang pun di republik ini yang lebih berpengaruh dalam menggerakkan puluhan dan bahkan ratusan ribu massa untuk berkumpul di lapangan Monas kecuali dia—selain, tentu saja, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang menjadi target aksi tersebut. Politik Indonesia, lebih tepatnya politik agama di Indonesia, awal abad ke-21 adalah panggung bagi HRS.

Baca juga:  Populisme Politik, Pelajaran dari Inggris

Akan tetapi, popularitas yang sedemikian luar biasa itu terhenti secara tiba-tiba dengan cara yang ironis. Karena dituduh melakukan percakapan yang tidak pantas di sebuah kanal media sosial, HRS tersangkut isu hukum yang hingga kini tidak jelas ujungnya. Entah kebetulan entah tidak, saat itu HRS sedang menjalankan ibadah umrah di tanah suci dan hingga kini belum kembali. Beberapa saat setelah berakhirnya pemilihan presiden 2019, sempat ada desas-desus yang mengabarkan rencana pemulangannya ke Indonesia. Namun, kita tahu, sampai hari ini HRS masih di sana. 

Dalam wacana politik agama di Indonesia kontemporer, figur HRS sering diasosiasikan dengan kelompok “Islam kanan”. Pada dasarnya paham keagamaanya lebih dekat dengan kalangan Islam tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama –lebih tepatnya Ahlussunnah wal Jama’ah– tetapi secara politik dia lebih akrab dengan kalangan Islam modernis seperti Masyumi. Memang ini adalah eksperimentasi  yang unik. Kiprahnya di Jakarta dan masyarakat urban lainnya menciptakan suatu aliran baru dalam konstelasi gerakan Islam di Indonesia yang tidak ada sebelumnya. 

Eksperimentasi HRS tersebut cocok dengan dinamika politik demokrasi pasca-Soeharto. Khususnya dalam satu dekade terakhir di mana populisme menyeruak di seluruh jagat, HRS tampil sebagai salah satu ikon paling penting dalam isu ini di negeri ini.

Baca juga:  Islam, Sastra dan Mitologi Jawa

Dia berhasil memberi kesan mengenai Islam sebagai agama yang terzalimi, sehingga mampu menggerakan sentimen populis yang luar biasa. Dalam aksi “bela Islam” yang fenomenal itu, HRS menggambarkan Ahok bukan hanya sebagai seorang gubernur “kafir”, melainkan juga seorang pelayan “9 naga”—merujuk pada konglomerasi pengusaha etnis Cina-Indonesia yang sangat berkuasa.  

Kembali ke soal spanduk, jejek rekam HRS seperti saya gambarkan di atas adalah kekuatan naratif yang akan menggoda para politisi untuk mencoba memanfaatkannya. Saya tidak tahu para politisi itu siapa, tetapi cukup pasti mereka sedang mengetes apakah sosok HRS dan pandangan-pandangannya masih mendapatkan simpati dari masyarakat. Kenyataan bahwa spanduk tersebut tidak menimbulkan reaksi negatif berarti menunjukkan maksud para politisi itu, setidaknya untuk sebagian, telah tercapai. 

Kalau dugaan saya benar, yang sedang terjadi sesungguhnya bukan sekadar soal HRS dan rencana kepulangannya ke Indonesia. Lebih dari itu, fenomena spanduk HRS memperlihatkan adanya masalah dalam arus politik demokrasi kita. Terkait dengan ini, momen paling dekat adalah pemilihan kepala daerah serentak yang bisa dikatakan merupakan persiapan menuju pemilihan umum 2024. Tampaknya HRS mau dihadirkan kembali untuk membingkai pilihan-pilihan politik praktis warga, meski lewat bentuk spanduk belaka. Tetapi bukankah selama ini para politisi mengesankan dirinya hadir di antara para pemilihnya hanya lewat gambar-gambar yang terpampang dalam spanduk yang berjejer tak karuan di sepanjang jalan? 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top